Elegi Laut Biru

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Karya: Rizika Nur Azizah
Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan

CemerlangMedia.Com — Angin sore berbisik di telinga, membawa aroma asin dari laut dan kisah-kisah yang terpendam di pasir putih. Di Pantai Teluk Biru, tempat matahari selalu tenggelam dalam keindahan jingga, dua dunia yang berbeda bertemu.

Di satu sisi, ada sebuah perahu kayu yang usang, saksi bisu perjuangan seorang anak nelayan. Di sisi lain, ada papan selancar yang berkilauan, simbol dari kehidupan yang serba mewah. Pertemuan mereka bukanlah kebetulan, melainkan takdir yang dirajut oleh ombak dan senja.

Namanya Rama. Kulitnya legam terbakar matahari, matanya tajam seperti elang yang mengintai ikan di permukaan air. Tangan dan kakinya kokoh, terbiasa menarik jala dan mengendalikan perahu ayahnya di tengah badai.

Rama bukan hanya sekadar anak nelayan, ia adalah penjaga laut. Ia tahu setiap lekuk karang, setiap arus bawah, dan setiap tempat persembunyian ikan. Bagi Rama, laut adalah rumah, teman, sekaligus sumber penghidupan. Ia hidup sederhana dengan impian yang sama sederhananya melihat ayahnya tidak lagi harus berlayar jauh ke tengah lautan.

Lalu, ada Arjuna. Sebut saja ia Arjuna karena ia selalu terlihat gagah di atas papan selancarnya, menaklukkan ombak seperti seorang pahlawan. Arjuna memiliki kulit coklat hangat, seolah menyimpan jejak matahari yang ramah. Rambut coklat yang selalu tergerai rapi dan senyum yang bisa membuat siapa saja merasa nyaman.

Ia adalah seorang atlet selancar muda yang kaya raya, putra dari seorang pengusaha besar yang membangun resort mewah di dekat pantai. Bagi Arjuna, laut adalah taman bermain, kanvas untuk menunjukkan keahliannya. Ia terbiasa dengan fasilitas terbaik, dengan pelatih pribadi, dan dengan tepuk tangan dari penonton.

Persahabatan mereka dimulai dari suatu masalah. Suatu sore, saat ombak besar tiba-tiba datang, Arjuna terlalu asyik dengan tantangannya. Ia tidak menyadari arus yang membawanya makin menjauh dari pantai. Papan selancarnya terlepas dari kakinya dan terbawa arus yang kencang. Arjuna panik. Ia berusaha berenang, tetapi ombak terlalu kuat.

Rama yang saat itu sedang memperbaiki jaring di tepi pantai melihat kejadian tersebut. Tanpa pikir panjang, ia melompat ke perahu kecilnya dan mendayung sekuat tenaga menuju Arjuna.

“Pegangan!” teriak Rama dari jauh, suaranya hampir kalah oleh debur ombak.

Arjuna yang sudah mulai lemas, meraih uluran tangan Rama. Rama menariknya ke dalam perahu, napasnya tersengal.

“Kau gila? Kenapa kau berenang terlalu jauh?” tanya Rama setelah mereka kembali ke tepi pantai. Suara Rama terdengar kasar, tetapi matanya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.

Arjuna terdiam, sedikit malu. “Aku tidak menyangka arusnya sekuat ini. Terima kasih… kau menyelamatkan nyawaku.”

“Lain kali, perhatikan cuaca. Jangan hanya memikirkan kesenangan,” kata Rama, lalu berbalik hendak pergi.

“Tunggu! Aku Arjuna. Siapa namamu?”

“Rama,” jawabnya singkat tanpa menoleh.

“Aku akan mengganti rugi perahu dan jaringmu jika ada yang rusak.”

“Tidak perlu,” sahut Rama, lalu ia benar-benar pergi.

Sejak saat itu, Arjuna selalu mencari Rama di tepi pantai. Ia datang membawa makanan, minuman, dan terkadang hanya sekadar duduk di samping perahu Rama yang sedang diperbaiki. Awalnya, Rama dingin dan acuh tak acuh. Ia menganggap Arjuna hanyalah anak orang kaya yang ingin bermain-main. Namun, ketulusan Arjuna perlahan meluluhkan hatinya.

Suatu hari, Arjuna melihat Rama kesulitan memperbaiki mesin perahunya yang rusak. “Biar aku bantu,” tawar Arjuna. Rama ragu, tetapi ia membiarkan Arjuna mencoba. Ternyata, Arjuna yang terbiasa dengan teknologi canggih, justru memiliki pemahaman yang baik tentang mesin. Ia dengan cepat menemukan masalahnya dan memperbaikinya.

“Hebat! Aku tidak tahu kau bisa melakukan hal seperti ini,” kata Rama, terkejut.

“Aku juga tidak tahu,” jawab Arjuna sambil tertawa. “Ayahku sering membawaku ke bengkel dan aku sering melihat para teknisi bekerja.”

Persahabatan mereka tumbuh di antara aroma laut dan suara mesin. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Rama mengajari Arjuna membaca tanda-tanda alam, seperti arah angin dan pergerakan ombak. Ia menunjukkan tempat-tempat rahasia di bawah laut, di mana terumbu karang masih terjaga dan ikan-ikan berwarna-warni berenang bebas.

Arjuna, dengan kamera canggihnya mengabadikan semua keindahan itu. Ia juga bercerita tentang dunia luar, tentang kompetisi selancar di Hawaii dan Australia, tentang kota-kota besar yang penuh dengan gedung pencakar langit.

