Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Miris melihat pemberitaan media massa akhir-akhir ini tentang fenomena sadis perilaku remaja. Sadis terhadap dirinya sendiri, seperti bunuh diri dan terhadap orang lain, yakni menjadi pelaku bullying sehingga menyebabkan kematian. Kasus perundungan (bullying) dan bunuh diri di kalangan remaja terus menjamur dan pelakunya pun masih belia. Fenomena ini ibarat lingkaran setan yang tak terurai, sebab selalu saja terulang tanpa solusi nyata.
Setidaknya ada beberapa kasus bullying yang viral di sosial media, di antaranya siswi SD di Meganti, Gresik mengalami kebutaan setelah di-bully temannya pada (07-08-2023). Bullying fisik secara brutal juga dilakukan oleh siswa SMP di Cilacap kepada temannya pada (26-09-2023). Dan yang teranyar di Bekasi, bocah SD (12 tahun) harus rela kehilangan kakinya karena diamputasi usai di-bully teman-temannya (detikNews.com, 01-10-2023).
Sama halnya dengan kasus bullying remaja, bunuh diri pun seolah menjadi tren saat ini. Seorang mahasiswi diduga bunuh diri di Paragon Semarang, Selasa (10-10-2023), polisi menemukan sepucuk surat di tasnya yang berisi seolah-olah sedang berpamitan dengan keluarganya. Begitu juga siswi SMK yang diduga bunuh diri di Desa Kendalrejo, Kecamatan Talun, Blitar pada Rabu (18-10-2023). Mayatnya ditemukan bersama sepucuk surat berisi kalimat perpisahan kepada kerabatnya. Tak kalah miris, bocah Kelas VI SD di kawasan Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, pada Selasa (26-9-2023) tewas di sekolahnya, diduga juga bunuh diri (Republika.co.id, 27-09-2023).
Begitulah potret buruk kondisi mental generasi muda saat ini. Generasi ini kerap disebut dengan generasi stroberi, sebab kondisi yang tidak tangguh menghadapi tantangan dan tekanan. Sangat mudah terpengaruh serta sensitif, mudah melakukan apa pun, nyaris tanpa arah dan kendali.
Dalam buku “Strawberry Generation” dijelaskan bahwa generasi ini sebetulnya adalah generasi yang kreatif, kritis dan mempunyai kemampuan connecting the dots yang lebih luwes. Mereka adalah generasi yang unik dan terbuka, mempunyai banyak gagasan. Namun, di balik itu semua, mereka mudah galau, banyak berhalusinasi dan mudah mengungkapkan kegalauannya ke mana-mana, misalnya di sosial media dan ke teman-temannya. Kebebasan berkeluh kesah ini bak kerikil yang dientak ketapel dan mengenai kepala (Reynald Kasal, Generasi Strawberry, hal 235).
Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat kesehatan mental pada generasi muda. Generasi yang seharusnya dipersiapkan untuk memimpin negeri, tetapi justru kini berada pada masa suram. Alih-alih diharapkan mampu menyelesaikan masalah bangsa, untuk menyelesaikan masalah pribadinya sendiri saja menggunakan jalan pintas, yakni bunuh diri. Begitu pun ketika bermasalah dengan orang lain, mereka menyelesaikan dengan cara merundung lawannya bahkan sampai menghilangkan nyawanya.
Korban Sistem
Tak dapat dimungkiri, bebasnya tayangan yang mempertontonkan kekerasan banyak dijumpai di media massa. Apalagi di era digital saat ini, tontonan tersebut makin mudah diakses siapa pun, termasuk anak-anak yang sebetulnya tidak cukup umur untuk menontonnya. Walhasil, tak jarang generasi muda menirukan gaya hidup liberal tanpa pengawasan dan filter yang tepat.
Di sinilah dibutuhkan sinergi yang kuat antara keluarga, masyarakat, dan negara untuk membentengi generasi muda terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang dapat berakibat fatal untuk dirinya dan orang lain. Hal ini berguna dalam menciptakan generasi tangguh harapan bangsa, jika salah satu saja tak berfungsi, maka dipastikan akan gagal melindungi generasi.
Namun, sayangnya, ketiga pilar tersebut gagal total menjalankan fungsinya dengan baik. Sebab, sistem hidup saat ini adalah kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme yang membawa ke arah kubangan kehancuran bagi para pengembannya. Kehidupan yang tidak sesuai fitrah manusia dan keluar dari rel hidup sebagaimana mestinya menyeret generasi muda untuk tidak mengenali dirinya sendiri.
Misalnya kehidupan keluarga, pada sistem saat ini sering dijumpai kondisi fatherless, motherless, dan keluarga broken home. Kondisi ini mengakibatkan rapuhnya generasi, sebab anak tidak mampu merasakan peran ayah dan ibu baik secara fisik maupun psikis. Orang tua mungkin masih ada, tetapi keberadaannya seperti tidak ada.
Hal ini umumnya dikarenakan para orang tua menghabiskan waktunya untuk mencari uang guna menopang hidup. Beratnya himpitan ekonomi keluarga akibat sistem ekonomi kapitalistik mengharuskan para orang tua berada di luar rumah dan tidak mempunyai waktu luang dalam menjalankan fungsinya di dalam keluarga. Ini pula seperti buah simalakama, sebab apabila memaksimalkan peran sebagai orang tua, niscaya kebutuhan sehari-hari sulit terpenuhi.
Begitu pun peran masyarakat/sekolah. Kurikulum di sekolah saat ini adalah pendidikan sekuler yang menjauhkan generasi pada nilai-nilai Islam. Agama hanya dipahamkan sebagai cara untuk beribadah ritual semata, tidak sempurna dan menyeluruh bahwa sebenarnya agama adalah cara hidup, mengatur hidup umat manusia sebagai ciptaan Allah.
Demikian pula peran negara yang terlihat mandul dalam mengontrol dan mengawasi media-media yang menjadi tontonan generasi. Ketidaktegasan negara terhadap pelaku pembuat tayangan yang memicu generasi untuk berlaku beringas makin menunjukkan bahwa negara telah lalai melindungi generasi mudanya. Maka tak heran, dengan peran negara yang sangat minim ini, generasi muda kehilangan kontrol.
Akibat arus global ini pula terciptalah generasi seperti saat ini, mempunyai mental lemah dan rapuh. Mereka kerap dicekoki kesenangan sesaat dan tidak tahu bagaimana menjalani hidup sesuai tuntunan Islam. Persoalan yang dihadapi buntu tak terselesaikan, pikiran picik menyelesaikan masalah dengan bunuh diri, atau meluapkan emosi berlebih kepada orang lain menjadi tren di kalangan anak muda saat ini.
Islam Menyolusi
Jika diamati lebih dalam, kasus bullying dan bunuh diri pada remaja adalah masalah yang sistemik, maka untuk penyelesaiannya pun harus dengan sistem pula, yakni dengan diterapkannya sistem Islam yang sempurna. Sebab, tidak ada kehidupan tanpa suatu permasalahan dan permasalahan dalam kehidupan pasti selalu ada solusinya dan solusi yang paling benar adalah solusi yang berasal dari Al-Qur’an yang merupakan petunjuk dari Allah untuk umat manusia. Isi dari Al-Qur’an itu sendiri tidak perlu diragukan lagi, sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 2,
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 2)
Dalam Islam, pemahaman akidah sejak dini adalah hal mutlak yang wajib dilakukan. Sebab, dengan akidah yang tertancap kuat, visi dan misi hidup sebagai hamba Allah Swt. akan terarah pada ibadah, menaati perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Prinsip ini harus dimiliki oleh keluarga muslim sebab orang tua adalah pendidikan pertama bagi anak-anaknya.
Di sisi lain, Islam menempatkan akidah sebagai dasar pendidikan di sekolah. Dengan demikian, output yang dihasilkan pada pendidikan Islam menciptakan generasi yang mempunyai pola pikir dan pola sikap sesuai dengan syariat Islam. Hal ini mampu membekali generasi muda dalam menjalani hidup dan menyelesaikan persoalan hidupnya dengan cara Islam.
Begitu pun peran negara yang memastikan peran ibu berjalan dengan baik dan benar sesuai aturan Islam. Islam memandang, ibu adalah pemegang kunci peradaban karena di tangan ibu pendidikan pertama anak dimulai. Hal ini sangat bertentangan dengan kondisi saat ini (kapitalisme), yaitu dengan menempatkan wanita (kaum ibu) turut berkiprah dalam roda perekonomian.
Di samping itu, negara Islam menjamin ketersediaan kebutuhan pokok rakyatnya sehingga tercipta kondisi masyarakat yang kondusif. Rakyat tidak akan mati-matian mengejar materi untuk menyambung hidupnya. Dengan demikian, fungsi dan peran antar anggota keluarga dan masyarakat akan berjalan sesuai fitrahnya.
Dengan demikian, Islam membentuk generasi yang gemilang, tangguh, dan bertakwa, masyarakat yang bahu membahu melakukan amar makruf nahi mungkar dan negara yang mampu meriayah rakyatnya. Dengan begitu, bunuh diri dan bullying pada generasi akan tuntas karena setiap individu memahami jati dirinya sebagai seorang hamba Allah dan menjadikan Islam sebagai cara hidupnya.
Maka urgensi penerapan Islam secara kafah saat ini sangat kuat guna menyelamatkan generasi muda pada khususnya dan menyelamatkan peradaban dunia pada umumnya. Sebab Islam satu-satunya yang terbukti mampu menyelesaikan problematika kehidupan dan mampu menciptakan manusia-manusia mulia dan bermartabat. Wallahu alam. [CM/NA]