Penulis: Leni Setiani
Aktivis Muslimah
Menjaga hati dari perasaan sudah tawadu adalah hal yang paling berat. Namun jika kita hendak memetik taufik, maka harus menempuh semua itu. Oleh karenanya, apabila kita ingin dimudahkan Allah dalam melakukan kebaikan, maka tempuhlah jalan ketawaduan.
CemerlangMedia.Com — Kupetik bintang untuk kausimpan
Cahayanya tenang berikan kau perlindungan
Sebagai pengingat teman
Juga sebagai jawaban
Semua tantangan
Penggalan lagu berjudul “Melompat Lebih Tinggi” karya grup musik Sheila On 7 ini sedikit mirip dengan kebutuhan manusia akan hidayah. Bagaimana tidak? Tersebab hidayahlah manusia bisa ke arah yang benar. Baik benar kehidupan dunianya, baik akhiratnya. Banyak dari kita yang bertanya, apakah hidayah datang sendiri ataukah dia harus dijemput?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita bahas definisi dan macam-macam hidayah. Hidayah adalah petunjuk atau bimbingan dari Allah Swt. yang diberikan kepada manusia. Hidayah terbagi menjadi tiga, di antaranya:
Pertama, hidayatul khalqi atau hidayah penciptaan. Hidayah ini berupa akal yang berfungsi bisa membedakan baik buruk, berpikir, dan memecahkan masalah. Jika manusia menggunakan akalnya untuk mencari keberadaan Allah, dia akan mendapatkan petunjuk.
Manusia tidak perlu berusaha agar hidayah ini didapatkan karena sudah sepaket dengan penciptaan manusia. Akan tetapi pada faktanya, tidak semua manusia mendapat petunjuk ketika menggunakan akalnya. Artinya, hidayah ini belum cukup menjadikan manusia menjadi baik, maka perlu hidayah yang lain.
Kedua, hidayah irsyad wal bayan atau hidayah petunjuk dan penjelasan, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Hidayah ini, manusia juga tidak perlu berusaha untuk mendapatkannya karena Allah sudah mengutus nabi dan risalahnya. Namun, kedua hidayah ini juga belum cukup menjadikan manusia itu beriman kepada Allah. Banyak yang menggunakan akalnya dan mengetahui petunjuk-Nya, tetapi tidak menjadikan manusia itu berubah. Artinya, butuh sesuatu yang lain lagi.
Ketiga, hidayah taufiq atau hidayah kecukupan. Artinya, dengan hidayah ini cukup menjadikan seseorang mudah melakukan kebaikan. Jika selama ini mengetahui bahwa kita harus sabar, tetapi masih belum bisa menerapkannya, itu berarti kita belum mendapat taufik. Rasanya seperti sulit sekali untuk melakukan kebaikan. Hidayah inilah yang seharusnya kita perjuangkan untuk mendapatkannya karena tidak sembarang orang, Allah beri taufik.
Syarat untuk mendapatkan taufik adalah dengan tawadu. Tawadu adalah merendah. Bagaimana manusia merendahkan dirinya di hadapan Allah dan merendahkan hatinya di hadapan manusia. Tidak mudah memang karena manusia diliputi hawa nafsu untuk merasa diri lebih baik dari yang lain.
Namun, ketika manusia tawadu, efek yang dirasakan sebanding dengan diri yang harus melawan hawa nafsu. Ketika orang tersebut mendapat taufik, dia dengan mudahnya melakukan kebaikan.
Ciri utama orang tawadu adalah dia tidak melihat siapa yang bicara, tetapi apa yang dibicarakan. Walaupun tidak bergelar LC, semisal tukang sayuran yang memberikan nasihat, orang yang tawadu akan mendengar perkataannya selama itu kebenaran tanpa melihat status yang menasihati.
Seseorang yang tawadu memiliki ciri tersendiri, di antaranya:
Pertama, dia lebih senang tidak dikenal daripada dikenal, seperti kisah Imam An-Nawawi yang marah diberikan gelar oleh para ulama dunia karena karyanya mampu membuat majelis ilmu bergairah. Beliau begitu tidak rida karena khawatir hatinya tergelincir pada ujub. Seberat biji zarrah saja kesombongan, tempatnya di jahanam.
Kedua, bersedia menerima kebenaran dari siapa pun, seperti kisah Umar bin Khattab yang dikritik oleh rakyatnya secara langsung. Beliau tidak marah, padahal jabatan beliau saat itu sebagai seorang khalifah atau kepala negara.
Ketiga, gemar menolong. Dikatakan gemar menolong apabila terlalu sering melakukan aktivitas menolong orang dan di hatinya tidak ada rasa pamrih sama sekali. Walaupun orang yang ditolong pada akhirnya berlaku buruk pada kita.
Keempat, mencintai fakir miskin dan tidak segan bergaul bersama mereka. Tidak ada perasaan merasa lebih baik atau bahkan jijik jika berdekatan. Orang tawadu justru yang paling memperhatikan mereka karena dikatakan mencintai. Gambaran orang mencintai tentunya memikirkan keadaan orang lain.
Kelima, pandai berterima kasih, meminta maaf, dan memaafkan. Memang terkadang sulit melakukan ketiga hal ini, tetapi jika berharap taufik, tentu harus berusaha melaksanakannya.
Keenam, tidak berlebihan dalam pakaian, makanan, dan minuman. Orang yang memakai pakaian berharga tinggi pasti merasa ujub pada dirinya. Orang yang tawadu justru dia menghindari itu dan lebih memilih sederhana karena janji Allah. “Siapa yang meninggalkan pakaian (mewah) karena tawadu kepada Allah, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan para makhluk. Lalu Allah memberinya pilihan dari jubah-jubah keimanan yang ia mau untuk memakainya.” (HR At-Tirmidzi).
Ketujuh, sopan santun dalam bersikap dan bertindak. Cek sikap kita selama ini kepada siapa pun. Sudahkah santun yang munculnya dari hati atau sebaliknya?
Kedelapan, merendahkan nada suara. Bukan berarti bersuara kecil, tetapi yang ditekankan di sini adalah kepada nadanya yang rendah. Kepada siapa pun, entah itu pembantu dan semacamnya. Kita tidak meninggikan nada suara di hadapan mereka karena merasa punya kedudukan.
Kesembilan, selalu memandang rendah dirinya, seperti kisah Umar bin Khattab yang menangis sebab khawatir namanya ada di deretan orang munafik karena Rasulullah memberikan rahasia pada Huzaifah saja. Umar tidak merasa sudah dijamin masuk surga, jadi tidak mungkin ada namanya di situ, justru mengkhawatirkannya.
Kesepuluh, merasa sama saat dihina dan dipuji. Hatinya tidak berubah saat orang menghina atau memujinya karena sadar bahwa dirinya memang hina, sebab tercipta dari sesuatu yang hina. Oleh karena itu, tidak perlu marah ketika dihina dan pujian hanya milik Allah, bukan dirinya.
Kesebelas, tidak merasa orang yang punya kedudukan. Menganggap dirinya dengan karyawan atau pembantu yang bekerja padanya sama, tidak ada bedanya karena sama-sama hamba Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.
Keduabelas, tidak menghendaki kedudukan. Dia begitu haus dengan kekuasaan sampai-sampai hal yang dia tidak ahli pun diambil. Orang yang tawadu justru sangat takut pada kedudukan karena semuanya akan Allah mintai pertanggungjawaban.
Terakhir, tidak merasa tawadu. Ketika semua poin di atas telah dilaksanakan, maka menjaga hati dari perasaan sudah tawadu inilah yang berat. Harus senantiasa merasa diri tidak tawadu.
Demikianlah jika kita hendak memetik taufik, maka harus menempuh semua itu. Jika satu terlewat, belum dikatakan layak mendapatkan taufik. Oleh karenanya, apabila kita ingin dimudahkan Allah dalam melakukan kebaikan, maka tempuhlah jalan ketawaduan. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/Na]