Oleh: Nur Rahmawati, S.H.
(Chief Editor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) kembali terjadi hampir setiap tahun sehingga sudah menjadi tradisi yang terus berulang. Semua ini membawa kegelisahan sebab bahaya yang ditimbulkan, seperti banyaknya kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Bahkan karhutla telah memakan korban dari tahun ke tahun. Mengutip dari laman berita Radarsampit.com, berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Kotim, kasus ISPA di Kotim sudah mencapai angka 2.708 pada Agustus dan total warga yang terpapar penyakit ISPA sebanyak 15.462 warga (11-9-2023).
Selain itu, wilayah lain yang terdampak karhutla seperti Pangkalan Bun dan sekitarnya, Palangka Raya dan wilayah Kalimantan lainnya tak luput dari pencemaran udara. Ternyata efek karhutla ini juga sampai mengganggu negara tetangga, yaitu Malaysia, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak Departemen Lingkungan Hidup Malaysia bahwa pemerintah mengambil tindakan tutup sekolah untuk sementara, membuat hujan buatan karena kualitas udara yang buruk sebab kabut asap kiriman (Jawapos.com, 4-10-2023).
Kurang Seriusnya Pemerintah
Tidak berlebihan jika kasus yang berulang tersebut adalah gambaran kurang seriusnya pemerintah untuk mengatasinya. Terbukti, kasus ini tak mampu diselesaikan sejak dahulu. Harusnya pemerintah mencari tahu apa penyebab kebakaran hutan ini, kemudian mencari solusi tepat untuk menuntaskan agar tidak terulang di kemudian hari. Solusi nyata inilah yang kini dibutuhkan masyarakat mengingat banyaknya korban yang terdampak karhutla.
Lebih lanjut, tidak cukup jika pemerintah hanya melakukan imbauan dan meminta masyarakat untuk bersabar, tetapi tidak ada tindakan tegas bagi pelaku kebakaran hutan dan lahan sehingga tidak adanya efek jera bagi pelaku. Seperti yang pernah terjadi pada 2021, dibebaskannya sebuah perusahaan sawit atas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah oleh putusan Mahkamah Agung, padahal sebelumnya dinyatakan bersalah di pengadilan negeri. Hal ini menjadikan aturan hukum negeri ini terkesan kurang tegas (Detik.com, 8-11-2021).
Senada dengan ini, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto, menyatakan keheranannya terkait sistem peradilan di Indonesia yang dianggap tidak menentu dan cenderung aneh. Semula dinyatakan bersalah kemudian menjadi tidak salah dan sebaliknya. Seperti pada vonis tidak bersalah dari MA kepada perusahaan sawit atas kasus karhutla di Kalteng yang awalnya dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri (Mediaumat.id, 10-11-2021).
Maka tak heran, jika kasus-kasus serupa akan terus ada dan karhutla tak akan pernah selesai, sebab kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat menjadikan kesadaran mereka lemah akan bahaya karhutla. Pun pada aturan dan penegakan hukum yang tidak tegas sehingga tidak adanya efek jera, alhasil pelaku bebas melenggang kangkung.
Begitu pula pada mitigasi karhutla yang terkesan lemah dan lamban. Jika kita lihat saat ini, banyak sekali oknum yang membuka lahan dengan cara membakar. Tentu ini lebih efektif dan efesien bagi mereka, padahal sebenarnya justru membahayakan dan mengorbankan banyak orang, seperti yang terjadi di berbagai wilayah nusantara. Tak elok jika hanya menyalahkan El Nino, meski memang berpengaruh, tetapi melihat berulangnya kasus selama beberapa tahun menunjukkan mitigasi belum berjalan baik, optimal, dan antisipasif.
Akar Permasalahan Karhutla
Pembakaran hutan secara liar akibat gagalnya edukasi di tengah-tengah masyarakat berdampak pada rendahnya kesadaran bahaya yang akan terjadi. Semua ini tidak lepas dari akar permasalahannya, yaitu penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini yang menjadikan hutan dan lahan sebagai milik negara bukan milik rakyat. Negara dipandang berwenang menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta atau korporasi. Tidak menutup kemungkinan besar mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya, yaitu dengan membakar lahan dan hutan yang merupakan cara termudah, efektif dan efisien untuk membuka lahan. Hal ini merupakan faktor manusia selain faktor alam itu sendiri.
Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme akan membawa pada suasana ketidakadilan. Aturan yang dibuat akan terus mengalami perubahan mengikuti keinginan mereka yang berkuasa. Tak jarang, aturan yang dihasilkan justru tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Seperti membolehkan pembukaan lahan hutan melalui pembakaran yang ditetapkan undang-undang. Di sisi lain negara juga gagal memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku pembakaran hutan secara liar.
Lebih lanjut, tabiat sistem ekonomi kapitalisme selalu menuntut keuntungan bagi mereka pemilik modal sehingga kebijakan yang diambil jauh sekali dari menyejahterakan rakyat. Jika penanganan karhutla tidak membawa dampak manfaat atau keuntungan, maka keengganan dan ketidakseriusan pemerintah akan terjadi. Seperti kasus karhutla yang terus berulang tanpa pencegahan dan penanganan yang berarti. Ya, sekali lagi akar permasalahan negeri ini adalah sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi.
Mengatasi Karhutla dengan Sistem yang Dibawa Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir dengan membawa agama sekaligus sistem sempurna, yaitu Islam yang memiliki aturan dalam mengatasi segala problematika umat seperti karhutla. Bagaimana sistem yang digunakan oleh Nabi Muhammad menjadikan hutan sebagai milik masyarakat sehingga pengelolaan diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat.
Hutan memiliki fungsi ekologis dan hidrologis termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput atau hutan, air dan api.” (HR Abu Daud).
Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput atau hutan adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang. Berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis tersebut bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak atau komunitas dan jika tidak ada, maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak paling bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan, Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Imam adalah ibarat pengembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya atau rakyatnya.” (HR Muslim).
Oleh karena itu, apa pun alasannya, negara tidak boleh bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak, serta antisipasi pemadaman lahan terbakar.
Selain itu, tidak diperbolehkan pula menyerahkan pengelolaan hutan pada pihak korporasi yang berujung aktivitas pembakaran dan kerusakan fungsi hutan sehingga berdampak fatal bagi jutaan orang. Inilah salah satu tugas pokok pemimpin yang memastikan urusan rakyat dan memelihara kemaslahatan mereka yang didukung oleh pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kelestarian hutan.
Keseriusan mitigasi adalah satu keniscayaan dalam sistem yang dibawa Nabi Muhammad mengingat larangan untuk membawa kemudaratan bagi setiap insan, mewajibkan negara menjadi pelindung bagi rakyat terhadap berbagai bahaya yang mengancam di antaranya melalui kebijakan yang komprehensif dan solutif serta efektif (MMC, 8/2023). [CM/NA]