Oleh: Nilma Fitri S. Si.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Menyongsong Pemilu 2024, seluruh elite politik turut berkompetisi memperebutkan kursi. Berjibaku dengan pernyataan dan kenyataan demi mendapatkan kursi kekuasaan. Bahkan simpatisan pun turut meramaikan agar calon unggulan berhasil dalam pemilihan. Tak pelak lagi, agama pun turut dikambinghitamkan karena dijadikan alat politik demi meredam lawan. Lantas, bagaimanakah rakyat harus bersikap?
Salah satu ungkapan yang menuai kontroversi dilontarkan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Dikutip dari tirto.id (04-09-2023), Yaqut meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang memecah belah umat dan menggunakan agama sebagai alat politik untuk mendapatkan kekuasaannya. Menurut Yaqut, Islam itu rahmatan lil ‘alamin, yaitu rahmat untuk semesta alam, bukan rahmat untuk Islam saja.
Wajah Sekularisme
Selang waktu prapemilu adalah saatnya para calon melakukan kampanye, termasuk juga bagi para simpatisan. Akan tetapi, akan menjadi unfaedah jika sindiran dan keberpihakan kepada salah satu calon dijadikan cara menarik simpati suara rakyat. Terlebih lagi hal tersebut keluar dari seorang pejabat berwenang yang masih aktif karena imbasnya dapat memicu perpecahan di tengah masyarakat.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin turut menanggapi, pernyataan Yaqut justru memicu perpecahan dan memunculkan politik identitas. Walaupun sah-sah saja mengungkapkan pendapat, tetapi harus dapat menghargai pilihan politik masing-masing orang. Apalagi hal ini datang dari pejabat publik yang semestinya tidak membuat pernyataan-pernyataan negatif yang kontradiktif demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di antara perbedaan politik di masyarakat (news.republika.co.id, 5-9-2023).
Pendapat lain pun juga diutarakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Mengutip dari news.republika.co.id (8-9-2023), Haedar memberi pesan kepada para tokoh politik agar tidak menimbulkan konfrontasi antara nilai-nilai agama dan nasionalisme. Para peserta Pemilu 2024 dan elite politik harus mampu menghayati keduanya. Harapannya, tidak ada lagi dikotomi yang menciptakan kondisi diametral sehingga mampu menyatukan nilai keislaman dengan nasionalisme.
Jelang Pemilu 2024 membuka tabir potret para elite politik di era ini. Peran sejawat menteri sebagai pembantu presiden belum mampu bersifat objektif. Bahkan pernyataannya dapat memunculkan kontroversi dan perpecahan. Tidak hanya itu saja, peran menteri agama sebagai penyelenggara urusan di bidang agama justru mengesampingkan nilai-nilai agama dari perpolitikan Indonesia.
Pernyataan agama dijadikan alat politik oleh menteri agama sarat dengan makna negatif bukanlah hal yang bisa dianggap biasa saja. Pasalnya, pernyataan ini dapat menyesatkan umat dan sangat berbahaya karena memisahkan agama dari politik dan pemerintahan dengan perumpamaan negatif terhadap subversi syariat Islam. Sederhananya, perpolitikan negara tidak perlu membawa nama agama.
Tentu saja akan makin berbahaya jika masyarakat turut mengamini dan membiarkan pemikiran ini tetap ada. Pasalnya, pemisahan agama dari kehidupan, tumbuh dari ide sekularisme demokrasi. Maka adalah wajar, jika pemikiran sekelas pengampu kebijakan pun akan condong kepada pemikiran sekuler karena sistem kehidupan yang mengatur negara saat ini berkiblat kepada kapitalisme demokrasi yang asasnya memisahkan aturan agama dari kehidupan.
Inilah bukti autentik bahwa negara saat ini bebar-benar sekuler. Apalagi dalam pesta demokrasi, yakni setiap kandidat berkompetisi meraih kursi, segala cara pun dilakukan demi meraih kemenangan. Pernyataan miring tak segan turut dilontarkan agar suara rakyat berubah haluan. Tak ada lagi rasa takut akan dosa, apalagi standardisasi perbuatan dengan halal dan haram, asalkan kemenangan dapat digenggam.
Hakikat Rahmat Semesta Alam
Pernyataan Yaqut akan Islam sebagai rahmat semesta alam seakan bertentangan dengan pernyataan lainnya yang beranggapan bahwa agama (Islam) tidak boleh disangkutpautkan dengan politik. Bagaimana bisa Islam akan menjadi rahmat bagi semesta alam apabila Islam hanya digunakan untuk ibadah saja. Padahal, Islam juga berisi tentang pemikiran dan perbuatan. Dalam arti bahwa dari pemikiran akan menghasilkan perbuatan. Pemikiran yang baik akan menumbuhkan perbuatan yang baik juga. Oleh sebab itu, pemikiran dan perbuatan butuh adanya aturan agar tercapai banyak kebaikan tidak hanya di dunia, tetapi juga sampai ke akhirat. Pengaturan yang berupa hukum syariat wajib dijalankan oleh masyarakat agar rahmat bagi semesta alam dapat terwujud.
Sebagaimana yang dijelaskan Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir/Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah (tafsirweb.com), tafsir QS Al-Anbiya ayat 107 adalah sebagai berikut,
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad),” وَمَا أَرْسَلْنَكَ, berarti Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw. dengan hukum-hukum dan syariat.
“Melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam,” إٍلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِينَ, berarti seluruh manusia baik muslim ataupun nonmuslim. Bagi orang-orang nonmuslim, mereka akan menjadi aman dan tenteram dengan adanya hukum syariat.
Menjelaskan bahwa Allah Swt. telah menurunkan hukum dan syariat melalui Nabi Muhammad saw. yang akan membawa rahmat bagi seluruh manusia, termasuk muslim dan nonmuslim. Hukum dan syariat ini tidak akan mendatangkan rahmat begitu saja, tetapi perlu diterapkan dan dijalankan seperti yang dicontohkan teladan kita Nabi Muhammad saw.. Maka akan menjadi unfaedah apabila syariat Islam hanya dipakai pada aspek ibadah saja. Padahal hukum dan syariat Islam sangat luas cakupannya, meliputi seluruh aspek kehidupan, seperti pendidikan, perekonomian, pergaulan, termasuk di dalamnya politik dan pemerintahan.
Islam dan Politik Tak Terpisahkan
Oleh karenanya, semua aspek kehidupan semestinya menggunakan aturan Islam karena Allah telah mensyariatkan manusia untuk memutuskan semua perkara, yakni wajib menggunakan hukum yang Allah Swt. turunkan dan bukan hukum yang dibuat manusia. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Ma’idah[5]: 49,
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ
“Hendaklah kalian memutuskan (urusan) di antara mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka.”
Aturan Islam sangat lengkap dan sempurna. Hubungan seorang hamba (manusia) dengan Pencipta ada aturannya, hal ini mencakup masalah ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Hubungan manusia dengan manusia lain pun ada aturannya dalam Islam, meliputi masalah muamalah, pergaulan, sanksi atau uqubat, ekonomi, pemerintahan, dan lain sebagainya. Begitupun dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti: pakaian, makanan, akhlak, dan lain sebaginya, semua lengkap terdapat dalam aturan Islam.
Bagaimana bisa Islam yang berisi aturan paripurna dan menyeluruh ini harus dipisahkan dari politik? Padahal di dalam Islam pun terdapat syariat yang mengatur pemerintahan dan urusan kesejahteraan manusia. Dalam QS An-Nisa ayat 59, Allah berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.”
Perintah Allah ini sangat jelas bahwa manusia wajib taat kepada Allah, Rasul, dan pemimpin. Ketaatan kepada pemimpin setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul menunjukkan bahwa kewajiban taat kepada pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin atau ululamri inilah sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Maka tidaklah mungkin pemerintahan dan politik itu terpisah dari Islam.
Makar Pembenci Islam
Ide memisahkan politik dari agama tentulah sangat bertolak belakang dengan Islam. Bila kita telisik lebih dalam, ide yang berasal dari sekularisme ini telah berhasil masuk ke dalam benak kaum muslimin. Makar para pembenci dan musuh Islam yang tidak rela Islam kembali bangkit dalam tubuh umatnya telah berhasil. Oleh karena perlawanan fisik tak mampu mengalahkan napas jihad, maka perlawanan pemikiranlah menjadi alternatif jalan memereteli satu demi satu roh Islam dari benak kaum muslimin. Dampaknya seperti yang kita rasakan saat ini. Keberhasilan menjauhkan Islam dari masyarakat dan menggantinya dengan sistem kapitalisme sekularisme sangat kental dan bersahabat. Maka tidaklah heran, jika seorang muslim merasa aneh bahkan merasa alergi dengan Islam dalam ranah politik.
Ikhtiar Kebangkitan
Oleh sebab itu, sudah semestinya umat Islam membuka mata dan telinga lebih lebar, memahami situasi dan perkembangan politik di negeri sendiri. Sebagai rakyat yang cinta akan negeri dan mendamba kebahagian sejati dunia dan akhirat, pilihlah pemimpin yang bukan hanya muslim dan saleh saja, tetapi juga yang mampu menerapkan hukum dan syariat Allah Swt. sehingga berhasil menebar rahmat bagi semesta alam sebagaimana yang Allah janjikan.
Wallahu a’lam bisshawwab.[] [CM/NA]