Suatu sore, Arjuna bertanya, “Rama, apa kau tidak bosan di sini? Hidupmu monoton.”

“Monoton? Hidupku tidak monoton, Arjuna,” jawab Rama sambil tersenyum.

“Setiap hari, laut memberiku kejutan. Aku tidak tahu ikan apa yang akan kutemukan hari ini. Setiap senja memberiku keindahan yang berbeda. Kau tahu, kadang-kadang aku merasa iri denganmu. Kau bisa bepergian ke mana saja, tetapi kau kehilangan sesuatu yang penting. Kau tidak mengenal laut. Kau hanya mengenalnya dari atas papan selancarmu.”

Arjuna terdiam. Ia merenungkan perkataan Rama. Perlahan, ia mulai menyadari. Ada kebahagiaan yang berbeda dalam kesederhanaan. Ada ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Musim liburan usai. Ayah Arjuna memintanya kembali ke kota untuk melanjutkan sekolah dan mempersiapkan diri untuk kompetisi selancar internasional. Konflik internal mulai muncul di antara mereka.

Rama merasa sedih, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. Ia tahu, dunia mereka memang berbeda. Arjuna adalah burung merpati yang harus kembali ke sangkarnya, sementara ia adalah burung camar yang harus tetap tinggal di pantai.

“Aku harus pergi, Rama,” kata Arjuna suatu siang.

“Aku tahu,” jawab Rama, suaranya datar.

“Aku tidak tahu kapan bisa kembali. Mungkin tahun depan, atau… mungkin tidak sama sekali.”

Suasana mendadak hening. Mereka berdua sama-sama tahu, perpisahan ini adalah perpisahan yang panjang.

“Jangan khawatir. Laut akan selalu ada di sini,” kata Rama, mencoba menghibur, padahal hatinya remuk.

“Aku tidak bisa melepaskan persahabatan kita begitu saja. Kau lebih dari sekadar teman bagiku, Rama. Kau adalah saudaraku,” ucap Arjuna, matanya berkaca-kaca.

“Aku juga,” bisik Rama.

Malam terakhir mereka dihabiskan dengan duduk di atas pasir, memandang bulan yang melukis perak di permukaan air. Mereka tidak banyak bicara, hanya menikmati kebersamaan terakhir mereka.

“Kau tahu, Rama? Dahulu aku pikir kebahagiaan itu ada di ombak terbesar. Namun sekarang, aku tahu, kebahagiaan itu ada di sini, bersamamu. Di tempat di mana laut dan daratan bertemu,” kata Arjuna lirih.

Hari perpisahan akhirnya tiba. Sore itu, matahari mulai melukis jingga di ujung cakrawala. Angin berembus pelan, seolah ikut merasakan kesedihan yang menggelayuti hati mereka.

Arjuna datang membawa sebuah hadiah. Sebuah papan selancar baru yang berkilauan. “Ini untukmu, Rama,” katanya.

“Untukku? Kenapa?” tanya Rama, terkejut.

“Aku ingin kau juga merasakan sensasi meluncur di atas ombak. Aku ingin kau tahu, kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan. Kau tidak hanya bisa menjadi nelayan. Kau adalah seorang pemuda yang hebat, Rama. Papan ini akan menjadi jembatan antara dunia kita. Setiap kali kau melihatnya, ingatlah aku.”

Rama menatap papan selancar itu, lalu menatap Arjuna. Ia tidak bisa berkata-kata. Air matanya mengalir.

“Jangan menangis, bodoh,” kata Arjuna sambil tertawa, lalu ia memeluk Rama dengan erat. “Ingat, laut akan selalu menghubungkan kita.”

Rama membalas pelukan itu. Di tengah pelukan, mereka menyadari satu hal. Meski dunia mereka berbeda, hati mereka telah terikat. Persahabatan mereka adalah seperti laut dan karang. Karang yang kokoh dan laut yang selalu menahannya.

Arjuna melepaskan pelukan dan berjalan menuju mobilnya. Ia menoleh ke belakang, melambaikan tangan. Rama membalas lambaian itu, air mata masih mengalir di pipinya. Ia memandang siluet Arjuna yang makin menjauh hingga mobil itu menghilang dari pandangan.

Rama berdiri di tepi pantai, memandangi matahari yang perlahan tenggelam di cakrawala. Papan selancar Arjuna tergeletak di sampingnya. Jingga senja melingkupi segalanya, membuat siluet tubuh Rama terlihat sendu.

Ia tahu, perpisahan ini adalah akhir dari satu bab, tetapi juga awal dari bab yang baru. Ia akan tetap menjadi penjaga laut, tetapi kini ia memiliki satu alasan lagi untuk mencintai laut. Sebab di sana, ada kenangan tentang seorang sahabat yang pernah melintasi batas dunia demi sebuah persahabatan.

Pada akhirnya, bukan seberapa lama atau seberapa sering kita bersama, tetapi seberapa dalam kita menempuh perjalanan bersama. Persahabatan tidak diukur dari seberapa banyak tawa yang tercipta, tetapi dari seberapa tulus air mata yang tertumpah.

Rama dan Arjuna, dua jiwa yang berbeda, dipertemukan oleh laut dan dipisahkan oleh takdir. Namun, di antara deburan ombak dan senja yang memudar, persahabatan mereka abadi. Terukir di setiap butir pasir, terukir di setiap hembusan angin, dan terukir di muara hati mereka yang seluas samudra. [CM/Na]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *