Perempuan Karang

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Nuniek ts
(Kontributor CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Kumandang azan Subuh baru saja selesai 10 menit yang lalu, Bi Nani sudah siap dengan tumpukan box plastik berisi kue basah dan gorengan titipan para tetangga yang akan ia jajakan di Kompleks Perumahan Panorama.

Tubuh ringkih yang tak lagi muda menembus dinginnya angin subuh. Berbekal jaket kaos tipis, Bi Nani melangkah lebar menuju mulut gang, akan ada ojek yang mengantarnya menuju komplek perumahan tempat biasa ia keliling.

Hanya dengan waktu 5 menit, ia akan sampai di blok paling ujung tempat biasa memarkirkan gerobak jualan yang setia mendampinginya mencari receh demi receh agar bisa menghidupi keluarga.

Meski hidup sulit, tetapi menyerah pada kehidupan bukan pilihannya. Banyak hal indah yang wajib ia syukuri, hal indah yang mungkin luput dari perhatian mereka yang berpunya. Bagaimana mungkin mengeluh ketika ia banyak menyaksikan kehidupan orang lain yang tak lebih baik darinya.

Oleh karena itu, menjadi karang adalah pilihannya. Aku menamainya perempuan karang, perempuan 53 tahun yang saban hari berkeliling kompleks menjajakan kue sambil mengayuh gerobak kuenya, meniti gang demi gang mencari pembeli, lalu dengan teriakan khasnya memanggil para pelanggan untuk jajan.

“Akhir-akhir ini, jualan sepi,” keluhnya.
“Kadang sampai separuh dagangan tak laku dan harus dikembalikan ke pembuat kue, mungkin orang mulai berhemat di tengah kondisi ekonomi yang semua serba mahal,” ia mencoba menghibur hatinya yang kuyakin juga teriris sedih. Mata sayupnya menatap tumpukan kue yang masih berjejal rapi di box kue.

Hampir 15 tahun Bi Nani menggantikan tugas suaminya menjadi tulang punggung keluarga. Suami Bi Nani, Pak Rizal terkena serangan stroke saat bekerja menjadi satpam di sebuah garmen.

Kedua anaknya pun tak kalah mengenaskan, hampir 5 tahun menganggur setelah terkena badai PHK di sebuah pabrik yang bangkrut dan hingga saat ini belum lagi mendapatkan kerja meski sudah puluhan lamaran mereka ajukan.

Siang ini, Bi Nani singgah sebentar di depan rumah setelah aku memanggilnya. Aku berniat membeli telor asin untuk makan siang.

Bi Nani menghela napas melepas letih, keringat bercucuran di jidat dan pelipisnya, seteguk air dari botol minum membasahi tenggorokannya di tengah terik mentari siang bumi Karawang. Kuambil beberapa kue dan 2 buah telor asin, mengangsurkan uang 13ribu sesuai nominal belanjaku.

Kutepuk pelan bahunya dan memintanya tetap bersabar sambil mendoakan semoga dagangannya cepat habis. Senyum Bi Nani merekah seraya menerima uang dariku, lalu mengucapkan terima kasih dengan mata yang berbinar gembira.

“Bibi kadang merasa sedih gak dengan semua ketetapan yang sudah Allah gariskan?”
Pernah di suatu pagi sepulang antar si bungsu sekolah, aku menanyakan hal ini. Aku penasaran bagaimana ia begitu sabar dan ikhlas dengan semua cobaan yang ia hadapi dalam hidupnya.

Sambil mengunyah pisang goreng tanduk favoritku, kulihat mata Bi Nani menerawang jauh ke kumpulan ibu-ibu yang sedang berebut buah mangga diskonan. Suasana Jumat pagi di pasar kaget ini memang selalu ramai, tak seperti pada hari lainnya yang terkadang hanya ada beberapa penjual saja yang berjualan.

Bibi menghela napas sangat panjang seolah berusaha mengeluarkan semua sesak dada yang menghimpit belasan tahun. Lalu dengan suara lirih Bi Nani menjawab, bahwa dulu ia juga selalu merasa Allah tak adil kepadanya, dengan meletakkan dirinya di posisi sulit seperti ini, ia juga sering bertanya- tanya mengapa cobaan yang ia alami teramat berat dan tak ada habisnya.

