Oleh. Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Penyematan kata pahlawan kepada mereka yang berjasa, selayaknya mereka diberikan penghargaan setinggi-tingginya. Tanpa jasa seorang pahlawan, tak akan pernah ada ketenteraman hidup. Di balik kehidupan yang lebih baik, pasti ada pahlawan yang rela berkorban. Maka dari itu, jasa pahlawan tidak bisa dilupakan, justru keberadaannya harus dijunjung bak seorang raja.
Namun, naas bagi pahlawan devisa negara, hidupnya tak menentu. Mengadu nasib ke negeri seberang dengan harapan hidup lebih baik justru penganiayaan yang didapat. Alih-alih hidup lebih baik, yang ada terombang-ambing tanpa perhatian dari siapa pun. Ketidakjelasan nasibnya kini digantungkan kepada pertolongan pihak berwenang.
Inilah kisah pilu Pekerja Migran Indonesia (PMI). Ratna Komalasari, warga Desa Sindangsari, Bekasi Jawa Barat. Ia menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi secara ilegal. Mirisnya, setelah 4 bulan tanpa kabar berita, kini kondisinya diketahui sedang lemah di tempat perantauan. Ia berpesan kepada bibinya, untuk menjaga anak-anaknya yang ia tinggal di kampung halaman (Kabarbekasi.id, 07-08-2023).
Nasib tragis seperti di atas bukanlah yang pertama terjadi. Fenomena pekerja migran kerap menjadi persoalan yang penyelesaiannya tak pernah tuntas. Padahal dalam catatan Bank Indonesia (BI), Pekerja Migran Indonesia menyumbang devisa senilai US$9,71 miliar atau setara dengan Rp133,95 triliun pada 2022. Hal ini mengalami jumlah kenaikan remitansi sebesar 6,01% dibandingkan pada tahun sebelumnya, yakni sebanyak US$9,16 miliar (Dataindonesia.id, 28-02-2023)
Sebagai penyumbang devisa negara dalam bentuk remitansi, PMI secara tidak langsung ikut berperan dalam roda perekonomian negara. Sebab inilah, PMI kerap disebut sebagai pahlawan devisa negara. Walaupun demikian, keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan pekerja migran nyaris tidak ada.
Undang-Undang Produk Politik Tak Ideal
Pekerja migran hanya diperas keringatnya untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tak ada perlindungan yang mampu membuat mereka aman di negeri orang. Minimnya perlindungan terhadap hak-hak PMI makin menunjukkan kezaliman negara terhadap mereka yang sudah berjasa menyumbangkan devisa untuk negara. Walaupun sebenarnya Indonesia sudah memiliki Undang-Undang nomor 18 Tahun 2017 yang mengatur tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Namun, undang-undang tersebut tidak mampu menjamin perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia. Hal ini wajar tidak mempan menghadapi permasalahan pekerja migran karena undang-undang ini adalah produk hasil negosiasi politik sehingga tidak ideal dan sempurna. Inilah yang disampaikan oleh Wahyu Susilo, pendiri Migrant CARE pada tulisannya yang berjudul “Membaca Kritis UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia” pada 18 Desember 2017.
Lebih dari itu, menjamurnya PMI melancong ke luar negeri disebabkan kurangnya lapangan kerja di negara sendiri atau bisa juga disebabkan oleh penghasilan yang didapat tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga para perempuan pun ikut mengadu nasib untuk menjadi pekerja migran. Bahkan tak jarang didapatkan keluarga PMI hancur dan rusak karena suami atau istri bekerja migran. Nasib mereka dengan berbagai persoalan, mulai dari perceraian, kekerasan seksual dan kekerasan fisik, gaji tak dibayar, bahkan sampai terjadi perbudakan, jelas menimbulkan keprihatinan. Situasi sulit yang sedang melanda PMI tersebut makin berbelit tatkala agensi yang menaungi mereka berlepas tangan. Kini, pahlawan devisa negara itu sedang teraniaya.
Tanggung Jawab Negara
Namun, apa pun itu, pihak yang paling bertanggung jawab atas masalah kesejahteraan rakyat adalah negara. Kegagalan negara hingga membuat rakyatnya terlunta-lunta di negara lain akibat implementasi dari sistem ekonomi kapitalisme. Sampai kapan pun, selama sistem kapitalisme ini bercokol di dunia ini, jeratan kemiskinan akan tetap mencekik rakyat.
Dalam sistem kapitalisme, materi adalah segalanya. Mereka yang mempunyai materi berlebih, sudah pasti mampu menguasai dunia. Jarak antara si kaya dan si miskin menganga lebar. Hidup dalam sistem kapitalisme ini tak ubahnya seperti hukum rimba, yang kuat dan mempunyai banyak modal memangsa yang lemah dan tidak mempunyai banyak modal. Cara mendapatkan materi pun bahkan sampai harus menumpahkan darah. Apa pun dikuasai untuk mendapatkan pundi-pundi uang, termasuk hak-hak umum yang seharusnya tidak boleh dikuasai perseorangan. Sungguh, kapitalisme sekularisme adalah cara hidup yang keji, memosisikan materi sebagai Tuhan.
Urgensi Sistem Islam
Hal ini berbeda jauh dengan Islam. Islam menjadikan kesejahteraan rakyat berada di pundak negara. Negara bertanggung jawab penuh atas terpenuhinya kebutuhan dasar rakyatnya. Kebutuhan dasar yang berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan didapatkan dengan mudah bahkan gratis di negara yang berdasarkan Islam.
Dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut, negara memfasilitasi dengan membuka lapangan pekerjaan bagi kepala keluarga. Negara juga memastikan bahwa setiap kepala keluarga menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu memberikan nafkah kepada setiap anggota keluarganya. Apabila didapatkan kepala keluarga yang lalai, maka negara tidak segan-segan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku. Negara juga menjamin nafkah perempuan dan keluarganya yang tidak punya kepala keluarga laki-laki. Hal ini akan mengoptimalkan fungsi ibu sebagai pendidik generasi.
Selain itu, negara juga memberlakukan sistem ekonomi Islam, yakni dengan memanfaatkan sumber daya alam untuk dikelola guna memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Ini sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang memperbolehkan sumber daya alam dikelola oleh asing. Jelas hal ini melanggar aturan Islam, sebab dalam Islam, SDM adalah milik umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad bahwa kaum muslimin berserikat pada tiga perkara yakni api, rumput, dan air.
Selain itu, sistem ekonomi dalam Islam juga meniscayakan pengelolaan baitulmal untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sistem ini dilakukan untuk mengelola pendapatan dan pengeluaran sesuai syariat. Hal ini juga jauh berbeda dengan sistem kapitalisme yang sangat menggantungkan pendapatan negara dengan utang dan pajak.
Dari perbedaan keduanya, sudah pasti sistem Islam-lah yang lebih sempurna. Lebih mampu menyejahterakan rakyat. Namun, penerapan sistem ekonomi Islam bersamaan dengan sistem pemerintahan Islam karena sistem ekonomi Islam tidak akan ada dalam sistem pemerintahan demokrasi.
Maka dari itu, penerapan sistem Islam saat ini sangat urgen. Dengan adanya sistem Islam, tidak akan ada lagi eksploitasi dan penganiyaan terhadap pekerja. Keluarga sakinah, mawadah, warahmah akan terwujud nyata karena masing-masing anggota keluarga akan berfungsi maksimal dalam peran masing-masing.Wallahu’alam. [CM/NA]
Views: 3






















