CemerlangMedia.Com — Sudah menjadi rutinitas pemerintah untuk membahas perpolitikan jauh-jauh hari sebelum pemilihan umum, begitu pula menjelang Pemilu 2024. Selain berbagai slogan yang disuarakan, imbauan pun dipublikasikan dari berbagai aktivis politik, misalnya dari Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas.
Yaqut menyatakan dalam pers yang berlangsung di Garut, Jawa Barat terkait Pemilu 2024 yang makin dekat. Menag mengimbau agar masyarakat melihat para calon pemimpin, apakah ada yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk kepentingannya. Jika ada, maka jangan pernah memilihnya karena calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik dianggap dapat menimbulkan perpecahan umat (4-9-2023).
Jika dilihat dari fakta yang terjadi, sejatinya pernyataan di atas sangatlah menyesatkan dan membahayakan bagi kehidupan umat. Karena agama dituduh sebagai alat politik sehingga pernyataan tersebut menggiring mindset umat bahwa Islam tidak mengajarkan politik dan menganggap Islam terpisah dengan politik.
Padahal politik itu tidak terpisahkan dan menjadi bagian penting untuk menjalankan hukum-hukum Allah. Allah telah menurunkan Islam sebagai sebuah ideologi yang darinya terpancar berbagai peraturan, baik dari segi hablum minafsi, hablum minanas, dan hablum minallah. Sedangkan politik dalam Islam adalah bagian dari habluminanas.
Penjelasan bahwa Islam tidak terpisahkan dari politik dijelaskan oleh seorang mujtahid mutlak, Syaikh Taqiyudin an-Nabhani dalam kitabnya yaitu Daulah Islam. Politik adalah mengurus urusan umat baik di dalam maupun di luar negeri. Juga dalam kitab Ajhizah ad Daulah Khilafah dijelaskan bahwa Islam mempunyai sistem politik yang baku yang dikenal dengan sistem Khil4f4h. Pengangkatan pemimpin yang disebut khalifah juga bersifat baku, yaitu dengan metode baiat. Maka khalifah-lah yang bertugas mengurus urusan umat sesuai dengan syariat Islam, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri.
Maka telah jelas jika politik itu tidak terpisahkan dan tidak pula asing dalam Islam. Oleh karena itu, umat iIlam tidak boleh ragu untuk melakukan aktivitas politik baik di dalam maupun luar negeri sesuai syariat Islam. Jika ada yang menyatakan bahwa berpolitik jangan membawa Islam, maka pernyataan dan pandangan tersebut bukan berasal dari Islam. Melainkan pandangan dan pemikiran yang lahir dari sekularisme, yang bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan, menganggap bahwa agama hanya seputar ibadah ritual atau ibadah mahdoh saja.
Apabila umat terbawa oleh aktivitas politik yang dibuat oleh manusia, niscaya aktivitas politiknya seringkali menjerumuskan dalam politik yang haus akan kekuasaan, yakni politik batil. Seharusnya kaum muslim mulai menyadari akan kebobrokan sistem politik saat ini dan berusaha untuk kembali kepada makna politik yang benar yang sesuai dengan syariat Islam. Wallahu a’lam bisshawwab
Wiji Umu Fayyadh
Kebumen [CM/NA]