Oleh: Maria Ulfa
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Masa remaja yang dipenuhi dengan kisah cinta tak lagi menjadi masa terindah bagi seorang gadis bernama Farah setelah dia mengenali dan mendalami agamanya dengan baik.
Di masa lalunya dia pernah berpacaran dengan kakak kelasnya yang bernama Indra, pemuda tampan anggota pecinta alam di SMA-nya. Itu pula yang membuat Farah ikut serta dalam komunitas pecinta alam.
Selain tampan, Indra juga pintar secara akademik. Dia juga penyayang, mungkin karena dia anak tunggal yang tak punya adik. Farah juga anak tunggal karena ayahnya meninggal saat dia masih bayi. Kemudian dia punya dua adik sambung dari pernikahan ibunya yang kedua, tetapi mereka tinggal di kota lain.
Farah tinggal dengan kakek dan neneknya di Desa Asri. Kadang Farah merasa terbuang dan kesepian karena tak tinggal bersama ibu dan adik-adiknya.
Setelah lulus SMA, Indra melanjutkan pendidikannya di kota pahlawan, sedangkan Farah di kota santri.
Diantarkan oleh Indra, Farah berangkat mendaftar penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di Universitas Negeri yang ada di kota santri. Sebelumnya, dia sudah mengikuti pendaftaran jalur SNMPTN undangan dan SBMPTN tes tulis, tetapi tidak lolos.
Di perjalanan, Indra sempat berpesan kepada Farah agar saat kuliah nanti tidak perlu mengikuti kegiatan-kegiatan eksternal kampus termasuk kajian-kajian Islam. Indra beralasan kegiatan tersebut tidak penting, bahkan ada kajian Islam yang bisa menjadikan anggotanya sebagai cikal bakal t*roris.
Farah tidak berpikir sejauh itu, bahkan Farah merasa aneh. Apakah benar kajian Islam membuat seseorang menjadi t*roris? Tapi Farah memilih mengangguk saja daripada banyak bertanya. Diterima saja belum, kok sudah ngomongin kegiatan kampus. Begitu pikirnya.
*
Saat pendaftaran mahasiswa baru, Farah berkenalan dengan seorang wanita muslimah yang cantik dan anggun, namanya Mahirah.
Kebetulan Kak Mahirah kuliah di Jurusan Sastra yang diinginkan oleh Farah. Farah pun sangat bergembira dan antusias untuk ngobrol lebih lanjut dengannya soal sastra.
Farah dan Mahirah saling bertukar nomor kontak. Setelah itu, mereka makin akrab walaupun hanya melalui telepon.
Waktu pengumuman penerimaan maba pun tiba dan beruntung, kali ini Farah diterima. Anehnya, yang pertama kali Farah beritahu kabar gembira ini adalah kakak barunya, Kak Mahira, bukan Kak Indra.
**
Di masa awal perkuliahan, Indra tak bisa mengantar Farah karena sudah disibukkan dengan aktivitas di kampusnya. Farah berangkat sendiri ke kota santri naik bus.
Di kota santri, kedatangan Farah sudah dinanti oleh Mahirah. Mereka bakal tinggal satu kos. Mahirah yang membantunya untuk bisa satu kos dengannya. Bahkan, Mahirah juga yang menjemputnya di terminal.
Keduanya tampak seperti adik kakak yang saling menyayangi, walaupun usia perkenalannya masih seumur jagung. Selain obrolan tentang sastra, sesuai jurusan mereka, mereka juga intens membicarakan tentang Islam.
Sedikit demi sedikit pandangan Farah berubah terhadap sesuatu dan menyelaraskannya dengan pandangan Islam. Farah pun mulai terbuka berbicara persoalan pribadinya kepada Mahirah. Termasuk tentang hubungannya dengan Indra.
Suatu hari Mahira mengajak Farah menghadiri sebuah kajian yang bertema “Hijrah Cinta”. Ternyata Kak Mahirah adalah pemateri dalam kajian itu. Dalam kajian itu Farah mendapatkan pencerahan terkait bagaimana hubungan cinta yang diperbolehkan oleh Allah dan bagaimana menundukkan rasa cinta dengan benar.
“Allah menganugerahkan kepada kita sebuah kebutuhan naluri yang bernama gharizah nau’ atau naluri untuk melestarikan keturunan yang sifatnya bisa ditunda pemenuhannya. Jika kita tidak dapat memenuhinya dengan segera, hal itu tidak akan membuat kita mati melainkan hanya menimbulkan rasa gelisah atau galau,” Kak Mahirah menjelaskan dengan bersemangat.
“Gharizah nau’ membuat kita memiliki kecenderungan untuk menyukai lawan jenis. Fitrah yang benar memang seperti itu, maka mencintai sesama jenis adalah sesuatu yang menyalahi fitrah. Menyukai lawan jenis itu ada cara pemenuhannya yang diatur oleh syariat Islam. Jadi, tidak sembarangan, kalau suka langsung tembak. Langsung mengikatnya dengan ikatan pacaran. Bukan seperti itu!”
“Aktivitas berpacaran adalah aktivitas mendekati zina. Dari berpacaranlah, tak jarang bisa terjadi hubungan suami istri padahal belum menikah. Lalu terjadilah kehamilan di luar nikah. Akhirnya banyak kasus aborsi dan pembuangan bayi.”
Farah bergidik ngeri. Di sudut hatinya yang lain, ia mengingat Indra. Lalu di sesi tanya jawab, ia tidak melewatkan kesempatan untuk bertanya.
“Kak, bagaimana jika berpacaran, tetapi tidak sampai di luar batas. Bahkan, pacarannya ini lebih positif, seperti saling mengingatkan dalam kebaikan. Apa juga tidak boleh?” tanya Farah memberanikan diri, demi sebuah jawaban yang akan menjadi titik tolak perubahannya ke depan.
“Tetap tidak boleh. Kalau berpacaran tujuannya untuk saling mengingatkan kebaikan, maka seharusnya si perempuan mengingatkan si lelaki bahwa Allah hanya memperbolehkan rasa cinta di antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram diikat dengan ikatan pernikahan. Itu syariat-Nya, bukan pacaran.”
“Jadi kalau sudah siap menikah, maka segeralah menikah. Jika belum siap, maka tundukkanlah pandangan dan perbanyak berpuasa!”
Farah telah mendapatkan pencerahan atas kesalahan hubungannya dengan Indra. Nafsunya terarahkan dengan pemikiran Islam dan mulai tunduk dengannya.
***
Malam itu selepas salat Isya, Farah menjalankan niatnya untuk memutus hubungannya dengan Indra dan dia pun berhasil memutuskan hubungan itu.
Bagi Farah keputusan ini juga berat sebetulnya. Namun, dia benar-benar ingin bertaubat dan menjadi muslimah yang lebih baik. Farah pun kemudian memblokir nomor Indra. Hari-hari Farah selanjutnya adalah lembaran baru bagi Farah.
Mahirah selalu menemaninya dan menjadi tempat bertanya apa pun. Baik soal perkuliahan ataupun persoalan hidup. Hal ini membantu Farah melupakan Indra.
Pakaian Farah pun sedikit demi sedikit berganti pakaian yang syar’i. Awalnya ia hanya mempunyai dua helai gamis. Kedua gamis itulah yang dipakai Farah secara bergantian. Satu kotor langsung dicuci, pakai yang satunya. Begitulah seterusnya. Mahirah yang menyadari itu segera mencarikan solusi dan alhamdulillah, Farah mendapatkan hadiah, empat helai baju gamis dari saudari-saudari hijrahnya. Meskipun tidak baru, tetapi masih bagus dan Farah sangat senang.
Buku bacaan Farah pun berubah, kalau dulu dia suka novel percintaan, sekarang beralih kepada bacaan Islami, di samping buku-buku sastra yang dia pelajari di perkuliahan.
Di sisi lain, ia mulai unfollow channel yang unfaedah dari media sosial yang dia miliki. Beralih mem-follow channel dakwah, edukasi, bisnis, dan teman-teman yang positif.
Dia prioritaskan perkara wajib, menambah amalan sunah, mengurangi hal mubah, menghindari kemakruhan, dan meninggalkan keharaman.
Bukan berarti itu semua mudah dilakukan, tetapi karena dia berada di lingkungan pertemanan yang sevisi dengannya, sama-sama ingin menjadi muslimah yang lebih baik, maka hal itu menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Baginya, inilah masa-masa yang lebih indah dari masa remajanya. [CM/NA]