Oleh: Purwanti
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Niat hati membantu biaya hidup sang nenek, tetapi nyatanya seorang gadis belia yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama ini malah terjerat praktik prostitusi online. Sebut saja SM, yang diiming-imingi akan mendapatkan uang sebesar 6 juta rupiah kalau mau menjajakan diri kepada pria hidung belang.
Kasus menjajakan anak belia sebagai alat pemuas seks bagi kaum adam bukan hanya kali ini saja. Bahkan kasus ini layaknya seperti puncak gunung es. Kasus yang tampak dan terkuak hanya sebagian kecil saja, tetapi kasus serupa di lapangan jumlahnya cukup banyak. Sebagian besar dari penjaja pemuas seks ini seperti tak terendus aparat atau memang dilindungi oleh pihak berwenang.
Terendusnya praktik prostitusi daring dan eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh EFA terjadi saat tim siber menemukan akun twitter dengan foto profil EVE yang menyertakan kata TOMBOL LIFT berupa tautan yang bisa diklik. Akun tersebut juga menyertakan nomor kontak yang terhubung ke aplikasi line dan tele (Kompas.id, 26-09-2023).
Sejarah Kelam Prostitusi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata prostitusi diartikan sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah. Masyarakat Indonesia sendiri sudah lama mengenal praktik menjajakan seks jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan prostitusi di Indonesa telah ada sejak zaman kerajaan kuno di Jawa. Berkembang sejak masa kolonial Belanda dengan kebijakan yang melarang laki-laki Belanda menikahi wanita pribumi. Pemerintahan saat itu melegalkan praktik prostitusi ini pada 1852. Pada saat itu, pelaku penjaja seks dijuluki public women atau publieke urouwen. Bahkan keberadaan mereka diawasi sangat ketat oleh kepolisian dan didata serta diwajibkan menjalani pemeriksaan kesehatan demi mencegah penyakit menular.
Terhubungnya akses layanan kereta api di beberapa wilayah seperti Kebon Jeruk, Kebon Tangkil, Sukamanah, Saritem di Bandung, Pasar Kembang di Yogyakarta, dan Surabaya menyumbang pertumbuhan rumah bordil yang bagaikan jamur di musim penghujan. Hal ini makin bertambah banyak saat Indonesia dikuasai oleh Jepang. Penjaja seks tidak hanya orang pribumi, tetapi dari luar negeri yang sengaja didatangkan oleh pemerintahan Jepang pada saat itu (Liputan6.com, 23-9-2022).
Tidak hanya di Indonesia, praktik prostitusi telah dikenal penduduk Jazirah Arab sebelum cahaya Islam datang. Pada masa jahiliah, praktik prostitusi menjadi hal yang biasa. Ibunda Aisyah radhiyallahu anha pernah menyebutkan bahwa ada empat macam jenis perrnikahan pada masa sebelum datangnya nur Islam dan salah satu di antaranya menggambarkan praktik prostitusi:
“Para lelaki berkumpul, kemudian mereka menggauli seorang wanita yang tidak akan menolak laki-laki yang mendatanginya karena mereka adalah para pelacur yang memasang bendera di depan rumah sebagai tanda bahwa siapa saja yang menginginkan wanita tersebut, boleh masuk.”
Muhammad Abu Syuhbab dalam al Sirah ‘ala Dhaui al Qur’an wa al Sunnah (1427: I/94) menyebutkan bahwa para wanita yang melakukan praktik prostitusi adalah para budak. Hal ini terbukti dari respons Hindun binti ‘Utbah saat mendengar isi baiat pasca Fath al Makkah yang menyatakan, “Janganlah berzina” dengan pernyataan “Apakah ada dari kalangan merdeka yang berzina?”
Di dalam kitab tafsir Jami’ al Bayan fii Ta’wili al Qur’an karya Imam Ibnu Jarir ath Thabari disebutkan wanita yang terkenal melakoni aktivitas sebagai wanita tuna susila di masa jahiliah.
Kapitalisme Menyuburkan Prostitusi
Terungkapnya praktik prostitusi yang menjajakan anak usia belasan tahun bukan hal yang baru di Indonesia. Kasus ini ibarat puncak gunung es, kasus yang tampak dan terungkap hanya sebagian kecil dan yang lainnya tertutupi atau sengaja ditutupi oleh pihak tertentu. Kasus ini merupakan bagian dari sindikat perdagangan manusia (human traficking).
Dari data yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa sepanjang rentang waktu dari Januari—April 2021 telah terjadi 35 kasus traficking dengan 234 korban anak dan 93% di antaranya merupakan korban dari 29 kasus prostitusi (katadata.co.id, 3-6-2021). Jumlah kasus ini membuktikan bahwa anak-anak menjadi mangsa empuk bagi para kapital untuk menjadikan mereka komoditas yang bisa diperjualbelikan. Apalagi tingkat kesejahteraan dan rasa kepedulian antar anggota masyarakat yang rendah membuat masyarakat acuh tak acuh terhadap anak-anak yang menjadi korban traficking dan hanya fokus untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Tontonan pun meyumbang terhadap maraknya prostitusi anak. Kenapa? Karena pada hakikatnya, manusia ketika disuguhkan tontonan yang menggambarkan kehidupan mewah dan glamor secara terus-menerus, maka hal itu akan merangsang orang tersebut untuk menjadi atau pun memiliki apa yang ia indera. Maka hal tersebut mendorong anak-anak khususnya memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat. Kondisi di atas diperparah lagi dengan berkembangnya di tengah masyarakat bahwa siapa yang bisa bersetubuh dengan wanita perawan maka ia akan mendapatkan keberuntungan, seperti kekayaan, jabatan atau lainnya.
Padahal di Indonesia sendiri, praktik prostitusi merupakan sebuah kejahatan terhadap kesusilaan dan bertentangan dengan hak asasi manusia serta melanggar sila kedua dari pancasila, yakni ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’. Tidak hanya itu, praktik menjajakan tubuh perempuan sebagai pemuas nafsu syahwat juga telah meresahkan dan merusak ketertiban masyarakat, merusak moral bangsa, merusak norma, dan melanggar agama.
Lantas, adakah sanksi yang jelas dan tegas bagi para penyedia praktik prositusi dan para penggunanya? Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Semua permasalahan telah diatur oleh perundang-undangan, tetapi untuk kasus perdagangan anak dan prostitusi hanya tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni hukuman bagi mucikari atau orang/pihak yang memberikan akses terjadinya prostitusi akan dijatuhi hukuman penjara paling lama empat tahun. Sedangkan bagi pelaku perdagangan anak, diancam hukuman penjara enam tahun. Memang pemerintah sudah mengeluarkan UU no.1 tahun 2023 tentang pidana pengguna jasa menjajakan nafsu syahwat dengan hukuman yang lebih berat, tetapi peraturan tersebut akan mulai berlaku pada 2023 (Hukumonline.com, 9-3-2023).
Peraturan yang telah dibuat dan sanksi yang dijatuhkan masih terbilang ringan dan tak memberikan efek jera kepada para penyedia, pengguna, atau pun penjaja nafsu syahwat tersebut. Hal ini terbukti dengan berulangnya kasus yang sama di tempat yang serupa. Menurut data yang dilansir kompas.com bahwa pada Maret tahun ini, terungkap praktik prostitusi anak di kawasan Gang Royal yang melibatkan lima anak perempuan dan di tempat yang sama, tepatnya 2020 terungkap kasus yang mirip. Masih dari laman berita yang sama, diberitakan bahwa polisi telah mengungkap praktik traficking berujung prostitusi di kawasan Jakarta Pusat dengan korban sebanyak 12 orang pada 2020 dan mirisnya di awal tahun ini terungkap hal serupa yang di tempat itu juga.
Tak bisa dimungkiri, pengungkapan praktik prostitusi oleh polisi masih sedikit jumlahnya dibandingkan yang ada di lapangan. Merujuk laporan terbaru dari Global Parthership to End Violence againts Children dengan judul Discrupting Harm in Indonesia, 17—56 % anak yang menjadi korban perdagangan anak khususnya eksplotasi seks tidak melaporakan kejadian tersebut (Unicef.org, 22-7-2022). Hal ini mempersulit membongkar sindikat perdagangan anak khususnya prostitusi anak.
Menjamurnya praktik prostitusi saat ini tak bisa lepas dari ideologi yang diemban oleh negeri ini, yaitu kapitalisme yang asasnya sekularisme alias memisahkan peran agama dalam kehidupan. Di alam kapitalisme, manusia boleh berbuat apa saja tanpa harus terikat kepada agama dan agama hanya bermain peran di rumah-rumah ibadah saja.
Tak hanya itu, gaya hidup yang serba hedon, membuat manusia selalu ingin lagi-lagi dan lagi untuk memiliki barang mewah yang tidak menjadi kebutuhannya. Atau bahasa lainnya hanya memenuhi keinginan semata dan media sosial mendukung mereka untuk pamer barang-barang mewah yang mereka miliki.
Solusi Cerdas dari Islam
Islam yang Allah turunkan kepada Baginda Rasullullah saw., memiliki peraturan lengkap untuk menyelesaikan segala permasalahan kehidupan tak terkecuali prostitusi. Islam secara terang benderang mengharamkan zina (QS Al Isra’ ayat 21) dan Islam memberikan hukuman yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku zina. Oleh karenanya, untuk penyelesaian masalah prostitusi ini setidaknya ada lima hal selain sanksi yang tegas yang harus dilakukan oleh sebuah negara yang menjadikan Islam sebagai landasan bernegara, yakni:
Pertama, penyediaan lapangan pekerjaan. Sebagaimana kita ketahui, alasan utama seseorang itu terjun ke lembah prostitusi adalah kemiskinan. Terbatasnya lapangan pekerjaan memaksa kaum hawa untuk mencari pekerjaan mudah, tetapi menghasilkan banyak uang. Seandainya lapangan pekerjaan tersedia bagi kaum laki-laki, maka kaum hawa tak perlu menjadi pencari nafkah utama keluarga.
Kedua, pendidikan yang bermutu dan bebas biaya. Pendidikan yang dilandaskan kepada akidah Islam akan mencetak individu yang bertakwa dan bersyahsiah Islam. Ia akan melakukan perbuatan sesuai dengan arahan akidahnya. Alhasil, ia memahami mana perbuatan yang benar dan mana perbuatan yang salah serta mengetahui standar hidup yang boleh diambil atau tidak.
Ketiga, mengatur media massa. Negara mesti menetapkan aturan dan menyaring berbagai konten, informasi, dan berita yang akan disiarkan. Sebab, keberadaan media itu sangat penting untuk menyampaikan informasi yang membangun generasi.
Keempat, sanksi yang tegas. Islam memberlakukan sanksi yang tegas kepada semua pelaku prostitusi. Para pelaku akan dijatuhi sanksi sesuai kriteria, apakah sudah menikah atau belum. Jika pelaku belum menikah, maka ia akan dijatuhi hukuman jilid (cambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku sudah menikah, maka ia akan dijatuhi hukuman rajam, yakni pelaku akan ditanam sebatas leher dan orang-orang yang menyaksikan harus melempari kepala pelaku dengan batu hingga meninggal. Sedangkan bagi penyedia jasa prostitusi, maka ia akan dikenakan sanksi ta’zir yang ditentukan oleh pengadilan dan hukuman tersebut lebih berat karena mengandung unsur traficking.
Kelima, kontrol sosial. Kepedulian masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya akan membuat oknum-oknum yang berniat melakukan praktik prostitusi berpikir ribuan kali.
Hikmah
Selama sistem kapitalisme sekuler masih bercokol di negeri ini dan negeri-negeri lainnya, maka kasus prostitusi dan traficking akan terus terjadi. Sebab, masih ada pihak-pihak yang membutuhkan jasa pemuas syahwat karena dalam sistem ekonomi kapitalisme, ketika masih ada permintaan barang, maka akan ada pihak yang tetap memproduksinya. Maka tidak mungkin terus berharap pada sistem hari ini. Saatnya kita mengambil sistem Islam sebagai problem solver atas permasalahan yang kita hadapi.
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]