Oleh: Novida Sari, S.Kom.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Sob, ada laporan miris datang dari laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak 1 Januari—1 April 2024, terdapat 557 bencana alam yang terjadi di Indonesia. Terus ya, Sob, bencana banjir menempati posisi terbanyak dari total bencana alam secara nasional, yakni sekitar 63,73% (www.katadata.co.id, 1-4-2024).
Nah, untuk data banjir itu sendiri, ternyata belum termasuk dengan banjir bandang dan lahar di Sumatra Barat (Sumbar) pada 12 Mei lalu. Itu lo, Sob, banjir yang menimpa Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Padang Panjang.
Mirisnya lagi, banjir bandang dan lahar ini telah menyebabkan 67 korban meninggal dunia, 277 rumah warga rusak, akses jalan tertutup, dan pastinya meninggalkan trauma yang mendalam di hati warga sekitar. Bahkan, menurut Budi Perwira Negara selaku Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Kabupaten Agam, bencana ini yang terparah selama 150 tahun belakangan (www.bbc.com, 12-5-2024).
Ada yang bilang, bencana di luar kehendak kita. Ada yang bilang, karena Tuhan sudah mulai bosan melihat sikap kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Apa benar demikian?
Krisis Lingkungan Tersistemis
Sobat muslimah, yang namanya bencana tidak melulu karena alam. Namun, bisa juga terjadi karena ulah tangan manusia, seperti yang Allah Swt. sebutkan dalam surah Ar-Rum ayat ke 41,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْن
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Fakta menunjukkan bahwa ternyata campur tangan manusia dalam merusak lingkungan ini sangat dominan. Dalam laporan tahunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang berjudul “Membangkang Konstitusi Mewariskan Krisis Antar Generasi (TLH 2022)” disebutkan bahwa bukan hanya bencana alam, deforestasi penghancuran lingkungan, perampasan wilayah kelola rakyat, dan penggusuran, akan mengalami peningkatan jika pengurus negara terus-menerus menggenjot 211 proyek dan program strategis nasional (PSN) hasil legitimasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker).
Dalam laporan tahunan ini disebutkan, ada 47 proyek bendungan (17%), 56 proyek pembangunan jalan tol (30%), 15 proyek pelabuhan, 8 proyek pembangunan bandara, 16 proyek kereta api, 15 sektor energi, program food estate, termasuk program pembangunan Pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (PKSPN). Dan ternyata, Sob, berbagai proyek strategis ini, justru menambah rentan wilayah perkotaan, hutan, wilayah pesisir hingga pulau-pulau kecil, menyebabkan krisis ekologis yang berujung pada meningkatnya bencana.
Bukan tanpa alasan teman-teman dari WALHI menyebutkan kata Pembangkangan Konstitusi oleh penyelenggara negara. Seperti yang kita ketahui bersama ya, Sob, Pasal 33 UUD 1945 itu telah memberikan kewenangan kepada negara untuk menunjang kesejahteraan rakyat Indonesia dengan mengelola cabang-cabang produksi dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Namun kenyataannya, pasal 33 UUD 1945 ini justru diselewengkan menjadi tata kelola SDA yang monopolistik dan eksploitatif.
Apalagi klaim berbagai proyek strategis nasional (PSN) ini digadang-gadang untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan. Namun kenyataannya, hingga 2023, PSN telah memicu 115 konflik Agraria (katadata.co.id, 18-1-2024).
Kita flashback lebih ke belakang lagi, ternyata ada 562 kasus konflik lahan, berupa sengketa area hutan produksi, pertambangan, hutan konservasi, infrastruktur, wilayah transmigrasi, dan hutan lindung, konflik lahan terbanyak terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sebanyak 126 kasus. Data ini dihimpun dari Tanahkita.id, sejak periode 1998 hingga Juli 2023.
Tentunya masih lekat di ingatakan kita, kasus yang terjadi di Rempang. Bahkan, diwarnai bentrok dengan aparat gabungan TNI, Polri, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Bentrokan itu terjadi karena sejumlah warga menolak pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Kawasan Rempang Eco-City yang dikelola pemerintah melalui BP Batam. Kalau seperti ini, makin jelas bahwa pengelolaan yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, ternyata bertolak belakang dengan realitanya.
Dilansir dari www.bbc.com (12-5-2024), banjir bandang dan lahar di Sumbar baru-baru ini, terjadi akibat praktik deforestasi yang luas dan terakumulasi selama bertahun-tahun di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kepala Dinas Kehutanan Sumbar telah mengakui adanya penebangan liar di kawasan TNKS. Hasil studi Auriga Nusantara bersama sejumlah LSM lingkungan seperti Walhi dan Greenpeace menunjukkan tutupan sawit dalam kawasan hutan di bentang alam Seblat meningkat dari 2.657 hektare menjadi 9.884 hektare pada periode 2000—2020. Sebuah angka yang “wow”.
Belum lagi dengan pembangunan ilegal di Lembah Anai di Kabupaten Tanah Datar. Atas nama pariwisata, Pemerintah Provinsi Sumatra Barat bahkan sempat berencana membangun “plaza” di kawasan Lembah Anai, padahal Lembah Anai merupakan kawasan hutan lindung dan cagar alam dan sangat rentan bencana, entah banjir atau longsor.
Butuh Kesadaran Mitigasi Bersama
Tingginya angka bencana yang menimpa negeri ini membutuhkan kesadaran akan adanya mitigasi secara bersama oleh semua pihak secara komprehensif (menyeluruh). Secara individu, setiap warga negara akan menjaga lingkungan karena dorongan ketakwaan. Tidak peduli seberapa besar keuntungan yang didapatkan. Jika suatu tindakan akan menghasilkan bencana di masa depan, individu bertakwa akan menganggap ini adalah perbuatan tercela dan hina di mata Sang Mahakuasa.
Masyarakat juga akan mengontrol individu yang ada di dalam komunitasnya, termasuk mengontrol berjalannya peran negara dalam mengatur kepemilikan yang ada. Hak-hak umum akan menjadi milik umum, tidak diperkenankan dimiliki oleh individu, swasta, bahkan asing maupun aseng. Namun, ini tidak akan terjadi dalam sistem kapitalisme yang tengah menguasai negeri ini.
Terbukti, mudahnya pemilik modal untuk menguasai kekayaan SDA negeri ini telah menghilangkan peran negara sebagai penanggung jawab, berganti menjadi fasilitator yang memfasilitasi kepemilikan bagi para kapital. Oleh karenanya, mitigasi komprehensif akan makin jauh panggang dari api. Belum lagi tindakan tutup mata pengurus negara atas kerusakan lingkungan yang dihasilkan akibat pemindahan kepemilikan ini.
Islam Mendatangkan Rahmat dan Keberkahan
Secara akidah, kita percaya akan kebenaran Islam dan ajarannya. Terdapat paket komplit dalam pengurusan berbagai keperluan kita selama hidup di dunia. Selama paket komplit ini digunakan, akan mendatangkan keberkahan dan rahmat yang tercurah di dunia dan menghantarkan kebahagiaan dan keselamatan di akhirat. Keren banget kan, Sob.
Paket komplit ini berlaku dari kita bangun tidur hingga bangun negara. Dalam kepemilikan dan penggunaan lahan khususnya, Islam membaginya menjadi kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Masing-masing kepemilikan ini akan berjalan sesuai dengan ketentuan Allah Swt. sebagai Asy-Syari’ (Pemilik hukum).
Begitu juga dalam kepentingan bersama (kemaslahatan umum), negara akan memperhatikan dan mengupayakan yang terbaik demi terwujudkan hal-hal yang menjadi kepentingan bersama, seperti jalan, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, kewarganegaraan, dan sebagainya. Alhasil, tidak ada pihak yang akan mengkhianati hak orang lain dan kewajiban yang ada di pundaknya sebagai hamba Allah.
Perlu kita yakini juga, Sob, bahwa ini terjadi hanya dalam sistem Islam. Sebuah institusi yang bernama Khil4f4h, seperti yang pernah ditegakkan oleh Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para sahabat setelahnya. Tak tanggung-tanggung lo, Sob, institusi ini berjalan selama lebih 13 abad. Berjalan selama itu, tentu karena sistemnya bagus kan ya, Sob?
Allah Swt. menyebutkan dalam surah Al-A’raf ayat 96,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Perwujudan beriman dan bertakwa ini tentu harus dengan paket komplit ajaran Islam, yakni dari bab thaharah sampai bab Khil4f4h. Nah, kalau begitu, kuy, wujudkan diri ‘tuk jadi pengembannya yang amanah dan terpecaya. [CM/NA]