Penulis: Muvidatul Munawarah
Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan
CemerlangMedia.Com — Pagi itu, sinar matahari menembus lembut lewat kaca jendela kamar seorang gadis. Langit berwarna jingga muda, diiringi kicau burung yang riang menyambut hari baru. Aroma embun bercampur dengan wangi melati dari taman depan, menyelusup masuk lewat jendela yang setengah terbuka.
Namanya Airin Klara Andini, gadis berusia 16 tahun yang memiliki suara seindah pagi. Ia gemar bernyanyi dan bermain gitar —alat musik yang baginya bukan sekadar hiburan, melainkan cara berbicara dengan dunia. Namun, yang membuatnya istimewa bukan hanya suaranya, melainkan hatinya yang lembut dan keinginannya untuk berbagi.
Airin memiliki sahabat sekaligus sepupu yang sangat dekat dengannya, Kim Leehan. Leehan tumbuh tanpa ibu sejak kecil, tetapi ayahnya mengajarkan makna kebaikan dan kepedulian. Ia dikenal di sekolah sebagai bintang basket yang rendah hati dan sering membantu siapa pun tanpa pamrih.
Sejak kecil, mereka tumbuh bersama dalam lingkungan yang mengajarkan kasih dan kepedulian. Setiap akhir pekan, keduanya memiliki kebiasaan yang tak biasa, mengunjungi Panti Asuhan Harapan Bunda, tempat anak-anak kecil menunggu kasih dan perhatian.
“Leehan, minggu ini kita ajarin anak-anak bernyanyi, ya?” kata Airin sambil memegang gitar kesayangannya.
“Tentu, aku juga sudah siapkan bola basket bekas untuk mereka,” jawab Leehan sambil tersenyum cerah.
Panti itu menjadi tempat di mana mereka belajar makna hidup yang sesungguhnya. Airin mengajari anak-anak bernyanyi lagu-lagu sederhana, sementara Leehan mengajak mereka bermain di halaman kecil. Saat lelah, mereka duduk di bawah pohon mangga sambil berbagi cerita dan tawa.
“Airin,” kata Leehan suatu sore. “Menurutku, bahagia itu bukan soal punya banyak, tetapi bisa memberi meski sedikit.”
Airin mengangguk. “Benar, setiap kali aku lihat senyum mereka, rasanya seperti langit jadi lebih cerah.”
Mereka berdua mulai dikenal sebagai ‘Dua Cahaya dari Mentaya’ — sepasang sahabat yang selalu menebarkan semangat membantu tanpa pamrih.
Guru mereka, Pak Sunwoo, pernah berkata di depan kelas, “Kebaikan tidak selalu datang dari orang besar, tetapi dari hati yang mau berbagi. Belajarlah dari Airin dan Leehan.”
Kata-kata itu membuat keduanya makin bersemangat. Mereka mulai mengajak teman-teman sekolah untuk berdonasi buku, pakaian, dan alat tulis. Bahkan, mereka mengadakan pentas musik amal di aula sekolah, dan hasilnya disumbangkan untuk memperbaiki atap panti yang bocor.
Namun, di balik semua keceriaan itu, hidup tidak selalu berjalan mulus. Suatu sore, sepulang dari kegiatan sosial, Leehan dicegat oleh preman yang mengira ia membawa uang sumbangan dalam tasnya. Ia dipukuli hingga tidak sadarkan diri. Warga menolong dan membawanya ke rumah sakit.
Airin datang tergesa-gesa, dengan mata sembab karena menangis. “Leehan… kenapa kamu nggak hati-hati?” katanya lirih.
Leehan tersenyum lemah. “Kalau aku takut berbuat baik karena takut disakiti, mungkin aku nggak akan pernah benar-benar hidup.”
Kalimat itu menancap kuat di hati Airin. Ia menyadari bahwa menjadi cahaya berarti tetap bersinar, bahkan saat dunia terasa gelap.
Setelah pulih, Leehan tidak berhenti. Ia justru makin aktif menggerakkan kegiatan sosial di sekolah. Bersama Airin, mereka mendirikan komunitas kecil bernama Cahaya Bersama, tempat para siswa belajar menanam kebaikan sejak dini.
“Setiap orang bisa jadi lilin kecil,” kata Leehan saat pertemuan pertama. “Kalau lilin-lilin itu menyala bersama, dunia tidak akan gelap.”
Airin menatapnya penuh kagum. Dalam diam, ia tahu bahwa persahabatan mereka lebih dari sekadar kebersamaan —itu adalah panggilan hati untuk menjadi berkat bagi sesama.
Waktu terus berjalan. Airin diterima di salah satu SMA elite di kota. Keduanya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Banyak siswa kagum pada Leehan, tidak hanya karena prestasi basketnya, tetapi juga karena kepeduliannya.
Suatu hari, Airin kehilangan buku tugas, wajahnya pucat. Tanpa pikir panjang, Leehan memberikan bukunya dan menyuruh Airin mengganti nama di halaman depan. Akibatnya, ia dihukum berdiri di bawah tiang bendera.
“Kenapa kamu lakukan itu?” tanya Airin sesudahnya.
Leehan tersenyum. “Terkadang, menjaga seseorang berarti menanggung sedikit luka.”
Airin terdiam. Sejak hari itu, rasa hormat dan kasih dalam dirinya pada sahabatnya makin dalam.
Namun takdir kembali menguji. Beberapa bulan kemudian, Leehan sering pingsan di tengah latihan basket. Setelah pemeriksaan panjang, dokter mendiagnosisnya menderita kanker otak stadium akhir. Ia memilih merahasiakannya dari Airin.
“Aku tidak ingin dia khawatir,” katanya pada ayahnya, Pak Songhu. “Biarlah dia terus berbuat baik tanpa terbebani oleh keadaanku.”
Meskipun tubuhnya makin lemah, Leehan tetap menulis lagu dan pesan motivasi untuk anak-anak panti. Salah satu lagu terakhirnya berjudul Cahaya Tak Pernah Padam. Liriknya sederhana, tetapi menyentuh hati.
Jika dunia terasa gelap,
Jangan padamkan cahaya hatimu
Sebab setiap langkah kecilmu,
Bisa menyalakan harapan baru
Airin tidak tahu bahwa lagu itu ditulis untuknya. Beberapa waktu kemudian, ia mendapat kabar bahwa dirinya diterima kuliah di luar negeri. Sebelum berangkat, ia menemui Leehan di taman sekolah —tempat kenangan mereka tumbuh.
“Leehan, aku ingin bilang sesuatu.”
Leehan menatap lembut. “Kamu mau pergi, kan?”
Airin menunduk. “Iya. Aku cuma takut nggak bisa menemanimu di sini.”
Leehan tersenyum kecil. “Pergilah, Rin. Dunia butuh cahaya seperti kamu. Aku percaya, kebaikanmu akan menyebar lebih luas di sana.”
Airin menatapnya lama, matanya bergetar menahan air mata.
“Terima kasih, kamu selalu jadi alasanku untuk terus berbuat baik.”
Beberapa tahun kemudian, Leehan menjalani kemoterapi di rumah sakit. Tubuhnya lemah, rambutnya menipis, tetapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia sering berkata pada ayahnya, “Kalau suatu hari aku pergi, jangan sedih, Yah. Aku bahagia bisa menyalakan cahaya walau sebentar.”
Pada suatu pagi yang tenang, ia benar-benar pergi —dalam tidurnya. Pak Songhu menggenggam tangan anaknya sambil berbisik, “Kau sudah jadi cahaya bagi banyak orang, Nak. Kini biarlah kau beristirahat di pelukan Allah.”
Lima tahun kemudian, Airin kembali ke Indonesia setelah wisuda. Ia ingin segera bertemu Leehan dan memberi kabar gembira, tetapi yang menyambutnya hanyalah kesunyian.
Pak Songhu membuka pintu dengan mata berkaca. “Airin… Leehan sudah tiada,” katanya pelan.
Airin terpaku. Dunia seolah berhenti berputar. “Tidak mungkin…”
Pak Songhu menunduk. “Dua tahun ia berjuang melawan sakitnya, tetapi dia tidak mau kamu tahu. Katanya, kamu harus tetap bahagia.”
Airin menangis tersedu-sedu. “Kenapa… dia begitu baik, bahkan di akhir hidupnya?”
“Karena kamu satu-satunya cahaya yang membuatnya kuat,” jawab Pak Songhu.
Hari itu, Airin belajar bahwa cinta seorang sahabat kadang begitu diam, tetaapi dalamnya melebihi lautan.
Beberapa tahun setelahnya, Airin telah menikah dan memiliki seorang putra kecil. Suatu sore, ia datang ke makam Leehan bersama keluarganya. Di bawah langit senja yang lembut, ia menaburkan bunga dan membaca surah Yasin dengan suara lirih.
“Leehan, aku sudah bahagia sekarang, seperti yang kamu mau,” ucap Airin pelan sambil tersenyum.
“Terima kasih sudah menjadi cahaya dalam hidupku. Meski kamu telah tiada, sinarmu tidak pernah padam.”
Angin berhembus lembut, daun-daun bergoyang pelan. Sinar matahari jatuh tepat di batu nisan bertuliskan Kim Leehan.
Airin menatap langit, merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. Sebab, ia tahu —cahaya persahabatan sejati tidak pernah mati. Ia hanya berpindah tempat, dari dunia nyata ke dalam hati.
Pesan Moral:
Persahabatan sejati tidak hanya tentang kebersamaan, tetapi tentang saling menguatkan, saling menolong, dan bersama menebar kebaikan kepada sesama. Cahaya kebaikan tidak pernah padam, ia terus hidup di hati orang-orang yang pernah tersentuh olehnya. [CM/Na]
Views: 5






















