CemerlangMedia.Com — Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat, yaitu di atas Rp16.000 pada pekan ketiga April. Menurut kepala ekonom Bank Permata Joshua Pardede, melemahnya rupiah ditengarai sebagai dampak dari konflik Isr*el-Iran di Timur Tengah yang kian memanas sehingga menyebabkan para investor menarik dana dari aset-aset yang berisiko tinggi, terutama di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
Konflik ini juga dikhawatirkan akan mengganggu rantai pasok minyak global, terutama jika selat Hormuz diblokade oleh Iran. Jika itu terjadi, harga minyak meroket dan Indonesia dipastikan mengeluarkan uang lebih untuk mengimpor minyak dan imbasnya, neraca perdagangan lebih defisit. Artinya nilai transaksi impor lebih besar dibandingkan ekspor.
Faktor lain, The Fed atau bank sentral AS diprediksi akan lebih lama mempertahankan suku bunga acuannya pada level tinggi untuk menekan laju inflasi AS. Hal ini menjadikan investor global akan lebih tertarik menaruh cuan-nya di pasar AS sehingga memicu arus keluar modal asing dari negara-negara berkembang, Indonesia, misalnya (21-4-2024).
Namun, selain faktor di atas, yang paling berpengaruh adalah adanya dominasi dolar AS sebagai mata uang internasional yang mengontrol nilai tukar mata uang negara selainnya. Kekuatan dolar AS tampak dalam memberikan sanksi ekonomi terhadap negara yang disasar dan meminggirkan negara-negara lain dari perdagangan dengan negara yang disasar. Hal ini karena keberadaan AS sebagai negara adidaya yang mengemban ideologi kapitalisme dengan mata uangnya yang sangat memengaruhi ekonomi global.
Nilai tukar rupiah lemah jelas berdampak besar terhadap kehidupan rakyat, terlebih masyarakat menengah ke bawah. Bagaimana tidak, sebagian besar bahan baku yang dibutuhkan untuk aktivitas dalam negeri berasal dari impor sehingga pengusaha harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bahan baku di tengah krisis nilai rupiah. Akibatnya, biaya produksi meningkat dan barang-barang yang sampai ke konsumen mengalami kenaikan.
Di sisi lain, jika harga minyak dunia naik, akan berpengaruh pada biaya ongkos produksi produk energi naik seperti LPG dan BBM. Dampaknya akan diikuti dengan kenaikan produk-produk lain. Pun, terjadinya inflasi yang cukup besar mendorong penurunan daya beli masyarakat. Ketika daya beli turun, imbasnya, kegiatan ekonomi mandek sehingga pertumbuhan ekonomi pun melemah.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, pemerintah biasanya menyalurkan bansos, penetapan harga BBM di bawah harga pasar, dan subsidi BBM untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Ini akan terus berlangsung jika negara selalu bergantung pada impor dan dominasi dolar AS sebagai mata uang internasional. Perlu dicatat bahwa fiat money/uang kertas sebagai alat pembayaran sangat rentan dengan inflasi sehingga nilainya akan terus turun. Ini karena uang kertas tidak mengharuskan adanya cadangan fisik, seperti perak dan emas.
Namun, berbeda dengan mata uang berbasis emas yang telah ditetapkan oleh Islam. Sistem ini lebih stabil dan aman dari krisis. Emas dan perak telah digunakan oleh Rasulullah sebagai sistem mata uang. Nilai dua logam ini telah terbukti tetap stabil dalam kaitannya dengan barang-barang konsumtif, seperti harga satu ekor kambing pada masa Nabi saw. adalah satu dinar dan ukuran besar seharga dua dinar.
Dengan demikian, jelas, sistem mata uang emas dan perak tahan terhadap inflasi dan krisis. Kekuatan tersebut akan dimiliki jika negara menggunakan emas dan perak sebagai mata uang resmi. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi jika negara masih menjadikan kapitalisme sebagai ideologi dalam mengatur kehidupan. Satu-satunya solusi untuk mengatasi lemahnya nilai mata uang adalah diterapkan sistem Islam dalam bingkai negara secara kafah, menjadikan emas dan perak sebagai sistem mata uang sehingga ekonomi rakyat berjalan stabil dan kuat.
Nining
Bandung [CM/NA]