Karya: Shaffa Zalikha dan Novita Zahra
Siswi SMAN 1 MHS
CemerlangMedia.Com — Pukul delapan pagi di Jakarta tidak pernah benar-benar tenang. Jalanan padat, klakson bersahutan, dan udara yang belum sempat bersih sudah disesaki ambisi.
Di lantai 17 sebuah gedung perkantoran di kawasan Sudirman, Rafka Arshad Fatan, 25 tahun, tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang menumpuk tanpa henti. Hari-harinya di kantor lebih banyak dihabiskan untuk lembur, dengan gelas kopi hitam yang tak pernah sepi di tangannya. Salat, makan, bahkan istirahat sering ia abaikan demi memenuhi target yang makin menekan.
Di kota lain, ibu Rafka yang sedang berjuang melawan kanker, tak henti-hentinya mengirim pesan melalui ponsel yang jarang sempat dibaca Rafka. “Nak, jangan lupa salat, ya. Ibu di sini terus berdoa untuk kamu.”
Namun, pesan itu kerap diabaikan atau dibalas singkat tanpa perhatian. Ibu Rafka memiliki riwayat penyakit kanker, kondisi ibunya makin memburuk. Biaya pengobatan yang menumpuk, mulai menjadi beban besar yang tak mampu ditutupi Rafka dengan gajinya yang pas-pasan.
Sesekali ponsel Rafka bergetar pelan. Notifikasi dari ibu muncul di layar. “Rafka, kamu kapan pulang? Ibu kangen, Nak.” Rafka menatap layar sejenak, wajahnya terlihat rindu yang dalam. Ia membalas cepat, “Bu, Rafka juga kangen. Ibu sabar ya, Rafka masih ada proyek yang harus diselesaikan di sini. Nanti kalau proyeknya sudah selesai, Rafka ambil cuti dan langsung pulang.”
Beberapa saat kemudian, balasan dari ibu muncul lagi. “Iya Rafka, Rafka sehat-sehat di sana ya, Nak. Jangan lupa salat. Ibu tunggu Rafka pulang.”
Namun hari-hari berlalu tanpa perubahan berarti. Rafka mendapatkan telepon lewat ponselnya, melihat yang menelponnya adalah ibunya dia langsung mengangkat telepon itu. Namun, suara yang keluar dari telepon itu bukanlah suara ibu yang sering dia dengar, melainkan seorang pria yang kemungkinan itu tetangga ibunya. “Apakah ini anaknya dari Ibu Rahmi?”
Rafka seketika membeku, menjawab dengan suara kaku dan juga kebingungan, “Iya, saya anaknya. Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Ibu saya?” tanyanya.
Pria itu menghembuskan napas berat dan mulai berbicara, “Maaf kalau saya terkesan tidak sopan karena sudah memakai ponsel Ibumu dan asal meneleponmu, tetapi Ibumu, ia telah berpulang ke rahmatullah. Saya harap kamu bisa pulang segera ke sini untuk melihat penguburan jenazah Ibumu.”
Seketika, dunia di sekitar Rafka berhenti sejenak, seakan-akan mencerna informasi yang baru saja pria itu ucapkan kepada dia. Rafka jatuh berlutut dan perlahan-lahan air matanya jatuh, tidak menyangka hal yang paling dia takutnya sekarang sudah terdengar di telinganya. Perasaan campur aduk, sedih, dan juga rasa bersalah menusuk.
Rafka memukul dadanya berkali-kali, merasakan rasa sesak yang luar biasa, tangisannya pecah. “Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa aku tidak bisa cukup baik untuk Ibu? Aku bahkan tidak ada waktu untuk pulang menjenguk Ibu. Maaf Bu, sepertinya Rafka gagal.”
———————–
Suatu sore di Jakarta. Hari–hari sudah berlalu setelah kepergian ibunya. Karel, sahabat sekaligus teman sekantor menghampirinya, melihat sahabatnya sekarang sedang sibuk bekerja, mengetik di atas keyboard sambil menatap layar laptop dengan wajah sayu. Ia tahu kalau Rafka sedang melewati hari-hari yang berat, termasuk kabar duka tentang meninggalnya ibunya.
Ia mulai membuka suara dengan lembut, “Raf, kamu baik-baik saja? Aku turut berduka atas perginya Ibu kamu, aku harap kamu baik-baik aja.”
Rafka seketika berhenti mengetik keyboard, dia melihat ke arah Karel, “Aku tidak tahu lagi Kare, akhir-akhir ini semuanya terasa berat setelah kepergian Ibu. Aku merasa hancur. Aku sudah berusaha, tetapi kenapa semuanya terasa sia-sia? Uang tidak cukup, waktu untuk istirahat tidak ada, bahkan Ibu sudah pergi. Apa aku bener-bener bisa bertahan dengan semua beban hidup begini?”
Dengan suara pelan, Karel mencoba mengingatkan, “Raf, kamu sudah lama banget tidak salat, kan? Aku tahu pekerjaan menumpuk, tetapi mungkin itu yang membuat semua terasa berat dan rezekimu jadi seret.”
Rafka menatap Karel dengan mata yang mulai panas, suara membentak, “Kenapa semua harus berhubungan sama agama terus? Aku butuh solusi nyata, bukan dikasih tahu untuk salat! Tagihan ibu makin banyak, aku stres, uang tidak cukup, tetapi kamu hanya bicara salat dan doa. Aku capek, Kare!”
“Kamu bahkan tidak merasakan apa yang aku rasakan sekarang, kamu tidak akan pernah tahu apa yang sedang aku lewati. Kamu sama sekali tidak bisa memberi solusi ataupun selalu ada saat aku lagi di titik terendah.”
Seketika Karel terdiam, terkejut oleh amarah sahabatnya. Namun i ia tahu, Rafka sedang di ujung kesabarannya.
———————–
Malam itu, Rafka pulang dengan perasaan campur aduk. Ia membuka pesan dari ibu yang sudah lama ia abaikan sebelum ‘ajal’ menjemput ibunya.
“Nak, Ibu lemah sekali. Ibu tidak tahu sampai kapan Ibu bisa bertahan di kondisi seperti ini. Tolong, jika kamu bisa, pulanglah secepatnya, ya.”
Namun Rafka hanya bisa menatap layar ponsel dengan dada sesak. Uang tidak cukup, pekerjaan menumpuk, dan rasa bersalah makin membebani. Ia merasa terjebak dalam lingkaran tanpa akhir.
Ia membentur dinding, seolah menantang nasib yang kejam. “Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa aku tidak bisa cukup baik untuk ibu? Aku bahkan belum sempat membahagiakan ibu.”
Setelah menatap layar ponselnya berulang kali, Rafka duduk di kursi kecil di kamar kontrakannya. Suara Jakarta yang bising di luar seolah tak mampu menenangkan kegelisahan dalam hatinya.
Pesan dari ibunya terus terngiang di kepalanya. “Nak, Ibu lemah sekali. Ibu tidak tahu sampai kapan Ibu bisa bertahan di kondisi seperti ini. Tolong, jika kamu bisa, pulanglah secepatnya, ya.”
Rafka menunduk, dadanya sesak. Semua beban hidup, tekanan pekerjaan, rasa rindu yang tak tersampaikan, dan rasa bersalah yang menggunung, tumpah jadi air mata yang tak bisa ia tahan lagi.
Dengan suara hampir berbisik, ia berkata pada dirinya sendiri, “Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kenapa semuanya terasa berat? Aku bahkan lupa salat… Rasanya aku sudah mulai kehilangan arah. Aku bahkan tidak tahu, sampai kapan aku seperti ini terus tanpa solusi yang jelas?”
Tangisnya pecah, menggema di ruangan kecil itu. Ia merasa seperti tenggelam dalam kesendirian, tanpa jalan keluar.
Di luar kamar kontrakan, Karel berdiri menahan perasaan. Ia tahu sahabatnya sedang menghadapi badai terbesar dalam hidupnya. Setelah beberapa detik ragu, Karel mengetuk pintu pelan.
“Raf… aku tahu kamu sedang berat, tetapi kamu tidak sendirian,” suara Karel lembut, tetapi penuh kepedulian.
Rafka mengusap air mata dan mengangguk pelan, membuka pintu sedikit. “Aku… aku tidak tahu harus bagaimana, Kare. Semua terasa salah. Aku lelah banget.”
Karel masuk dan duduk di sebelahnya, menyandarkan bahu ke dinding. “Terkadang hidup memang seperti ini, Raf. Kita dihadapkan pada pilihan sulit dan beban yang berat. Namun kamu kuat, aku yakin, kamu bisa melewati ini.”
Rafka menatap sahabatnya, matanya masih basah tetapi mulai ada secercah harapan. “Aku hanya takut gagal, takut tidak bisa baik untuk diri sendiri, dan… aku udah jauh banget dari yang seharusnya.”
Karel tersenyum kecil, “Mulai dari hal kecil aja, coba ambil waktu untuk ibadah, jaga dirimu sendiri. Kalau kamu kuat, kamu juga bisa bantu Ibu lebih banyak.”
Rafka mengangguk pelan, “Makasih, Kare. Aku butuh banget dukungan ini.”
“Selalu, Raf. Kita jalani bareng-bareng.”
————————-
Beberapa minggu setelah malam itu, Rafka mulai menata hidupnya kembali. Ia berusaha untuk salat tepat waktu, menyisipkan doa dalam setiap kesibukannya, dan yang terpenting, mulai lebih terbuka dengan Karel dan rekan kerja tentang beban yang ia pikul.
Dengan pengelolaan waktu yang lebih baik, Rafka juga berhasil mengajukan cuti dan pulang ke kampung halamannya. Ia mulai berjalan ke makam ibunya dan mulai menaburkan bunga di sekitar makam ibunya. Ia duduk di sebelah makam ibunya dan membaca doa.
Setelah selesai berdoa dan membaca Surah Yasin, Rafka mulai menyentuh nisan ibunya, seketika air mata mengalir di pipinya. Perasaan rindu yang belum dia sampaikan dan pelukan sang ibu yang sudah lama belum ia rasakan kehangatannya.
Dia berbisik ke kuburan itu, seakan-akan dia sedang berbincang dengan sang ibu. “Maaf ya, Bu, kalau Rafka tidak sempat menjenguk Ibu. Sekarang Ibu sudah tidak merasakan sakit lagi dan bisa tenang di sisi-Nya. Terima kasih atas semua doa Ibu untuk Rafka, maafkan Rafka tidak bisa selalu ada untuk Ibu. Rafka sayang sama Ibu.”
Di hari-hari berikutnya, Rafka mulai merencanakan masa depan dengan lebih bijak, bukan hanya untuk karier, tetapi untuk keluarga dan diri sendiri. Meski perjalanan masih panjang, Rafka sudah menemukan titik terang baru bahwa dalam kesibukan dan tantangan, ada kekuatan dalam doa, keluarga, dan harapan. [CM/Na]