Penulis: Shahibatul Hujjah
Umat membutuhkan kepemimpinan yang mampu mengerahkan kekuatan riil, bukan sekadar kecaman diplomatik. Selama kepemimpinan Islam belum tegak, umat akan selalu tercerai-berai, tidak memiliki tentara yang siap membela kehormatan kaum muslim.
CemerlangMedia.Com — Sejak lama Gaza menjadi simbol penderitaan umat Islam sekaligus saksi nyata kebengisan Zi*nis Isra3l. Pada tahun 2025, blokade terhadap Gaza kembali diperketat. Pemutusan listrik, penghentian pasokan energi, dan lumpuhnya akses air bersih menjadikan kondisi kemanusiaan makin parah.
Menurut laporan AP News (10-3-2025), pemutusan listrik Israel telah menghentikan operasi pabrik desalinasi sehingga lebih dari dua juta penduduk Gaza kehilangan akses air minum bersih. Dampaknya bukan sekadar kegelapan, tetapi juga krisis sanitasi dan ancaman kesehatan massal.
Tekanan Isra3l bukan hanya dalam bentuk serangan militer, tetapi juga pemadaman komunikasi dan infrastruktur vital. Meski narasi resminya disebut sebagai upaya keamanan, kenyataannya, strategi ini adalah senjata psikologis untuk melemahkan semangat rakyat Palestina.
Keterputusan listrik dan komunikasi membuat koordinasi bantuan darurat terhambat, rumah sakit lumpuh, dan penduduk makin terisolasi. Inilah bentuk nyata perang asimetris—membunuh tanpa peluru, tetapi efeknya menghancurkan.
Reaksi Dunia Internasional
Gelombang protes dan kecaman dari dunia internasional pun bermunculan. Belgia, melalui putusan pengadilan di Flanders, menghentikan transit peralatan militer yang bisa digunakan Isra3l dalam perang, termasuk suku cadang tank Merkava (Euronews, 7-8-2025).
Spanyol melangkah lebih jauh. Perdana Menteri Pedro Sánchez pada (8-9-2025) mengumumkan larangan kapal maupun pesawat yang membawa senjata ke Isra3l untuk singgah di pelabuhan atau wilayah udara Spanyol (Reuters, 8-9-2025). Ini bukan sekadar retorika, melainkan aturan resmi yang ditetapkan negara.
Sementara itu, Komisi Eropa mengajukan proposal menangguhkan keistimewaan dagang Isra3l dalam perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa karena alasan pelanggaran HAM di Gaza (Le Monde, 18-9-2025). Norwegia pun menarik sebagian investasinya dari perusahaan yang terhubung dengan operasi Isra3l di wilayah pendudukan.
Di luar jalur diplomatik, para seniman Hollywood, musisi, hingga atlet olahraga global turut menyerukan boikot terhadap Isra3l. Sekretaris Jenderal PBB bahkan memperingatkan agar dunia tidak tunduk pada intimidasi Isra3l.
Namun, semua langkah tersebut terbukti tidak mengubah keadaan di lapangan. Gaza tetap dibombardir, rakyat tetap terisolasi, dan Isra3l tetap melanjutkan agendanya. Inilah bukti bahwa sekadar embargo parsial atau boikot simbolik tidak mampu menghentikan mesin penjajahan Zi*nis yang didukung penuh oleh kekuatan besar dunia.
Kapitalisme dan Peran Amerika Serikat
Isra3l tidak pernah berdiri sendiri. Dukungan penuh Amerika Serikat, baik secara militer, ekonomi, maupun politik, menjadi tiang penopangnya. Washington tidak hanya memberikan miliaran dolar bantuan militer setiap tahun, tetapi juga perlindungan politik di Dewan Keamanan PBB. Setiap resolusi yang berpotensi menghentikan agresi Isr3el hampir selalu di-veto AS.
Dalam bingkai kapitalisme global, boikot dan embargo dari sebagian negara Eropa tidak lebih dari retorika politik. Di depan layar mereka mengecam, sedangkan di belakang layar, jalur dagang dan kepentingan strategis tetap berjalan. Itulah wajah munafik sistem kapitalisme, selalu menempatkan keuntungan di atas nilai kemanusiaan. Selama dunia masih terikat dalam jaring kapitalisme, Palestina akan terus menjadi korban.
Solusi Menurut Islam
Islam memandang penjajahan atas negeri muslim manapun sebagai agresi terhadap seluruh umat. Tidak ada ruang untuk kompromi atau netralitas. Rasulullah ﷺ bersabda,
مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ، يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ”.
(HR Muslim, no. 1841)
“Sesungguhnya imam (khalifah) itu adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.”
Hadis ini menegaskan bahwa umat membutuhkan kepemimpinan yang mampu mengerahkan kekuatan riil, bukan sekadar kecaman diplomatik. Selama kepemimpinan Islam belum tegak, umat akan selalu tercerai-berai, tidak memiliki tentara yang siap membela kehormatan kaum muslim.
Negara Islam sebagai institusi politik Islam bukan hanya mempersatukan kekuatan umat, tetapi juga mengelola sumber daya secara mandiri, menutup ketergantungan kepada pihak asing, dan menjadikan militer sebagai pelindung kehormatan. Dalam bingkai Islam, boikot bukan lagi simbol, tetapi kebijakan strategis, yakni penghentian total hubungan politik, ekonomi, dan budaya dengan penjajah.
Lebih dari itu, Islam menempatkan jihad sebagai solusi hakiki dalam menghadapi agresi. Allah Swt. berfirman,
“Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, dan (sampai) agama itu hanya milik Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 193). Ayat ini adalah instruksi jelas bahwa kezaliman Zi*nis hanya dapat dihentikan dengan kekuatan nyata, bukan diplomasi semu.
Penutup
Apa yang terjadi di Gaza hari ini menunjukkan bahwa suara PBB, embargo Eropa, hingga boikot selebritas dunia hanyalah gimik politik. Selama Amerika Serikat dan sistem kapitalisme global tetap menopang, Isra3l akan terus mengeksekusi agenda Zi*nismenya. Umat Islam tidak boleh lagi bergantung pada lembaga internasional atau sekutu kapitalis.
Sudah saatnya umat menyadari, hanya dengan kembali kepada syariat dan tegaknya Khil4f4h, tentara Islam dapat digerakkan untuk membebaskan Gaza dan negeri-negeri muslim lain yang tertindas. Itulah satu-satunya jalan yang mampu menghentikan genosida Zi*nis sekaligus mengembalikan kemuliaan kaum muslim. [CM/Na]