Karya: Rulistha Ifani
Siswi SMAN 1 MHS
CemerlangMedia.Com — Di sebuah desa kecil di kaki gunung, hiduplah seorang gadis bernama Zahra. Sejak kecil, ia sudah merasakan getirnya hidup sebagai yatim piatu. Ayahnya meninggal ketika ia masih bayi, disusul ibunya beberapa tahun kemudian. Satu-satunya peninggalan ibunya yang paling ia jaga adalah sebuah sajadah lusuh berwarna hijau.
Sajadah itu sudah pudar warnanya, beberapa benangnya terlepas, tetapi bagi Zahra, sajadah itu adalah pengingat kasih sayang sang ibu. Setiap malam ia menghamparkan sajadah itu, menundukkan kepala dalam sujud panjang, dan melantunkan doa dengan suara lirih. Di sanalah ia menemukan kekuatan.
Meski hidup sederhana, Zahra tumbuh sebagai gadis yang penuh semangat. Untuk memenuhi kebutuhannya, ia membuat rangkaian bunga kertas lalu menjualnya ke pasar. Dari hasil kecil itu, ia menyisihkan sebagian uang. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membeli papan tulis kecil dan spidol.
“Untuk apa papan tulis ini, Nak?” tanya seorang pedagang pasar.
“Aku ingin mengajar anak-anak desa mengaji. Aku tidak punya banyak, teapi semoga Allah rida,” jawab Zahra sambil tersenyum.
Sejak hari itu, setiap sore, anak-anak desa berkumpul di teras rumah Zahra. Dengan sabar ia mengajarkan huruf hijaiyah. Ada yang cepat paham, ada pula yang sulit mengeja, tetapi Zahra tidak pernah marah. Ia selalu berkata, “Jangan takut salah. Setiap huruf yang keluar dari mulutmu adalah cahaya.”
Lama-kelamaan, suara anak-anak mengaji terdengar hingga ke surau. Warga desa terkesan dan tempat sederhana itu akhirnya dijuluki “Rumah Cahaya”. Zahra tidak pernah meminta bayaran, ia hanya berharap ilmu yang diajarkan menjadi amal jariyah, pahala yang terus mengalir meski dirinya kelak sudah tiada.
Namun, takdir berkata lain. Beberapa tahun kemudian, Zahra jatuh sakit. Tubuhnya lemah, napasnya berat, tetapi ia tetap berusaha mengajar. Hingga suatu malam, setelah salat tahajud di atas sajadah peninggalan ibunya, Zahra berdoa, “Ya Allah, jika tubuh ini tak lagi kuat mengajar, jadikan setiap ayat yang dibaca anak-anak itu pahala bagiku dan untuk ibu di alam sana.”
Beberapa hari kemudian, Zahra berpulang ke rahmatullah. Desa itu berduka. Puluhan anak yang pernah diajarinya mengiringi kepergiannya dengan lantunan ayat suci. Suara mereka bergetar, membuat banyak orang menitikkan air mata.
Sajadah lusuh itu terlipat rapi di sudut kamarnya. Di atasnya, seseorang meletakkan setangkai bunga segar. Bagi warga desa, bunga itu seolah simbol bahwa meski Zahra tiada, bunga amal jariyahnya tetap mekar di sajadah itu.
*****
Tahun-tahun berlalu, tetapi cahaya yang ditanam Zahra tidak pernah padam. Salah satu muridnya, Aisyah, tumbuh menjadi guru mengaji di masjid desa. Ia sering berkata kepada muridnya, “Kalau hari ini kalian bisa membaca Al-Qur’an, itu berkat Kak Zahra. Aku hanya meneruskan apa yang beliau ajarkan.”
Murid lain, Hasan, memilih menjadi relawan yang membagikan mushaf ke desa-desa terpencil. Ia selalu teringat kata-kata Zahra, “Setiap huruf yang kau ajarkan akan menjadi cahaya, bukan hanya untukmu, tetapi juga untuk orang lain.”
Bahkan, seorang anak yang dahulu paling nakal bernama Rafi kini tumbuh menjadi imam muda di masjid besar kota. Saat ditanya siapa yang pertama kali mengajarinya mengeja huruf hijaiyah, ia menjawab dengan mata berkaca-kaca, “Seorang kakak yatim bernama Zahra. Doa dan ilmunya yang membuatku bisa berdiri di sini.”
Kini, “Rumah Cahaya” makin ramai. Anak-anak baru berdatangan, belajar dari papan tulis kecil yang dahulu dibeli Zahra dengan hasil menjual bunga kertas. Murid-muridnya meneruskan perjuangan itu tanpa henti.
Setiap kali lantunan Al-Qur’an menggema di desa itu, orang-orang tua berbisik, “Amal jariyah Zahra masih terus mengalir. Suaranya sudah tiada, tetapi bunga-bunga kebaikan yang ia tanam tetap mekar.”
Dan benar saja. Di dekat jendela kamar peninggalannya, tumbuh bunga segar yang tak pernah layu meski musim berganti. Bagi warga desa, itu bukan bunga biasa, melainkan tanda bahwa Allah menerima amal baik Zahra.
Bunga yang mekar di sajadah itu bukanlah bunga duniawi. Ia adalah simbol doa, ilmu, dan kebaikan yang tak pernah pudar, meski pemiliknya telah lama pergi. [CM/Na]