Bukan Sembarang Takdir

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Irsad Syamsul Ainun
Creative Design CemerlangMedia.Com

Ujian pada hakikatnya merupakan bentuk kenaikan level keimanan. Selain itu, ujian juga merupakan bentuk penghapusan dosa. Oleh karena itu, bersyukurlah setiap jiwa yang mampu menempatkan diri saat ditimpa ujian kebaikan dan juga keburukan, tetapi tidak lepas iman dan Islamnya.

CemerlangMedia.Com — Tidaklah terjadi segala sesuatu, bahkan sebesar zarah pun, semua atas izin-Nya. Tidak perlu heran, apalagi sampai mengutuk. Akan tetapi, atas dasar lemahnya kepemimpinan berpikir, manusia acap kali menyalahkan takdir dan Allah jika ditimpa oleh perkara yang tidak disukainya.

Tidak jarang pula menyalahkan manusia lain, meskipun tidak semua demikian. Sebab, ada juga hamba dengan kekuatan iman, menjadikan takdir buruk untuk muhasabah. Pun takdir baik, tidak serta merta membuatnya berbangga diri. Lagi-lagi dijadikannya sebagai bentuk syukur. Tidak lupa meyakini bahwa baik buruknya takdir yang dijalani sebagai bentuk ujian dan kasih sayang tertinggi Sang Pencipta atas dirinya.

Oleh karena itu, patutlah kiranya seorang hamba memiliki kesadaran yang demikian. Belajar dari kisah Nabi Yusuf a.s., ditakdirkan hidup dalam keluarga yang bisa dikatakan toxic saat ini. Dibuang, diabaikan, lalu ditinggalkan begitu saja oleh delapan saudaranya. Apakah saat itu Nabi Yusuf mencela, menggerutu, atau arah?

Tidak ada satu pun prasangka buruk dari dirinya terhadap takdir yang menimpa. Ditemukan para saudagar, lalu dijual. Bertemu dengan pemilik kerajaan yang bisa dibilang menjanjikan kebahagiaan materi.

Namun, lagi-lagi ujian hidupnya tidak berhenti sampai di situ. Nabi Yusuf difitnah oleh perempuan yang tidak lain adalah istri dari raja —tempat ia berlindung dari terik dan juga hujan, mendapatkan pelayanan yang baik, dengan harapan ia dapat memberi manfaat kepada yang merawatnya (Baca QS Yusuf: 4-32)

Sungguh agung dan indahnya perjalanan Nabi Yusuf a.s.. Perjalanannya tidak hanya sampai pada fitnah. Penjara menjadi tempat ia makin dekat dengan Rabb-nya, diberi ilmu dan pemahaman, tetapi ujian kembali menerpa. Ia masih saja ditakdirkan untuk menikmati indahnya jeruji besi sampai akhirnya Allah memberikan karunia dan kebahagiaan dengan kisahnya yang sarat makna, yaitu menjadi Al Aziz.

Namun, kisahnya masih penuh dengan ujian. Nabi Yusuf dipertemukan kembali dengan saudaranya yang telah membuangnya. Di balik pertemuan itu, Nabi Yusuf masih saja difitnah oleh mereka dengan mengatakan keburukan yang tidak dilakukannya.

Andai kisah sang nabi menimpa diri kita saat ini, yakin dan percaya, emosi makin naik. Ya, mujibal qulub, semoga Allah karuniakan rasa sabar kepada kita sesabar Nabi Yusuf a.s..

Fitnah dan rasa dengki pada akhirnya dimenangkan oleh kekuatan sabar yang mengantarkan pada kebahagiaan, yaitu bersatunya keluarga Nabi Yusuf. Saudaranya pun meminta ampunan Rabb semesta alam. Indahnya rasa sabar yang ditabur, sebagaimana Allah gambarkan dalam Al-Qur’an,

وَاِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهٖۗ وَلَىِٕنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصّٰبِرِيْنَ

“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.”

Hikmah apa yang bisa dipetik dari perjalanan Nabi Yusuf ini? Ada kesabaran, ketangguhan seorang pemimpin, kejujuran, dan ketawakalan pada harapan penjagaan Sang Illahi Rabbi. Andai pertemuan Nabi dengan saudaranya diwarnai oleh amarah, maka pasti akan beda alur cerita. Bisa jadi, mereka mungkin akan jauh dari Allah, makin marah atau yang lainnya. Wallahu’alam.

Pikiran kita tidak akan sampai di sana. Inilah bukti bahwa setiap perjalanan takdir akan membawa manusia pada perkara muhasabah, mendekat kepada Allah dan bukan menjauh. Menjadi manusia pilihan dan terbaik bukan tanpa ujian, sebagaimana firman Allah Swt.,

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al ‘Ankabut: 2).

Ujian pada hakikatnya merupakan bentuk kenaikan level keimanan. Selain itu, ujian juga merupakan bentuk penghapusan dosa. Oleh karena itu, bersyukurlah setiap jiwa yang mampu menempatkan diri saat ditimpa ujian kebaikan dan juga keburukan, tetapi tidak lepas iman dan Islamnya. Alangkah berbahagianya setiap jiwa tersebut. Marilah kita merenungkan, sudahkah kita berbaik sangka dengan takdir Allah? Wallahu a’lam bissawab.

Bumi Amungsa, Papua, Oktober 2025 [CM/Na]

Views: 3

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *