Penulis: Siti Nurul Aisyah
SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan
CemerlangMedia.Com — Mentari perlahan tenggelam di ufuk barat, meninggalkan guratan jingga yang memantul di permukaan laut. Ombak berkejaran menuju pantai, bunyi air menyapu pasir. Di sana, seorang gadis berdiri, gaun putihnya berkibar tertiup angin. Kerudung panjangnya terjuntai, sesekali menutupi wajah yang teduh,, tetapi murung.
Namanya Aish. Ia datang dari kota yang jauh. Hampir setiap bulan ia menyempatkan diri kembali ke pantai itu. Bagi Aish, laut adalah ruang pengakuan dan senja adalah tempat ia menitipkan kerinduan.
Sejak ayahnya meninggal tiga tahun lalu, ia merasa hidupnya kehilangan arah. Senja di pantai ini mengingatkannya pada kebersamaan yang pernah ia miliki.
Aish duduk di pasir, membuka sebuah buku catatan yang lusuh. Di halaman pertamanya, tertulis kalimat ayahnya yang ia salin bertahun-tahun lalu:
“Hidup seperti laut, Nak. Kadang tenang, kadang bergelora. Namun, selalu ada cakrawala yang bisa ditatap.”
Membaca itu, matanya basah. Ingatan membawanya kembali pada masa kecil—saat ia duduk di pangkuan ayahnya, mendengar petuah bijak diiringi suara debur ombak. Ayahnya adalah sahabat, guru, sekaligus tempat ia berlabuh. Kini, yang tersisa hanya kenangan.
Aish menulis di buku catatannya.
“Senja, sampaikan padanya bahwa aku merindukan nasihatnya. Laut, bisikkan bahwa aku mencoba tegar meski sering gagal.”
Air matanya jatuh di halaman itu.
“Maaf, apakah saya mengganggu?”
Suara seorang pemuda mengejutkannya. Aish menoleh dan mendapati seorang lelaki berdiri beberapa langkah darinya. Wajahnya bersih, senyumnya sopan.
“Tidak,” jawab Aish singkat. “Pantai ini milik siapa saja.”
Pemuda itu lalu duduk berjarak darinya. Hening menyelimuti, hanya ombak dan burung camar yang bersuara.
“Indah sekali, bukan?” ucap pemuda itu sambil menatap laut. “Saya selalu percaya, senja adalah guru. Ia mengajarkan bahwa meski keindahan berakhir, esok akan ada cahaya baru.”
Aish terdiam. Kata-kata itu seakan menyingkap isi hatinya. “Namamu?” tanyanya akhirnya.
“Arsya” jawab pemuda itu. “Dan kau?”
“Aish.”
Setelah itu, tak banyak kata yang terucap. Namun, Aish merasa kehadiran Arsya tidak mengusik. Justru ada ketenangan yang samar.
Hari-hari berikutnya, tanpa sengaja mereka kembali bertemu. Terkadang hanya duduk bersebelahan tanpa bicara panjang. Di lain waktu, Arsya bercerita tentang kehidupannya di desa nelayan, tentang ibunya yang membuat kerajinan kulit kerang, tentang cita-citanya membuka perpustakaan kecil agar anak-anak desa bisa membaca.
Aish mendengarkan dengan saksama. Kehidupan sederhana Arsya membuatnya merasa dekat dengan sesuatu yang tulus, jauh dari hiruk pikuk kota yang penuh ambisi.
Suatu sore, Arsya bertanya, “Aish, apa yang kau cari di pantai ini?”
Aish terdiam lama sebelum menjawab. “Aku mencari diriku sendiri. Setelah ayah meninggal, aku merasa kehilangan arah. Pantai ini tempat aku mengenangnya.”
Arsya menatap laut, lalu berkata pelan, “Ayahmu pasti bahagia melihatmu tetap bertahan. Terkadang kita hanya perlu percaya, luka pun bisa berdamai dengan waktu.”
Kata-kata itu menenangkan. Untuk pertama kalinya, Aish merasa sedikit lega.
Musim terus berganti, dan Aish makin akrab dengan Arsya. Ia belajar bahwa kesepian tidak selamanya buruk. Kesepian bisa menjadi ruang untuk memahami diri. Arsya tidak pernah memaksanya bercerita, tetapi selalu hadir sebagai pendengar.
Suatu senja, Aish menulis kalimat penutup di buku catatannya.
“Senja adalah perpisahan yang indah. Ia mengajarkanku bahwa kehilangan bukanlah akhir, melainkan jalan menuju kebijaksanaan.”
Ia menutup buku itu, lalu menatap Arsya yang duduk di sampingnya. “Terima kasih sudah menemani,” katanya tulus.
Arsya hanya tersenyum. “Setiap orang butuh teman dalam perjalanannya.”
“Iyaa,” sahut Aish sambil menatap ombak yang datang. [CM/Na]