Duka Rempang: Rakyat Tanpa Daya, Investor Bertahta

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Cut Dida Farida
(Kontributor CemerlangMedia.Com, Pegiat Literasi)

CemerlangMedia.Com — Ada apa dengan Rempang? Semua orang membicarakannya, semua media menayangkannya. Konon katanya telah terjadi penggusuran di sana. Rakyat yang telah beratus tahun mendiami tanah Rempang, diusir paksa dengan dalih investasi. Mereka harus pergi karena tak punya sertifikat tanah. Sungguh sebuah ketidakadilan yang menikam. Apalah daya rakyat Rempang, berupaya bertahan, harus berurusan dengan pihak berwenang. Sungguh kejam!

Sebagaimana yang diberitakan, situasi mencekam tengah melanda Pulau Rempang, Batam, Kepri pasca terjadinya bentrokan antara aparat dengan warga setempat pada Kamis (7-9-2023) yang lalu. Aparat gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, dan Satpol PP, dan BP Batam memaksa masuk ke dalam kawasan pemukiman warga untuk memasang patok tata batas lahan Rempang Eco-City dan mendapat penolakan dari warga. Nahasnya, bentrokan tak imbang tersebut mengakibatkan 6 orang ditangkap, puluhan orang luka-luka, dan di antaranya terdapat satu anak yang terluka akibat tembakan gas air mata, dan sejumlah anak lainnya mengalami trauma (bisnis.tempo.co, 08-09-2023).

Rempang dan Awal Mula Permasalahan

Pulau Rempang adalah salah satu pulau di wilayah Kecamatan Galang, Kepulauan Riau. Dengan luas wilayah sebesar 165 kilometer persegi dan jumlah penduduk 7.512 jiwa, Rempang praktis memiliki posisi yang sangat strategis sebagai jalur perlintasan dunia karena berdekatan dengan beberapa negara di selat Malaka seperti Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lain. Oleh karena letaknya yang strategis itu juga, Rempang sangat diminati oleh banyak investor. Hal ini bersesuaian dengan program pemerintah yang konon hendak memajukan perekonomian Indonesia melalui jalur investasi. Oleh karena itu, dibuatlah skema Proyek Rempang Eco-City yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2023 dan tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI No. 7 Tahun 2023.

Tercatat, sejumlah perusahaan dikabarkan terlibat penanaman modal investasi proyek tersebut, di antaranya yaitu PT Mega Elok Graha (MEG) dan Xinyi Group. PT MEG mendapatkan hak pengelolaan terhadap 17.000 hektare lebih lahan di kawasan Rempang sejak 2004 hingga kini. Sedangkan Xinyi Glass Holdings Ltd yang merupakan anak perusahaan Xinyi Group disebut akan menggelontorkan dana investasi sebesar Rp381 triliun hingga 2080 untuk pembangunan pabrik kaca dan panel surya di atas tanah seluas 2.000 hektare di Pulau Rempang (bisnis.tempo.co, 20-09-2023).

Hal ini jelas mendapatkan penolakan dari masyarakat. Pasalnya, Pulau Rempang bukan pulau yang tak berpenghuni. Masyarakat Rempang telah mendiami pulau ini jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya sejak 300 tahun yang lalu. Enam belas titik kampung tua Melayu di Pulau Rempang dan Galang yang terancam direlokasi memiliki sejarah yang sangat panjang. Kehidupan di sana sudah ada sejak zaman Kesultanan Melaka. Para leluhur penduduk Rempang adalah keturunan dari para prajurit Kesultanan Riau Lingga. Menurut catatan sejarah, mereka telah mendiami pulau-pulau tersebut sejak 1720 M, yakni pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I. Mereka pula yang turut berjuang mempertahankan tanah Rempang di bawah pimpinan Raja Haji Fisabilillah (salah seorang Pahlawan Nasional) saat berkecamuk Perang Riau I dan Perang Riau II melawan Belanda. Jika kini penguasa hendak berusaha mengusir para keturunan laskar dari tanah kelahirannya dengan dalih investasi, maka patut dipertanyakan, kepada siapa pemerintah berpihak, kepada investor ataukah rakyat?

Investasi Pemicu Konflik Agraria

Konflik agraria sebagaimana yang terjadi di Rempang, bukan hal yang baru. Tercatat, sebanyak 2.710 konflik agraria terjadi selama kurun waktu 9 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan mencapai 1,7 juta keluarga korban terdampak di seluruh wilayah Indonesia (cnnindonesia.com, 24-07-2023). Dalam kasus Rempang, SK Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk dijadikan kawasan investasi terpadu yang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), pemerintah secara tegas mengindikasikan niatnya untuk menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah). Konsep ini berprinsip bahwasanya tanah dianggap sebagai kepemilikan negara. Pada saatnya dibutuhkan, maka pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya, seperti BP Batam, bisa mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat (walhi.or.id, 31-08-2023). Hal ini sangat disayangkan. Investasi yang digadang-gadang akan memajukan perekonomian negeri, nyatanya hanya membuat rakyat terusir dari tanah sendiri. Oleh karenanya, patut dipertanyakan, apakah benar investasi mampu memajukan negeri atau hanya merupakan kedok untuk melanggengkan penjajahan gaya baru?

Kebijakan investasi yang sejatinya tidak pro rakyat dan cenderung hanya menomorsatukan kepentingan para pemodal ini bukanlah hal yang mengherankan. Berbagai kebijakan pro kapitalis telah ditelurkan, mulai dari penyederhanakaan sistem perizinan lahan melalui reformasi agraria, percepatan izin berusaha melalui program One Single Submission (OSS), hadirnya RUU Pertanahan yang merugikan petani, hingga adanya kebijakan deregulasi dalam bentuk omnibus law (UU Cipta Kerja) yang kesemuanya bermuara pada kemudahan perizinan berusaha dan berivestasi di Indonesia.

Investasi sendiri memiliki titik kritis, yakni pencengkeramaan kapitalis dan asing terhadap Indonesia (baca: penjajahan). Menurut pakar ekonomi syariah, Dr. Arim Nasim, SE., M.Si., Ak., CA., ada dua alat penjajahan yang dilakukan, baik oleh asing maupun aseng, yakni hutang dan investasi. Melalui investasi, mereka bisa meraup keuntungan yang luar biasa, termasuk dari pengelolaan sumber daya alam yang sejatinya untuk rakyat (mediaumat.id, 20-07-2022). Sekalipun kebijakan investasi liberalistik hanya akan berpotensi menimbulkan banyak konflik sosial di masyarakat, salah satunya konflik agraria akan makin meruncing dan meluas, nyatanya tidak menyurutkan langkah pemerintah. Mengapa demikian? Tak lain karena sistem yang digunakan untuk memerintah negeri ini adalah sistem kapitalisme global. Sistem ini meniscayakan seluruh keberpihakan pemerintah hanya untuk para kapitalis (pemodal). Seluruh infrastruktur negara yang dibangun berikut kebijakan dan perundang-undangan yang dihasilkan semua demi kepentingan para kapitalis, salah satunya yang diwakili oleh para investor. Satu-satunya cara untuk melepaskan negeri ini dari cengkeraman kapitalisme global adalah dengan mengganti sistem yang digunakan negeri ini dengan sistem Islam yang mampu menyejahterakan.

Solusi untuk Negeri

Negeri ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu menerapkan syariat Islam secara kafah dalam sistem kenegaraan karena hanya Islam sajalah yang mampu memberikan keadilan.

Pemimpin di dalam Islam laksana junnah (perisai) yang melindungi rakyatnya dari ketertindasan. Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pemimpin dalam Islam tidak akan menipu rakyatnya dengan janji-janji palsu pemberian sertifikat tanah, tidak akan ‘memiting’ rakyatnya, tidak akan tega menembakkan gas air mata dan menciderai rakyatnya. Pemimpin dalam Islam adalah seorang periayah (pengatur dan pengayom urusan umat), bak seorang ibu terhadap anak-anaknya. Seorang ibu tidak akan pernah tega menelantarkan anak-anaknya demi tamu asing atau bahkan mengusir mereka dari rumah mereka sendiri. Pemimpin dalam Islam juga tidak akan mengkuasakan kepada asing entah itu tanah ataupun sumber daya alam. Untuk itu menjadi seorang pemimpin dibutuhkan mental yang kuat dan berani dalam menghadapi kapitalisme global yang telah menghegemoni dunia. Kekuatan ini hanya akan dimiliki ketika Allah saja yang menjadi sumber kekuatannya. Kekuatan yang dibangun atas dasar akidah Islam yang kokoh, yang menjadi fondasi individu, bermasyarakat, dan bernegara.

Atas dasar landasan keimanan, seorang pemimpin akan menjadikan syariat Islam sebagai tata aturan, termasuk dalam hal sengketa lahan dan investasi. Dalam hal sengketa lahan, di dalam Islam, penyelesaiannya dilakukan secara praktis melalui kejelasan status kepemilikan lahan.

Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Di hadis yang lain beliau juga bersabda, “Siapa saja yang lebih dahulu sampai pada sebidang tanah, sementara belum ada seorang muslim pun yang mendahuluinya, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR ath-Thabarani).

Maka dalam hal ini, masyarakat Rempang jelas lebih berhak atas tanah tersebut karena telah mendiami selama ratusan tahun dan di sana mereka mencari penghidupan di dalamnya. Status kepemilikan lahan Rempang adalah kepemilikan individu yang dilindungi status kepemilikannya dalam syariat Islam.

“Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR Muttafaq ‘alayh).

Siapa pun tidak akan bisa merampas tanah dengan status kepemilikan individu, bahkan negara sekalipun karena yang demikian termasuk perbuatan zalim yang pasti akan mendapatkan azab dari Allah Swt..

Dalam hal penanaman investasi asing, negara tidak akan pernah bekerja sama dengan negara lain yang berstatus muharriban fi’lan (negara yang secara nyata memerangi Islam dan kaum muslimin), seperti Cina yang jelas-jelas telah memerangi kaum muslimin Uighur. Jika pun negara melakukan kerjasama dengan negara muhariban hukman dalam hal penanaman investasi asing, maka hal yang perlu diperhatikan yakni:
Pertama, tidak boleh dilakukan pada bidang strategis dan vital karena dikhawatirkan akan menjadi wasilah (sarana) bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Allah berfirman, “..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa: 141).
Kedua, tidak boleh dilakukan pada kepemilikan umum (harta rakyat) yang meliputi air, hutan, dan api sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, “Al muslimuuna syurakaa-u fi tsalaatsin, fil kalaa-i, wal maa-i, wan naari (Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan api).”

Seluruh tata aturan hukum syarak di atas hanya bisa diwujudkan dalam penerapan Islam secara kafah dalam sistem bernegara agar terwujud cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahu a’alam. [CM/NA]

Views: 8

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *