Kantongi Gelar Destinasi Wisata Halal, Tapi ‘Halalkan’ SDA untuk Dibagi-Bagi

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh. Novida Sari, S.Kom.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Ada kabar menggembirakan, Sob. Baru-baru ini Indonesia meraih predikat Top Muslim Friendly Destination of the Year 2023 di Singapura dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI). Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam keterangan resminya 3 Juni kemarin mengatakan bahwa ini merupakan capaian yang luar biasa, karena pada 2021 Indonesia menempati peringkat keempat dan pada 2022 menempati posisi kedua.

Pak Menparekraf juga mengatakan bahwa capaian ini berkat kerjasama kolaborasi banyak pihak terkait, seperti Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI), Mastercard Crescent Halal In Travel, dan yang lainnya. Melalui kolaborasi ini, Indonesia berhasil meraih dua penghargaan sekaligus, yakni dari Mastercard Crescent Rating GMTI Awards sebagai stakeholder Awareness Campaign of the Year dan dari Halal In Travel Awards 2023 sebagai stakeholder Awareness Campaign of the Year. Capaian ini diharapkan mampu mengakselerasi target untuk menciptakan 4,4 juta lapangan pekerjaan yang bertumpu pada wisata halal (katadata, 3/6/2023).

Meraih peringkat tertinggi ini memang prestasi, tapi kalau ujung-ujungnya menciptakan lapangan pekerjaan hanya dari wisata halal, tampaknya perlu dikaji ulang, deh. Bukankah negeri ini kaya banget sama sumber daya alam?

Konsep Wisata Halal

Ada tiga konsep wisata halal yang terfokus pada perluasan layanan (extension of service), pertama need to have, yakni sebuah destinasi harus punya fasilitas tempat ibadah yang layak hingga makanan yang halal; kedua good to have, tempat destinasi memiliki misi agar wisatawan punya pengalaman berkesan dan berbeda; dan yang ketiga nice to have, destinasi wisata Indonesia harus mampu memiliki daya saing dengan negara lain.

Pak Menparekraf menjabarkan tiga konsep ini pada lima komponen krusial pariwisata yakni hotel halal, makanan halal, paket tour halal, transportasi halal, dan keuangan halal. Sehingga wisata halal ini mampu menarik devisa alias cuan dari wisatawan muslim dengan optimal.

Namun, kita perlu menggarisbawahi pernyataan Pak Menparekraf Sandiaga uno ya, Sob, bahwa Wisata halal itu bukan berarti islamisasi wisata atraksi, melainkan memberikan layanan tambahan yang berkaitan dengan fasilitas, turis, atraksi, dan aksesibilitas untuk memenuhi pengalaman dan kebutuhan para wisatawan muslim. Artinya nih, Sob, jika di suatu destinasi itu menampilkan adat kebiasaan juga atraksi khas setempat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam seperti mengandung kemusyrikan, maka atraksi itu tetap akan dipertahankan dan dilestarikan karena atraksi dan ciri khas setempat itu adalah penarik wisatawan untuk berkunjung.

Karena wisata halal ini posisinya hanya layanan tambahan, maka kata maksiat yang dikenal secara hukum agama yang sering ditemui di tempat wisata itu tetap ada. Jadi miras tetap ada, fesyen yang nggak syar’i tetap ada, kemungkinan prostitusi juga tetap ada. Meskipun fasilitas wisatawan untuk beribadah ada, tetapi yang maksiat juga ada. Miris banget, kan, Sob, kata ‘halal’ hanya disematkan untuk menarik pendapatan.

Potensi Luar Biasa Wisatawan Muslim

Data State of The Global Islamic Economy 2019 menyebutkan bahwa, jumlah pengeluaran wisatawan muslim dunia itu sebesar 200,3 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau 12% dari total pengeluaran wisatawan global sebesar 1,66 triliun dolar AS. Pak Sandiaga menyebutkan Indonesia itu berada di posisi kelima dari Top 5 Negara Muslim Traveler. (travel.kompas.com, 6/4/2022)

Bahkan di 2019, umat Islam seluruh dunia itu menghabiskan sebanyak 2,02 triliun dolar AS untuk belanja makanan, kosmetik farmasi, fesyen, travel, dan rekreasi. Pasar global ini diperkirakan tumbuh hingga 2,4 triliun dolar AS. Wajar jika banyak negara yang berlomba-lomba untuk menaruh perhatian serius melalui wisata halal guna menarik para wisatawan ini, termasuk negara minoritasi muslim seperti Jepang, Korea, Cina juga Taiwan. Oleh karena, cuan-nya menggiurkan banget.

Stop Kebijakan Rancu

Tidak heran pemerintah jor-joran mengejar wisata halal, tetapi seharusnya pemerintah tidak boleh menutup mata bahwa untuk mendapatkan pemasukan dan menggerakkan gairah roda perekonomian bukan dari sektor ini saja. Apalagi dengan konsep sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, meminjam kata halal demi menaikkan pendapatan, padahal yang tidak halal juga tersedia sekaligus.

Apalagi Allah Swt. telah memberikan kepada negeri ini kekayaan alam yang luar biasa potensinya. Pendapatan wisata halal itu hanya seujung kuku dari SDA kita. Harusnya kita bersyukur dan mengelolanya dengan mandiri. Sehingga bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-undang ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh lisan Rasulullah saw. yang mulia,

اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ

Artinya: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini secara tegas mengatakan bahwa tidak halal untuk meliberalisasi alias memberikan pengelolaan apalagi kepemilikan kepada individu, asing apalagi aseng. Pengelola yang seharusnya adalah negara itu sendiri, dan hasil pengelolaannya akan diberikan kepada rakyat berupa pelayanan dan fasilitas umum secara gratis, karena pemilik sebenar SDA itu adalah rakyat itu sendiri.

Khatimah

Selama ini kita memang sudah lelah menyaksikan sibuknya para pemuka negeri untuk mengais remahan cuan di sektor lain, padahal kekayaan SDA yang melimpah ruah ada di depan mata. Akan tetapi semua itu malah diberikan kepada swasta, asing maupun aseng. Tak segan menggunakan istilah tertentu, meskipun realitanya bertolak belakang jika dikembalikan pada pendefinisian yang sebenarnya.

Hanya dengan institusi yang bernama Khil4f4h, istilah Islam tetap pada pengertian sebenarnya. Hanya dengan institusi yang bernama Khil4f4h, aset negeri ini menjadi berkah bagi seluruh rakyatnya. Hanya dengan institusi yang bernama Khil4f4h, prestasi mendatangkan pahala. Tugas kita sebagai generasi muda adalah menegakkannya, karena terbukti Khil4f4h itu wajib dan perlu. Wallahu a’lam. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *