Oleh: Reni Sopiani
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Riuh suara anak-anak remaja bersahutan pada jam istirahat pertama, sebagian anak bergerombol menuju kantin, ada juga yang hanya sekadar duduk di depan kelas sambil bersenda gurau.
Di dalam kelas terlihat pemandangan yang cukup menarik perhatian. Seorang gadis duduk di kursi tengah baris kedua begitu khusyuk membaca kalam cinta Ilahi hingga meneteskan air mata, sepertinya ayat yang dibaca begitu menyentuh hatinya hingga ia sendiri tak menyadari bahwa di samping tempat duduknya sudah tak lagi kosong.
“Baca ayat apaan sih, Ra? Sampai aku sapa dari tadi gak nyahut-nyahut, malah nangis pula?” tegur Nafis pada sahabatnya. Seketika, suara yang begitu ia kenal mengalihkan perhatiannya.
“Eh kamu, Sya, sejak kapan kamu balik dari kantin? Ngagetin aja.” Ucap Saira setelah menutup mushafnya.
“Yeuh, si ucul, dari tadi keles aku di sini, kenapa sih sampe nangis gitu?” balas Nafisya.
“Kamu kayak gak tau aja, Sya. Kapan sih, aku kalau baca Qur’an gak nangis?” ucap Saira.
“Ia juga yah. Eh, Ra, udah liat berita hari ini? Aku gemes banget ih sama Zionis penjajah, tega banget lo, ke warga P4l3stin4. Pengen tak hiih… tau gak,”geram Nafisya atas tindakan penjajahan Zionis terhadap P4l3stin4.
“Mereka emang gak punya hati kan, Sya, makanya tega begitu,” timpal Saira.
“Ia juga ya, gak tega banget liat korbannya, apalagi banyak anak kecil, sedih banget tau, Ra,” ucap Nafisya miris.
“Iya Sya, aku pengen deh bantuin mereka, tetapi gimana caranya ya? Kalau boikot produk Zionis kan udah banyak yang lakuin. Aku pengen nyumbang dana, tetapi bingung nyari uang, gimana caranya?” Saira mengutarakan keinginannya.
Mereka terdiam sejenak memikirkan bagaimana cara mengumpulkan dana untuk disumbangkan ke P4l3stin4. Lalu tiba-tiba tercetus ide dari bibir mungil Saira untuk membuat souvenir lalu dijual dan keuntungannya disumbangkan.
Nafisya menyetujui ide dari Saira tersebut dan berjanji akan meminta bantuan ayahnya yang memang bergelut di dunia pernak-pernik lucu sebagai barang jualan.
Seiring dengan percakapan mereka yang selesai, bel masuk kembali berbunyi menandakan pelajaran akan kembali dimulai.
***
Rencana yang didiskusikan di sekolah tadi akhirnya direalisasikan juga dengan bantuan ayah Nafisya, mereka membuat berbagai aksesoris seperti gantungan kunci dan pin beragam gambar yang berkaitan dengan P4l3stin4 agar menarik pembeli.
“Ra, kita bikin 50 pcs dulu ya, kalau laku, baru kita tambah, gimana?” ucap Nafisya meminta persetujuan Saira.
“Oke, Sya, besok kita coba dulu jual di sekolah, siapa tau banyak yang minat. Sepulang sekolah, baru deh kita coba tawarin di luar sekolah,” Saira memberikan opsi untuk tempat jualan mereka besok. Nafisya menyetujui seraya memberikan hormat pada Saira, keduanya tergelak renyah.
Tak terasa mereka membuat aksesoris itu hingga sore hari, kemudian Saira pamit pulang karena sudah petang, rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumah Nafisya membuat Saira berjalan santai sambil membayangkan jika jualan laku, maka keinginan membantu saudara muslim di P4l3stin4 bisa terwujud. Bibirnya tak henti tersenyum, gadis remaja berseragam itu merasa senang bisa membantu saudara seimannya.
**
Keesokan harinya, saat jam istirahat, Saira dan Nafisya mulai menjajakan jualannya. Namun, ternyata tidak semudah yang dipikirkan.
Menjual aksesoris P4l3stin4 ternyata tidak menarik minat teman-teman sebayanya, mereka lebih banyak menanyakan aksesoris yang berbau Korea atau pernak-pernik tentang idol yang digandrungi remaja saat ini.
Dalam hati Saira bergumam, “Ternyata masih banyak yang tidak peduli dengan kondisi saudara seimannya di dunia nyata, padahal di dunia maya, dukungan untuk P4l3stin4 begitu besar.”
Setelah berjalan dari satu kelas ke kelas lainnya, hanya beberapa saja yang terjual. Dengan raut wajah sedih, Saira dan Nafisya memutuskan untuk istirahat di taman sekolah.
“Ternyata enggak mudah ya, Sya, jualan kaya gini. Apalagi yang kita jual untuk kemanusiaan, bukan printilan ala-ala Korea seperti yang mereka tanyain tadi,” Saira sedikit menyampaikan keluh kesahnya.
“Iya, Ra, kalau kita jualnya foto idol-idol Korea, pasti laris manis kayak kacang goreng,” timpal Nafisya.
Saira menarik napas gusar, Nafisya menenangkan bahwa mereka masih bisa menjualnya di luar sekolah nanti, mungkin saja rezeki mereka ada di luar sana, dukungan dari sahabatnya membuat Saira kembali bersemangat.
Persahabatan yang dijalani sudah lebih dari 9 tahun, yaitu semenjak SD, menjadikan mereka selalu saling mendukung satu sama lain.
**
Rencana mereka berjualan di taman kota akhirnya bisa terlaksana dengan menggelar karpet sederhana di atas rerumputan, mereka mulai menawarkan barang dagangannya.
Awalnya, para pengunjung taman tidak banyak yang tertarik, tetapi teriakan Saira ala tukang obat mulai mengambil atensi orang-orang yang ada di sana.
“Ayo dibeli-dibeli, Ibu, Bapak, Adik, Kakak, aksesorisnya, hasil penjualannya untuk donasi P4l3stin4,” teriak Saira dengan cukup keras.
Mendengar kata donasi dan P4l3stin4 akhirnya banyak yang mulai mendatangi gerai dadakan Saira dan Nafisya.
Namun, yang namanya kebaikan tidak selalu berjalan mulus, ada saja orang yang nyinyir terhadap sesuatu yang dilakukan oleh orang lain, seperti sesaat setelah para pembeli meninggalkan lapak Saira. Tiba-tiba datang tiga orang remaja sebaya Saira yang ternyata teman satu sekolah Saira, tiga anak ini terkenal di sekolah karena sering membuli anak-anak lainnya.
“Ya ampun, lo ngapain jualan di sini? Kagak punya uang jajan ya, lo? Sampe kudu capek-capek jualan di sini, malu-maluin ih!” ucap anak yang diketahui bernama Nadin.
Saira tak menanggapi, ia lebih sibuk membereskan bekas jualannya yang hanya tinggal beberapa saja, tetapi Nadin tidak berhenti begitu saja.
“Ooooh, untuk donasi P4l3stin4, ngapain sih, Ra, repot-repot banget ngurusin orang? Apalagi jauh-jauh, negara orang, lo sendiri aja butuh dibantuin kali!” Nadin kembali melontarkan nyinyirannya
Kali ini Saira sedikit tersinggung atas kata-kata Nadin, ia memang bukan orang kaya, tetapi bukan berarti ia mau dikasihani dan bukan berarti orang yang tidak kaya, enggak bisa membantu orang lain.
“Iya nih, Saira sama Nafisya gak ada kerjaan banget ngurusin orang lain, emang donasi yang dihasilkan berapa sih? Enggak akan ngaruh juga!” ucap teman Nadin.
“Eh, Nad, gue tanya ya sekarang, kenapa sih usil banget? Lo bilang, ngapain ngurusin orang, lah lo sendiri ngapain ngurusin kita? Bukan urusan lo juga kan?” akhirnya Nafisya yang bersuara.
“Dih, ini nyamber aja, gue lagi ngomong sama Saira ya, bukan sama lo!” balas Nadin.
“Heh! Saira tuh gak akan mau capek-capek ladenin lo, mending lo pergi sana, ganggu aja! Beli kagak, nyinyir iya. Kalau kata anak zaman sekarang, gaya elite membantu sulit, hush… hush… pergi lo!” Nafisya kembali membalas kata-kata Nadin.
Namun, Nadin tak mau kalah ia tetap melontarkan kata-kata yang tidak enak pada Saira dan Nafisya, bahkan Nadin menyepelekan apa yang dilakukan dua sahabat itu.
Hingga akhirnya Saira bersuara, “Nadin, kamu bisa diem gak? Kalau emang kamu gak mau beli dan gak mau donasi ya terserah, aku juga enggak nyusahin kamu kan? Yang harus kamu tau, donasi yang mau aku dan Nafisya lakuin itu bukan hanya perkara ngaruh apa enggak terhadap rakyat P4l3stin4, tetapi juga posisi kita di hadapan Allah kelak di yaumil akhir,” balas Saira kepada Nadin.
Ia ingin menyampaikan agar Nadin mengerti bahwa yang dilakukannya bukan hanya untuk sekadar donasi yang entah berpengaruh atau tidak untuk saudaranya di P4l3stin4 sana, tetapi juga ia ingin mengukuhkan posisinya di hadapan Allah.
“Idiiih… pake bawa-bawa akhirat segala, gak ada pengaruhnya kali!” bantah Nadin yang masih keukeuh dengan nyinyirannya.
“Tentu ada, dengan kita membantu saudara kita, walau mungkin hanya sedikit pengaruhnya, tetapi setidaknya bisa menunjukkan di mana posisi kita berada, di samping Zionis laknatullah kah atau di samping orang-orang yang beriman kepada Allah?” tegas Saira lagi.
Nadin dan teman-temannya terdiam tak menjawab.
“Kalau kamu pernah dengar kisah burung pipit dan gagak di dalam kisahnya Nabi Ibrahim, kamu pasti akan tau maksudnya,” tambah Saira.
Nafisya yang geram pada Nadin dan teman-temannya, kembali menyudutkan Nadin. Nadin dan teman-temannya merasa tidak bisa lagi membalas kata-kata Saira dan Nafisya, ia memutuskan pergi dari sana, karena memang ia tidak tahu kisah Nabi Ibrahim dan burung pipit yang dimaksud Saira, dari pada malu lebih baik ia pergi.
“Gemes banget aku sama dia, pengen tak jambak, enak aja nyinyir segala,” gerutu Nafisya setelah Nadin pergi.
“Udah, Sya, jangan terlalu dimasukin ke hati, biarin aja, yang pentingkan niat kita baik, bukan mau menyusahkan orang lain dan juga apa yang kita lakukan walaupun hal sepele semoga bisa jadi hujjah kita di hadapan Allah kelak, kita berdiri di pihak siapa,” nasihat Saira kepada Nafisya yang tersulut emosi.
“Iya, kamu bener, Ra, udah ah, yuk lanjut beres-beres, udah sore!”
Akhirnya keduanya membereskan barang-barang jualan yang hanya tersisa sedikit saja.
Jangan takut untuk membela saudara seiman kita di P4l3stin4, walau yang kita lakukan adalah hal kecil, tetapi setidaknya bisa menjadi hujjah di hadapan Allah kelak di yaumil akhir, di posisi mana kita berdiri dan siapa yang kita bela. [CM/NA]