Terkadang ia merasa ingin menyerah saja, tetapi seiring waktu berjalan, Bi Nani tersadar dan mulai menerima semua takdir Allah karena Bi Nani yakin semua takdir yang Allah tetapkan pastilah takdir yang terbaik untuk umatnya.

Aku terkagum dengan jawaban Bi Nani, kutatap mata sayupnya. Lingkaran hitam di bawah mata tanda paling jelas bahwa ia kurang tidur dan bekerja terlalu keras untuk keluarganya. Rasa kagum terhadap Bi Nani makin menyadarkanku bahwa Allah tak pernah salah menitipkan cobaan pada perempuan karang ini. Tampaknya aku harus belajar lebih banyak kepada Bi Nani tentang bab ikhlas dan syukur.

Aku dan Bi Nani sedang asyik mengobrol di pos ronda tempat biasa ia mangkal, kami terlanjur kaget ketika seorang ibu dari arah gerobak memanggil Bi Nani. Segera saja ia bangkit, bibirnya tersenyum semringah ketika perempuan tadi memborong hampir separuh dagangannya untuk sedekah Jumat di mesjid siang ini. Ada kelegaan dalam senyum Bi Nani, kelegaan bahwa malam nanti akan ada beras dan lauk pauk seadanya yang bisa ia bawa pulang untuk keluarganya.

Selain berjualan kue keliling, Bi Nani juga masih melanjutkan perjuangannya mencari nafkah di sebuah toko grosir sembako seberang masjid sampai Magrib tiba hanya demi mendapatkan upah 900ribu per bulan, nominal yang hanya cukup untuk membayar SPP putri sulungku. Namun, untuk Bi Nani, uang 900ribu sungguh berharga, selain bisa untuk nafkah keluarganya, juga bisa membantu pengobatan suaminya.

Waktu hampir pukul 7.30 pagi, ketika aku keluar dari parkiran sekolah. Kupacu sepeda motor lebih kencang, tak sabar rasanya ingin segera mengabarkan berita bahagia kepada Bi Nani. Semoga Bi Nani masih ada di pengkolan samping pos ronda, doaku dalam hati. Aku bernapas lega ketika ternyata Bi Nani masih sibuk melayani pembeli kue di tempat mangkal seperti biasanya.

Kuangsurkan amplop putih ke hadapan Bi Nani, amplop berisi uang 600ribu untuk biaya membuat SIM anaknya. Ada lowongan pekerjaan di pabrik suamiku yang sedang mencari supir untuk manager baru. Aku yang tau betul tentang kondisi keluarga Bi Nani meminta kepada suami untuk mencarikan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan anak Bi Nani yang cuma lulusan SMP, meski cuma berijazah SMP, anak Bi Nani bisa mengemudikan mobil dan pernah menjadi supir cadangan. Namun, karena terkendala SIM, anaknya tak mendapat kesempatan untuk terus menjadi supir cadangan.

Dengan raut wajah bingung Bi Nani menerima amplop, jutaan tanya berkecamuk dalam hatinya. Lalu kujelaskan dengan detail apa saja yang harus disiapkan agar anak Bi Nani bisa segera melamar kerja di pabrik tempat suamiku bekerja.

Ucapan syukur dan terima kasih tak henti kudengar dari mulutnya. Air mata bahagia tak lagi bisa dibendung, mengalir begitu saja tanpa kompromi. Akhirnya, Allah mendengar semua doa yang selama ini Bi Nani lanjutkan, keluh kesah yang selama ini ia rasakan sirna hanya dengan sebuah kesempatan bekerja untuk anaknya. Allah memang Maha Baik, jika kita bersyukur dengan semua nikmat-Nya, maka niscaya Allah akan melipat gandakan nikmat yang kita terima.

Bi Nani menggenggam erat tanganku sambil mendoakan semoga semua kebaikan yang telah aku lakukan menjadi amal jariah dan semoga Allah membalasnya dengan pahala kebaikan yang berlipat ganda. Aamiin… Aamiin… ya Rabbal ‘aalamiin.

Semua takdir Allah itu baik
Semua janji Allah itu pasti
Jadi jangan pernah meragukan apa yang telah Allah tetapkan
Karena tetap bersyukur di kala tersungkur adalah level tertinggi dari ikhlas

Karawang, 9 Nov 2023 [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *