Menyoal Efektifitas UU Perampasan Aset Guna Mencegah Korupsi

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

CemerlangMedia.Com — Entah untuk kali ke berapakah tindak pidana korupsi kembali terjadi. Seakan hal ini menjadi “habit” para pemangku kekuasaan dalam sistem pemerintahan demokrasi. Segala macam aturan perundang-undangan yang menjerat mereka pun seolah tidak memberikan efek jera.

Lucunya, koruptor yang sudah menyelesaikan masa hukuman bahkan boleh mencalonkan diri menjadi pejabat kembali. Nalar seakan dibuat limbung akan keadilan yang tidak lagi adil. Kasus korupsi menjadi kasus yang bersiklus dan tidak terputus.

Baru-baru ini, pelaku korupsi kembali tertangkap tangan, baik yang dilakukan oleh pejabat, anggota dewan atau ASN, bahkan dilakukan secara berjamaah. Ternyata istilah “gak ada lo gak rame” bisa mengikat solid para pejabat untuk menilep uang rakyat secara rame-rame pula.

Kasus teranyar adalah kasus korupsi yang dilakukkan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah. Selain menjabat sebagai Bupati, Ary Egahni Ben Bahat juga merupakan anggota DPR RI dari Fraksi Nasdem. Ia dan istrinya telah menyalahgunakan wewenang kekuasaan yang dimilikinya untuk korupsi. (29/03)

Menurut pegiat antikorupsi dari PUKAT Universiyas Gajah Mada, Zaenur, mengatakan bahwa tindakan korupsi sama sekali tidak bisa lepas dari High Cost Politic, dan ini lazim dilakukan oleh kepala daerah. Zaenur juga menyimpulkan beberapa celah yang menjadi peluang korupsi di antaranya penjualan perizinan, penerimaan suap, gratifikasi pengadaan barang dan jasa, pengisian pegawai daerah, hingga korupsi anggota dewan.

Selain itu, Zaenur menekankan bahwa tindak pidana korupsi bisa diselesaikan dengan mematikan kondisi High Cost Politic dalam pengadaan pemilu. Pertanyaannya, bisakah demikian?

Saat ini ramai pembahasan tentang RUU perampasan aset tindak pidana, dan hingga kini belum ada kejelasan. Padahal Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006.

RUU ini kembali dipertanyakan pasca korupsi berjamaah yang disinyalir ada di salah satu kementrian. Dilansir dari cnnindonesia.com, fakta yang menghebohkan masyarakat tersebut adalah polemik dugaan transaksi janggal sebesar Rp349 T di Kementrian Keuangan. Sungguh nominal yang sangat fantastis. Merespon hal tersebut, Menteri Koordinator Politik dan Ham, Mahfud MD, mendesak Ketua Komisi III DPR RI untuk segera membahas, dan mengesahkan RUU Perampasan Aset.

Bambang Wuryanto, selaku Ketua Komisi III DPR RI menjawab, bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset hanya akan ketuk palu jika semua ketua umum partai setuju. Sungguh ironis, gurita kasus korupsi sudah tidak terkendali, namun masih tarik ulur untuk urusan solusi.

Melihat gurita kasus korupsi, dan kuatnya sekularisme merasuki negara ini, muncul pertanyaan, apakah penegsahan RUU perampasan aset efektif untuk mencegah korupsi?

Jika berpikir mendalam dan cemerlang, sesungguhnya Islam memiliki berbagai mekanisme efektif untuk mencegah korupsi. Pertama, mulai dari penanaman akidah yang kuat di setiap individu. Penanaman akidah yang kuat akan memunculkan kesadaran akan kehadiran Sang Pencipta dalam hati dan benak. Sehingga akan selalu merasa ada yang mengawasi. Akidah akan menguatkan ketakwaan individu, sehingga rasa takutnya pada Sang Pencipta mencegahnya berbuat khianat dalam menjalankan amanah.

Kedua, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas. Tindak pidana korupsi merupakan tindakan terkategori jarimah (kriminal) yang disebut dengan khianat. Pelakunya disebut kha’in, sehingga harus diberikan sanksi yang memberikan efek jera.

Karena itu, sanksi yang berlaku untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan sebagaimana disampaikan dalam QS Al Ma`idah: 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim (kepala negara)

Dari sahabat Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw. pernah bersabda: “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR Abu Dawud).

Demikianlah efektifitas sistem Islam dalam mencegah korupsi. Jika ada jalan alternatif yang sudah tebukti ampuh dalam menyudahi korupsi, akankah kita betah berlama-lama mengandalkan aturan yang bahkan pengesahannya pun masih maju mundur.

Tati Sunarti, S.S

[CM/NA]

Views: 4

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *