CemerlangaMedia.Com, NASIONAL — Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di dunia pendidikan terkuak. Hal ini bermula dari terungkapnya kejahatan TPPO yang terjadi di perguruan tinggi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan bahwa TPPO dengan modus magang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu (kompas.com, 8-7-2023).
Produk Kapitalis
Sampai hari ini, TPPO terus diproduksi oleh sistem ekonomi kapitalisme. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat politik sekaligus aktivis muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah.
“TPPO akan terus muncul dengan jumlah yang banyak, varian masalah yang beragam, modus operandi untuk menjerat orang sehingga bisa diekploitasi -yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya-, bahkan bisa dilakukan kepada kelompok yang berada di dunia pendidikan,” ujarnya.
Menurutnya, akar masalah dari TPPO adalah sistem ekonomi kapitalisme yang telah menghasilkan kemiskinan, lapangan pekerjaan makin sulit di dalam negeri, biaya hidup makin tinggi karena inflasi, dan persaingan makin berat dilakukan bagi mereka yang ingin membuka lapangan kerja sendiri.
“Seolah-olah jalan buntu kemiskinan dan ketiadaan lowongan pekerjaan ini adalah lahan subur bagi berkembangnya TPPO. Dalam situasi seperti itu akan banyak masyarakat yang menginginkan pekerjaan yang bagus walaupun harus meninggalkan keluarganya untuk bekerja di luar negeri,” urainya.
Menyasar Perempuan
Beliau juga menambahkan bahwa masifnya perkembangan nilai-nilai sekuler dalam menata kehidupan. Seolah-olah kehormatan seseorang di tengah masyarakat ditentukan oleh kekayaan, pekerjaan, dan kemampuan menghasilkan uang. Maka banyak kaum perempuan yang secara sadar ataupun tanpa sadar mengambil risiko menjadi korban TPPO karena ingin dianggap berdaya. Apalagi diberi jargon-jargon pahlawan devisa, tulang punggung pengentasan kemiskinan bangsa, dst.
Nilai-Nilai Sekuler
“Penanaman nilai-nilai sekuler justru menjebak dan mendorong banyak orang untuk masuk dalam dunia kerja yang memungkinkan mengeksploitasi mereka dengan iming-iming uang dalam jumlah yang besar. Bukan hanya di luar negeri, di dalam negeri pun berpotensi terjadinya perbudakan modern (modern slavery). Jika hal tersebut terjadi lintas negara, maka dianggap sebagai TPPO. Akan tetapi jika terjadi dalam negeri, tidak dianggap sebagai TPPO. Padahal juga memperdagangkan orang yakni mengeksploitasi manusia dan dinilai dengan penghargaan sekeping dua keping uang yang sangat minim.” ulasnya.
Menghilangkan Nilai-Nilai Sekuler
Beliau menegaskan, untuk menghilangkan nilai-nilai sekuler dalam kehidupan serta mengentaskan kemiskinan sebagai akar masalah TPPO, selain tidak adanya jaminan keamanan yang diberikan negara baik di pintu perbatasan ataupun ketika diberikan izin ke luar negeri, maka haruslah dengan sistem Islam.
“Sistem ekonomi Islam telah terbukti secara empiris dan historis. Pengentasan kemiskinan bisa dilakukan. Tidak ada celah bagi orang untuk mendapatkan keuntungan melalui praktik-praktik memanipulasi orang lain, mengeksploitasi tenaga orang lain, perantara praktik-praktik prostitusi ataupun menghasilkan keuntungan dengan cara-cara yang dilarang syariat,” tegasnya.
Beliau menegaskan bahwa praktik-praktik tersebut bukanlah aktivitas ekonomi karena semua itu adalah kemaksiatan yang akan mengantarkan pada kerugian dan kezaliman yang akan mengakibatkan kesengsaraan di akhirat.
Oleh karenanya beliau mengingatkan, agar negara menutup celah bagi masyarakat untuk mendapatkan, menerima, ataupun mengembangkan nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah Islam seperti nilai sekularisme, tamkin al-mar’ah (perberdayaan perempuan yang sekuler) atau woman empowerment ketika wanita itu bekerja dan mampu menghasilkan uang.
Jika semua itu sudah dilakukan, tetapi masih ada pelanggaran sampai terjadinya TPPO atau perbudakan, maka negara berhak memberikan sanksi tegas menurut aturan syariat.
“Semua itu menuntut negara sebagai panglimanya untuk mempraktikannya karena tidak bisa diikhtiarkan untuk dipraktikan oleh individu maupun komunitas,” tandasnya. [CM/Vovi]
[CM/NA]