#30HMBCM
Penulis: Adine Azaria
Bab 7 Dua Anak dari Dua Dunia
CemerlangMedia.Com — Pasar Arabia sebenarnya sudah ada sejak era Raja Hyeonjong (1010–1031), kemudian benar-benar berkembang besar sejak era Raja Munjong (1046–1083). Sedangkan di era kekuasaan Yuan Shizu (Kubilai Khan), Pasar Arabia menjadi semakin berkembang pesat dan jumlah pedagang muslim yang datang semakin meledak dan wilayah pasar berevolusi menjadi sebuah distrik pedagang asing yang sangat jelas terlihat.
Dibandingkan dengan jumlah warga lokal Goryeo, jumlah pedagang muslim memang tidak seberapa. Akan tetapi, kedatangan rombongan pedagang muslim yang berasal dari banyak belahan dunia yang jauh selalu menarik perhatian masyarakat Goryeo di sana karena banyaknya tampilan keunikan ras, suku, dan budaya yang terlihat.
Pasar Arabia berada tidak jauh dari gerbang timur Gaegyeong (Gaesong), menempati area luas yang dikelilingi rumah-rumah kayu bercampur bangunan atap kubah kecil. Di antara bangunan tradisional Goryeo yang berwarna coklat kemerahan, tampak beberapa kios dengan kain tenda besar warna merah marun, biru indigo, dan hijau zamrud, dengan gaya khas Asia Tengah. Di jalan utama pasar terdapat kedai teh, tokoo rempah, toko permata, kios sutra dan kain-kain halus, serta karavan unta dan kuda yang sesekali berlalu-lalang.
Toko dengan palang nama bertuliskan huruf hijaiyah hang dibaca “Jabal Uhud” adalah milik keluarga Tuan Hasan, yang sudah beroperasi setahun lebih semenjak kedatangannya pertama kali ke Goryeo bersama rombongan keluarganya, Bani Al-Samhari. Di sana ia menjual kerajinan dan perhiasan khas buatan Bani Al-Samhari, permata dan batu berharga, rempah dan wewangian, kain dan tekstil, serta buku berbagai ilmu pengetahuan yang sangat dicari dan disukai kalangan cendekiawan bangsawan Goryeo. Karena Tuan Hasan selalu punya barang-barang unik, langka, dan berharga, maka ia menjadi cepat disukai dan dikenal di kalangan bangsawan, cendekiawan, serta pejabat istana Manwoldae.
Bahkan kakaknya, Tuan Khalid, yang memiliki kecerdasan menonjol dalam mempelajari dan menguasai beragam bahasa, kini diangkat menjadi pejabat istana dengan tugas sebagai penerjemah yang menerima tugas-tugas penting untuk mengawasi perdagangan dan serah terima dokumen para utusan dari Goryeo ke Yuan dan sebaliknya. Keluarga Bani Al-Samhari bekerja sama saling membantu dalam berdagang dan belajar bahasa serta kebudayaan lokal Goryeo untuk menyesuaikan diri. Sehingga kini setelah setahun lebih, mereka sudah terbiasa berkomunikasi bahasa percakapan sehari-hari dengan masyarakat lokal.
Di tengah keramaian pasar Arab di pagi musim semi, Mush’ab kecil membantu ayahnya menurunkan karung rempah berisi kayu manis.
“Pelan-pelan, Nak,” ucap Tuan Hasan sambil menepuk bahu Mush’ab.
“Baik, Ayah,” jawabnya dengan gugup.
Tuan Hasan kemudian kembali sibuk dengan catatan keuangan toko miliknya. Bagi Mush’ab karung itu tidak berat, tetapi ukurannya yang besar menutupi sebagian besar penglihatannya.
Saat hendak menaruh karung rempah di bagian depan toko, Mush’ab tidak sengaja menyenggol barisan kantong kain yang berisi manik-manik kaca berwarna biru. Satu kantong terjatuh dan manik-manik tersebut berhamburan keluar hingga ke jalanan di depan toko. Manik-manik itu bergulir sampai ke kaki Myeonghwa kecil yang sedang berjalan kaki mengelilingi pasar bersama budak anak kecil yang sebaya dengannya, Danbi, dan budak pengasuh berusia dewasa bernama Ok Dan.
Myeonghwa mengambil satu manik-manik itu, mengangkatnya pada sinar matahari, dan tersenyum polos. Dengan mata berbinar kagum, dia memuji manik-manik itu,
“Wah, cantik sekali! Danbi, bibi Ok Dan, lihat ini! Ada manik-manik biru yang cantik!”
Danbi dan Ok Dan menghampiri Myeonghwa. Danbi yang polos ikut mengagumi manik-manik itu, sementara Ok Dan tahu bahwa benda itu jatuh dan berasal dari toko di samping mereka. Ok dan membantu Mush’ab memungutnya. Saat ingin mengambil manik terakhir, saat itulah pertama kalinya Mush’ab melihat dan memanggil Myeonghwa dengan bahasa Goryeo yang agak terbata-bata.
“Permisi, Nona muda. Ehm, itu … itu… punyaku. Eh, tapi … tapi kalau kau suka, ambillah satu.”
“Benarkah? Wah, terima kasih! Apakah ini toko milikmu? Bagaimana membaca papan nama tulisan tokomu ini?” Myeonghwa balik bertanya dengan antusias dan menunjuk papan nama “Jabal Uhud” yang dipasang di bagian atas kanopi.
Mush’ab menjawab dengan senyuman riang, “Ini bukan tokoku, tapi toko ayahku. Namanya Jabal Uhud.”
Myeonghwa berusaha mengeja nama bahasa Arab itu, “Cha bbal, uh utt?”
Mush’ab terkekeh dan mengajarinya, “Hehe, bukan. Yang benar, ja, bal, u, hud.”
“Jja, bal, u, hud. Jabal Uhud?”
“Benar begitu, Agasshi (panggilan untuk nona bangsawan).”
Mereka tertawa ringan. Kemudian saling berkenalan. Ok Dan tersenyum mengawasi mereka. Ia dan majikannya telah sampai di tempat yang tepat. Tuan Yeongmyeong menitipkan surat pesanan barang kepadanya untuk diserahkan kepada Tuan Hasan. Tuannya tidak bisa datang pagi-pagi ke pasar karena harus menghadiri rapat pagi di istana bersama Raja Chungnyeol dan anggota majelis kementerian.
“Agasshi, kita telah sampai di tempat yang benar. Ayah Anda telah menitipkan surat pada saya untuk diserahkan kepada pemilik toko Jabal Uhud ini,” jelas Ok Dan kepada Myeonghwa.
Mush’ab menimpali, “Ayahku? Bibi ingin bertemu dengan ayahku? Oh, kalau begitu silakan masuk. Ayaaahhh, kita kedatangan tamu yang mengantarkan surat!”
Mush’ab berlari kecil ke arah meja kantor ayahnya. Sekejap kemudian Tuan Hasan menghambur keluar dan menerima surat pesanan yang diantarkan Ok Dan. Tuan Hasan agak kaget karena Ok Dan membawa nona kecilnya.
“Apakah tidak apa-apa kalian pergi hanya bertiga seperti ini? Berhati-hatilah di jalan, ya,” ucap Hasan dengan nada khawatir.
“Tidak apa-apa, Tuan. Di belakang kami sebenarnya ada beberapa pengawal yang terus mengikuti dan mengawasi kami dengan baju samaran. Itu dia ada di sana, di situ, dan yang itu juga.” OK Dan menjelaskan sambil menunjuk dengan jarinya satu per satu posisi para pengawal mereka.
“Oh, alhamdulillah, kalu begitu baguslah. Baiklah, hati-hati di jalan. Sampaikan salamku untuk Tuan, ya.” Hasan berkata dengan lega.
Ok Dan beserta Danbi berpamitan dan membungkukkan Badan, Tuan Hasan dan Mush’ab balas membungkuk juga. Sementara Myeonghwa melambaikan tangan kepada Mush’ab.
“Sampai jumpa lagi, ya. Senang berkenalan denganmu. Lain kali aku datang ke sini lagi bersama ayahku.” Pamit Myeonghwa sambil melambaikan tangan dan mulai berjalan.
“Ya, datanglah. Di sini banyak manik-manik lainnya yang lebih bagus. Kamu bisa membelinya nanti,” Mush’ab menawarkan dengan tersenyum.
“Baiklah, kami pergi dulu. Jangan lupa, namaku Myeonghwa! Myeong, hwa. Ingat itu!” seru Myeonghwa agak berteriak.
“Baik, Agasshi!” Balas Mush’ab.
Siluet pelanggan toko mereka perlahan hilang ditelan keramaian. Hari itu Mush’ab dan Hasan hanya menganggapnya sebagai peristiwa sehari-hari biasa tanpa tahu bahwa takdir istimewa dan rumit telah menanti dan mengikat mereka.
(*Naskah ini tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]
Views: 1






















