CemerlangMedia.Com — Ramadan adalah salah satu praktik ibadah yang panjang. Satu bulan kaum muslimin ditarbiyah agar selepasnya ada nilai takwa yang melekat sepanjang masa. Dengan mengondisikan suasana keimanan selama Ramadan, mungkinkan ketakwaan ini terwujud selepas Ramadan?
Dilansir dari DetikNews.com (10-3-2024), Pemkot Bogor akan fokus pada pengawasan dan menjaga stabilitas harga bahan pokok selama Ramadan dan melarang tempat hiburan beroperasi. Pemkot Bogor mengeluarkan empat poin larangan selama Ramadan 2024, antara lain tempat hiburan malam (THM) sampai panti pijat, melarang masyarakat melaksanakan kegiatan sahur on the road (SOTR), melarang aktivitas (menjual dan memproduksi petasan), pengelola rumah makan tetap menghormati orang yang berpuasa Ramadan.
Semua larangan yang dilakukan Pemkot Bogor demi menjaga kesucian Ramadan agar seluruh kaum muslimin lebih fokus menjalankan ibadahnya. Semestinya, larangan yang diterapkan Wali Kota Bogor bukan hanya pada Ramadan saja supaya keimanan dan ketakwaan ini tetap terjaga sepanjang masa, kapan pun dan di mana pun. Akan tetapi, kesucian 11 bulan lainnya dibiarkan ternoda, padahal suasana keimanan dan ketakwaan senantiasa dihadirkan dalam setiap keadaan.
Larangan di Ramadan ini memperlihatkan sekuler-nya Pemkot Bogor termasuk Pemerintah Pusat karena aturan yang diterapkan hanya memandang Ramadan saja. Artinya, di 11 bulan lainnya tidak akan ada aturan tersebut. Hal ini seolah memberikan gambaran terhadap rakyat bahwa keimanan dan ketakwaan dapat diraih hanya pada Ramadan saja.
Sejatinya, sistem sekularisme sangat membahayakan umat karena bertentangan dengan syariat Islam. Ideologi sekuler ini tidak boleh dibiarkan hidup di Indonesia dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya karena akan merusak keimanan kita kepada Allah Swt. dan menjauhkan kita dari ketakwaan.
Sekularisme memandang Ramadan seolah bulan yang khusus untuk beribadah kepada Allah Swt.. Ramadan dianggap sebagai waktu yang khusus untuk urusan ritual, spiritual, dan akhirat. Oleh karenanya, aktivitas yang dianggap duniawi harus ditinggalkan atau minimal dikurangi selama bulan suci.
Tampaknya latar belakang pemikiran inilah yang mendorong sebagian umat Islam menjauhkan aktivitas politik saat Ramadan. Tidak lain karena politik dianggap sebagai aktivitas duniawi dan cenderung kotor. Kalau disatukan atau dimasukkan ke dalam aktivitas Ramadan, dianggap akan mengotori kesucian Ramadan.
Paradigma seperti itu merupakan cara pandang sekularisme, yakni memisahkan urusan dunia dengan akhirat. Dalam konteks waktu, sekularisme memandang, seakan-akan ada waktu khusus untuk akhirat. Ya, waktu harian berupa salat lima waktu, mingguan adalah setiap Jumat, dan tahunan adalah Ramadan.
Islam memandang bahwa kesucian dan ketakwaan kaum muslimin sejatinya terwujud sepanjang masa, bukan Ramadan saja. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw.,
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun/kapan pun/dalam keadaan bagaimana pun engkau berada; ikutilah keburukan dengan kebaikan sehingga (kebaikan itu) akan menghapusnya; dan berbuat baiklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” (HR ath-Thabrani dari Abi Dzarr ra.).
Berdasarkan perintah Rasulullah saw. dalam hadis di atas, maka tidak selayaknya takwa pada waktu dan tempat tertentu saja, tidak hanya ketika salat atau di masjid saja. Takwa juga bukan sekadar harus dikejar saat Ramadan saja. Takwa harus ada selamanya dan senantiasa menyertai di mana pun kita berada. Bahkan, kita diperintahkan untuk terus menjaga ketakwaan hingga kematian tiba, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali ‘Imran [3]: 102),
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali ‘Imran [3]: 102).
Tentunya suasana keimanan dan ketakwaan akan dapat terwujud ketika Islam diterapkan oleh negara yang menjalankan syariat Islam dan menciptakan masyarakat yang bertakwa sepanjang masa.
Zakiah Ummu Faaza [CM/NA]