Di Bawah Naungan Cahaya-Mu

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Dini Hidayati
(Kontributor Cemerlangmedia.Com)

CemerlangMedia.Com —Assalamualaikum, Andina dan Amar?” Sapa perempuan berambut panjang itu dengan lembut penuh senyum. Perempuan itu sebaya ibuku, tetapi dia lebih muda 5 tahun dari ibuku. Dia tampak mesra menggandeng tangan ayahku. Dan sorot matanya selalu ramah menatap orang-orang di sekitarnya.

Aku dan adikku hanya terdiam dan menatapnya datar serta menjawab salamnya di dalam hati. Tiada senyuman untuknya karena kehadirannya seolah akan menyingkirkan posisi ibuku di rumah ini. Dan kami tidak rela akan hal itu. Meski ibu kini sudah tiada, tetapi sangat tidak berharap ada orang yang akan menggantikan posisi ibu di hati dan di rumah kami.

Hari ini rumah kami tampak ramai sekali. Suara gelak tawa mewarnai suasana ceria ini. Ada Tante Yuni dan Tante Tuti dengan dibantu beberapa tetangga sibuk mondar-mandir menyiapkan berbagai makanan dan minuman di meja-meja.

Tetangga dan teman kantor ayah juga hadir memenuhi undangan. Rangkaian bunga di meja-meja tampak indah dan asri, belum lagi dekorasi ruangan yang ditata secara apik dan menarik oleh tante dan sepupu-sepupuku. Namun, entahlah, hati kami, aku, dan adikku Amar, terasa begitu perih dan sesak.

Hari ini adalah acara penyambutan isteri baru ayahku di rumah ini. Rumah besar yang penuh kenangan bersama ibu kandungku kini harus berganti dengan perempuan itu yang baru dinikahi ayahku 3 bulan lalu untuk menjadi istri ayah dan ibu baru kami. Kebetulan tepat satu tahun setelah ibuku meninggal dunia.

Ibuku meninggal karena kecelakaan sepeda motor saat dibonceng ayahku. Saat peristiwa itu terjadi, aku masih duduk di bangku kelas 1 SMP dan Amar adikku masih duduk di bangku kelas 5 SD.

Kecelakaan yang mengakibatkan meninggalnya ibuku telah mengubah kehidupanku 180 derajat. Sebelumnya aku dan keluargaku adalah keluarga bahagia yang penuh dengan kasih sayang. Ayahku yang bekerja sebagai seorang guru agama di sebuah SMP Negeri sekaligus seorang penceramah. Sedang ibuku meski hanya seorang ibu rumah tangga juga pengelola taman kanak-kanak di kompleks perumahan kami.

Meski begitu, ibuku tidak meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga yang sangat peduli dan sayang keluarga.

Setelah seharian penuh suasana ramai dan penuh keakraban antara keluargaku dengan tetangga serta teman sekantor ayah berakhir, suasana rumah kembali tenang tanpa keriuhan. Tante dan keluarganya sudah kembali ke rumahnya masing-masing.

Malam hari yang sunyi. Aku sedang di kamar menatap langit-langit dengan nanar. Tak terasa air mataku menetes deras. Tersedu -sedu aku menahan Isak tangis. Lampu yang menyala redup di atas meja belajar menambah sendu suasana. Tiada lagi dekapan dan kasih sayang ibu di sisiku. Ayahpun serasa jauh dari pelukan karena ada orang lain yang disayanginya di sisinya kini.

Perlahan aku bangkit menuju lemari pakaian di sebelah kanan meja belajarku. Kuambil baby doll dan handuk. Lalu berjalan ke kamar mandi di sudut kamarku. Entahlah, aku merasa sangat sedih sekali. Aku tidak sempat memikirkan adikku, Amar. Entah di mana dia kini. Mungkin saat ini dia juga sedang mengurung diri di kamarnya. Meratapi nasib lara ditinggal ibu yang kini menghampiri kami berdua.

“Andina, ayo bangun, Nak?” terdengar ayah memanggil namaku di pintu kamarku.

“Iya, Ayah, sebentar.” Sahutku sambil bangkit dari tempat tidurku untuk membuka pintu.

“Andina, sudah salat subuh, Nak?” tanya ayah lembut. Raut wajah ayah tampak segar dan penuh semangat. Aku hanya menggeleng pelan. Entahlah, tiba-tiba dadaku serasa sesak dan menghimpit. Matakupun terasa perih, sekuat tenaga kutahan air mataku supaya tidak menetes di depan ayah.

“Segera salat, ya, Sayang.” Ayah mengusap kepalaku dengan lembut. Kemudian Ayah berpindah mengetuk pintu kamar adikku di sebelah kamarku. Kututup kembali pintu kamarku, tetapi aku tidak segera mengambil air wudu.

Aku masih terduduk di pintu kamarku sambil menahan isak tangis agar tidak terdengar ayah yang sedang membangunkan adikku. Air mataku terus mengalir deras di pipiku. Dalam diam aku menangis.

“Andina, kalau sudah salat, segera turun, ya?” kata ayah dari balik pintu.

“Kita sarapan bersama Ibu, ya, Nak?” pinta ayah lembut. Lalu terdengar langkah kaki ayah menjauh dan menuruni tangga.

Perlahan aku dan adikku berusaha untuk bisa menerima ibu baru pengganti ibu kandung kami.

Awalnya biasa saja. Sampai suatu ketika…

“Andina, kamu dari tadi ngapain saja. Sudah bangun siang langsung makan, tidak mau bantu-bantu, enak sekali!” Bentak perempuan itu dengan sorot mata tajam dan penuh amarah.

Aku hampir tersedak mendengar bentakannya. Segera aku mengambil air di gelas dan meneguknya. Kusabarkan diriku menghadapinya. Padahal sedari bangun pagi, aku langsung mencuci piring, menyapu dan mengepel lantai serta menyiram tanaman di lantai atas. Bagaimana bisa dia mengatakan kalau aku tidak membantunya. Memang aku tidak ke dapur untuk membantu ibu baruku memasak, tetapi aku juga tidak berdiam diri dan tidak melakukan apa pun.

Aku bergegas meninggalkannya menuju kamarku di lantai atas. Tanpa sadar air mataku mengalir di pipi. Masih kudengar samar omelannya pagi itu. Sore harinya, ketika adikku Amar baru datang dari rumah temannya, perempuan itu kembali marah-marah tidak jelas. Hampir seharian perempuan itu berbicara keras dan marah kepada kami, aku dan adikku.

Suasana yang damai dan tenang di rumah lenyap sudah. Berganti rasa marah tak berkesudahan dari istri baru ayahku. Dia selalu curiga dan menuduh kami melakukan hal-hal yang buruk kepadanya. Seperti menyembunyikan barang miliknya, baju, tas, sepatu, uang, dsb.. Mengacak-ngacak kamar dan lemarinya, selalu memantau aktivitasnya, mengejek, dan memperoloknya, dsb..

Padahal kami sama sekali tidak melakukan semua hal itu. Begitulah sekarang rumah kami serasa ruangan investigator di kantor polisi. Akhirnya kami berdua menjadi jarang dan malas pulang ke rumah.

Tentu saja, pelarian kami adalah pergi ke rumah teman. Bahkan kami sering menginap di rumah teman. Ternyata hal tersebut menjadi masalah baru bagi aku dan adikku. Hubungan kami makin jauh karena jarang bertemu dan tiada berkabar lagi.

Setelah aku lulus SMP, aku melanjutkan ke SMA Negeri di kotaku. Kehidupan bersama temanku di SMA Negeri masih terjaga kala itu. Aku masih sering ikut kegiatan Rohis di sekolah.

Namun, tidak dengan adikku. Dia kemudian melanjutkan ke SMP Negeri pula. Ternyata pergaulannya tidak lagi seperti dulu yang masih terjaga kesalehannya ketika masih SD. Kini temannya bermacam-macam, bahkan dia bergaul dengan anak-anak yang suka minum dan tawuran.

Apalagi di kompleks perumahan kami, ada beberapa bandar narkoba. Meski begitu, ayah ternyata masih memantau kami.

Ayah tidak melepas kami begitu saja tanpa pengawasannya. Bahkan ayah sempat menyuruh bapak becak di sekitar rumah untuk mengawasi kami diam-diam sehingga ayah selalu mengetahui perkembangan kami, meski anaknya jarang pulang ke rumah.

Ketika adikku terlibat tawuran dengan temannya, ayah langsung datang ke sekolah. Alhamdulillah, tidak ada korban jiwa saat kejadian itu. Karena segera diketahui oleh para guru sehingga langsung dibubarkan. Kemudian ayah memberikan sanksi dan peringatan kepada adikku.
**
“Bu Dina… Bu Dina… Assalamualaikum,” seru anak-anak berusia lima tahunan itu ramai menyambutku. Anak-anak kecil nan lucu itu berebut mencium tanganku. Aku pun mengulurkan tanganku sembari tersenyum bahagia.

Di sinilah aku sekarang, mengajar dan mengelola taman kanak-kanak peninggalan ibuku. Meski hanya sebuah taman kanak-kanak, tetapi gedung sekolahnya lumayan besar. Terdiri dari tiga ruangan. Satu ruang untuk kepala sekolah dan dua ruangan kelas. Ada sebuah ruang kosong kecil untuk gudang dan sebuah kamar mandi kecil.

Halamannya cukup luas, bahkan ada taman yang cukup asri dan tertata cantik di dekat pintu masuk. Dengan dikelilingi pagar yang lumayan tinggi, menjamin keamanan anak-anak sehingga tidak bisa keluar masuk sembarangan.

Setelah lulus kuliah, aku sibuk dengan aktivitas di TK itu. Hingga suatu ketika Allah berkenan mempertemukan aku dengan seorang gadis yang menjadi tetanggaku. Kami jarang bertegur sapa. Hingga suatu ketika, kami bertemu dalam sebuah acara kajian di masjid dekat rumahku. Kami terlibat pembicaraan yang mengasikkan, lalu kami menjadi makin dekat.

Darinya aku belajar tentang makna hidup dan untuk apa kita dihidupkan di dunia ini. Perlahan, tetapi pasti, perubahan hidupku begitu nyata. Hingga aku menutup auratku dengan sempurna. Kemudian adikku juga kuajak mengikuti kajian khusus ikhwan. Hingga kami pun mulai berhijrah dengan sebenarnya.

Tanggapan ayah awalnya begitu keras menolak perubahan kami. Dengan kesabaran kami, ayah bisa menerima pemahaman Islam kafah yang kami emban meski beliau berbeda kendaraan dalam dakwah. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *