Oleh: Artatiah Achmad
Berharap pada janji manusia yang tunduk kepada arahan penjajah dalam menyelesaikan konflik di Palestina bukanlah jalan yang tepat. Kaum muslim semestinya harus mandiri dan bersatu mengusir Isra3l dari tanah Palestina dengan mengirimkan pasukan militer di bawah satu komando, yaitu seorang khalifah yang menjadi tameng bagi rakyatnya.
CemerlangMedia.Com — Lebih dari setahun sudah terjadi konflik berdarah antara Palestina dan Isra3l. Berdasarkan catatan pejabat kesehatan Palestina, perang tersebut telah memakan korban, lebih dari 46.000 orang tewas (voaindonesia.com, 11-01-2025).
Dilansir dari tempo.co, tampaknya tidak ada istilah zona aman di wilayah Palestina. Direktur Eksekutif Catherine Russell mengungkapkan, “Bagi anak-anak Palestina, tahun baru ini membawa lebih banyak kematian, kekurangan, penderitaan akibat serangan dan meningkatnya paparan cuaca dingin. Gencatan senjata sudah sangat mendesak,” (10-01-2025).
Krisis kemanusiaan di Gaza kian memburuk. Hingga saat ini, lebih dari satu juta anak-anak hidup di tenda-tenda darurat, banyak keluarga mengungsi. Sejak (26-12-2024), ada 8 bayi dan balita dilaporkan meninggal akibat hipotermia.
Kecaman dari dunia internasional memang sering digaungkan. Bahkan, solusi dua negara ditawarkan sebagai upaya untuk mengatasi konflik di Palestina. Meski diblokade Isra3l, bantuan logistik dari negeri-negeri kaum muslim juga kerap dilakukan. Bahkan, aneka kesepakatan damai selalu diupayakan. Nyatanya, konflik Palestina dan Isra3l terus berlanjut. Sampai kapan penderitaan rakyat Palestina ini akan berakhir?
Akar Masalah Persoalan Palestina
Persoalan Palestina adalah persolan umat Islam. Persoalan ini bukan hanya untuk rakyat Palestina. Sebagai agama yang sempurna, Islam memberi petunjuk untuk mengatasinya. Lantas, bagaimana tanggung jawab kita sebagai umat Islam dalam memandang persoalan ini?
Dalam persoalan Palestina ini, beberapa negeri kaum muslim tidak tinggal diam. Qatar berupaya berperan sebagai mediator untuk terciptanya kesepakatan damai antara Palestina dan Isra3l. Setelah berminggu-minggu terjadi perundingan di Doha, akhirnya terjadilah kesepakatan gencatan senjata antara kelompok militan Hamas dan Isra3l yang diumumkan pada Kamis (16-01-2025). Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat (AS) bertindak sebagai mediatornya (detik.com, 17-01-2025).
Sementara itu, banyak pihak berspekulasi bahwa gencatan senjata ini bukan sesuatu yang permanen untuk mengakhiri konflik di Palestina. Bagaimanapun juga, semestinya umat patut waspada dan belajar dari kesepakatan-kesepakatan sebelumnya yang selalu dilanggar oleh Zi*nis laknatullah. Dapat dipastikan sangat sulit memegang komitmen dari Zi*nis Isra3l.
Sebagai umat Islam, sejatinya harus paham bahwa perang antara Palestina dan Isra3l tidak lepas dari isu keamanan kawasan Timur Tengah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitab Mafahim Siyasiyah menyebutkan bahwa “Politik AS dan Inggris di Timur Tengah pasca Perang Dunia II terus berlangsung dengan pola kerja sama. AS diberi kesempatan untuk menikmati sebagian kekayaan Timur Tengah, khususnya minyak di Jazirah Arab.
Ketika muncul masalah Yahudi di Palestina, AS berpendirian untuk mendirikan sebuah negara di Palestina. Maksudnya untuk menjadikan Isra3l sebagai alat untuk menjajah Timur Tengah. Sikap AS terus melangkah mengukuhkan Isra3l dan menghilangkan setiap hambatan.
Konflik Israel dan Palestina terhitung terjadi lebih dari setengah abad. Berbagai langkah perjanjian kerap dilakukan. Ada perjanjian Camp David (1978), Perjanjian Oslo I (1993), Oslo II (1995), perjanjian puncak Camp David (2000), Prakarsa perdamaian Arab pada KTT Peta Jalan Kuartet Timur Tengah (2003), Prakarsa perdamaian Trump (2020), serta kesepakatan perjanjian damai di Doha, Qatar yang baru-baru ini terjadi.
Langkah gencatan senjata ini sejatinya tidak dapat menyelesaikan permasalahan di Palestina hingga ke akarnya. Pemimpin negeri Islam sebagai mediator tidak memiliki peran strategis dalam mengatasi konflik Palestina. Mereka bagaikan wayang yang mengikuti arahan dalang yang sesungguhnya, yaitu AS.
Kesepakatan gencatan senjatan yang terdiri dari tiga tahap ini ibarat mode “pause” yang menghentikan sesaat suatu proses yang sedang dijalankan. Akhirnya akan berujung kepada pecahnya peperangan, lagi dan lagi. Alhasil, berharap kepada kesepakatan damai yang dimediasi oleh AS hakikatnya bagaikan menggantang asap.
Bukankah pemimpin negara Paman Sam punya rekam jejak yang buruk terhadap dunia Islam? Masihkah berharap kepada orang yang sombong dan sesumbar akan menjadikan Gaza sebagai neraka jika Palestina tidak membebaskan sandera Isra3l sebelum pelantikan dirinya menjadi kepala negara AS?
Islam sebagai Solusi
Berharap pada janji manusia yang tunduk kepada arahan penjajah dalam menyelesaikan konflik di Palestina bukanlah jalan yang tepat. Apalagi dengan percaya kepada janji AS yang sejatinya menjadi dalang di balik kekacauan di Palestina. Sebagai seorang muslim, tentu harus yakin bahwa ada solusi jitu yang ditawarkan oleh Islam sebagai agama yang sempurna.
Solusi Islam untuk mengatasi konflik di Palestina adalah dengan memutus rantai penjajahan Isra3l atas Palestina. Allah Swt. mewajibkan kaum muslim untuk mengusir penjajah dari tanah air, sebagaimana firman-Nya di dalam surah Al-Baqarah ayat 191, “Perangilah mereka di mana saja kalian temui mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian….”
Perang untuk mengusir penjajah Zi*nis dilakukan dengan mengerahkan pasukan militer kaum muslim. Seandainya kaum muslim di seluruh penjuru dunia ini bersatu dalam satu kepemimpinan, tentu saja akan mudah mengusir penjajah Isra3l yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan seluruh tentara kaum muslim.
Apalagi dengan kekuatan akidah dan semangat jihad yang dimiliki kaum muslim, menjadikan mereka pejuang tangguh yang rela berjuang hingga titik darah penghabisan karena pahala syahid di medan jihad adalah surga dari Allah Swt.. Kaum muslim semestinya harus mandiri dan bersatu mengusir Isra3l dari tanah Palestina dengan mengirimkan pasukan militer di bawah satu komando, yaitu seorang khalifah yang menjadi tameng bagi rakyatnya.
Dahulu Islam pernah berjaya. Panglima perang Salahuddin al-Ayyubi mampu merebut kembali Palestina dari pasukan Salib. Kemudian Sultan Abdul Hamid II mampu memberikan perlindungan maksimal untuk menjaga tanah Palestina dari keserakahan Theodor Herzl. Itulah sikap yang seharusnya dipilih oleh pemimpin negeri Islam saat ini, yaitu bersatu di bawah kepemimpinan Khil4f4h ala minhajin an-nubuwwah. Wallahualam bissawab. [CM/NA]