Hidup Mewah Bikin Wah

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Choirin Fitri
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Siapa sih, yang ingin miskin? Rasanya enggak ada deh satu orang pun di dunia ini yang mau hidupnya miskin. Kalau ada, berarti dia termasuk makhluk langka dan bisa jadi enggak ada. Iya, enggak?

Maklum gitu, manusia maunya hidup berkecukupan, enggak kurang suatu apa pun. Kalau bisa sih, semua yang diinginkan kesampaian. Enggak ada satu pun keinginan yang kudu di-skip gara-gara enggak ada dana buat memenuhinya. Betul atau benar?

Normal-normal aja sih, jika manusia punya keinginan yang kudu dipenuhi. Why? Karena dia masih hidup. Kalau sudah mati, bisa dipastikan dia sudah enggak punya keinginan yang butuh diungkap.

Kalau bicara keinginan, tentu enggak bakalan ada habisnya. Merasa selalu ada yang kurang. Beda banget dengan kebutuhan. Kalau kebutuhan sudah terpenuhi, cukup.

Yuk, kita cek terkait makan, itu keinginan atau kebutuhan? Inginnya sih, semua menu yang ada disajikan saat berada di meja makan dilahap habis. Why? Soalnya enak banget plus mewah. Bikin wah gitu. Eh, ternyata perut punya keterbatasan. Enggak semua yang diinginkan bisa masuk. Jika sudah terpenuhi sesuai kebutuhan, mau mata dan lidah masih ingin, tetap saja tak mampu.

Lanjut cek berikutnya terkait dengan pakaian! Mau punya ratusan baju yang wah, inginnya dipamerkan semua, tetap saja hanya satu set yang bisa dipakai. Tubuh kita terbatas. Enggak heran akhirnya tumbuh tren gonta-ganti baju per sekian detik untuk menunjukkan betapa wah pakaian yang dipunya. Pertanyaannya, untuk apa? Sekadar pamer doang? Ataukah karena ingin dipandang wah?

Samalah ya pada semua hal. Meski keinginan yang dipunya seabrek, tetap saja kalah dengan kemampuan raga untuk menggunakannya. Tak kan mampu kita menuruti semua keinginan yang enggak bakal ada habisnya.

Sayang seribu sayang, perbedaan antara keinginan dan kebutuhan yang setipis kertas ini kini luput dari perhatian. Banyak orang yang memburu keinginan untuk tampak wah dengan menghalalkan segala cara. Utang sana-sini. Meminjam di mana-mana. Jeprat-jepret di milik orang lain, asalkan bisa tampil mengagumkan, tak jadi soal. Anak gaul biasanya menyebutnya flexing.

Di era digitalisasi teknologi informasi dan komunikasi, flexing emang jadi budaya yang rasanya hadir tiap menit. Selebgram, artis, orang kaya, dan lainnya menjadi corong budaya ini. Hidup mewah yang mereka posting di berbagai akun medsos bikin wah follower. Alhasil, meski kantong kempes keinginan untuk tampil wah tak terbendung.

Sejatinya flexing alias suka pamer bukan budaya seorang muslim. Mengapa? Ada beberapa hal yang menjadi alasannya:

Pertama, flexing bentuk kesombongan.

Orang yang flexing biasanya karena ada rasa sombong dalam hatinya. Ia ingin terlihat lebih wah dibandingkan dengan orang lain. Padahal Allah enggak menyukai sikap sombong. Bahkan, mengkategorikannya dalam perbuatan dosa.

Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (TQS Luqman: 18).

Kedua, flexing adalah sikap berlebih-lebihan yang dicela dalam Islam.

Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 31 yang artinya, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Larangan tegas dari Allah agar kita enggak terjebak pada budaya berlebih-lebihan harusnya membuat kita menjauhi flexing. Bukan malah menjadikan flexing sebagai budaya keseharian. Iya enggak, sih?

Ketiga, flexing tanda minim empati pada sesama.

Di era kehidupan kapitalisme saat ini, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Miris ya?
Flexing ini tentu enggak layak masuk kategori gaya hidup. Jika kita melakukannya berarti tandanya rasa empati dalam diri kita hilang ditelan budaya buruk. Mending harta kita yang digunakan untuk flexing digunakan untuk membantu sesama yang membutuhkan.

Selain lebih bermanfaat, kita bakal dapat pahala sedekah yang mengalir meski kita sudah berkalang tanah.

Nah, dari tiga alasan ini aja kita kudu-nya mau berpikir kalau budaya flexing harus segera ditinggalkan. Why? Selain bukan budaya seorang muslim, flexing bersumber dari peradaban kapitalisme yang mengukur nilai kebahagiaan sebatas pemenuhan materi doang. Padahal dalam Islam, standar kebahagiaan itu adalah rida Allah semata. Oleh karenanya, ketika mau berbuat sesuatu, seorang muslim bakal bertanya, perbuatannya diridai Allah atau enggak. Jika Allah rida, dia bakal lanjut, tetapi jika Allah enggak rida, dia bakal mengurungkan niatnya.

So, jangan sampai kita ikut-ikutan terjebak pada budaya salah kaprah yang enggak ada sumbernya dari Islam ya! Oke?

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

One thought on “Hidup Mewah Bikin Wah

  • 0
    0

    Saat ini manusia banyak yang kehilangan kendali bahkan lebih banyak membeli karena keinginan. Klop dengan sistem kapitalis dengan konsepnya keinginan tanpa batas

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *