Oleh: Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Jelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2024, negosiasi terkait perpanjangan kontrak dua perusahaan tambang mineral, PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) dengan PT Freeport Indonesia terus dikebut (ekonomi.bisnis.com, 17-11-2023). Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah agar berhati-hati serta mengkaji ulang rencana penambahan kepemilikan saham sebesar 10 persen di PT Freeport Indonesia (PTF).
Ekonom Menilai
Abra Tallattov, selaku ekonom Indef menilai bahwasanya sebelum menambah porsi kepemilikan, ada baiknya pemerintah mengevaluasi kembali dampak dari pengambilalihan mayoritas saham Freeport pada 2018. Salah satu yang perlu pengkajian, —pasca kepemilikan Indonesia naik menjadi 51 persen— adalah realisasi penerimaan dividen yang masih belum mencapai target bahkan belum sesuai target. Padahal targetnya dahulu adalah agar bisa di atas US$1 miliar per tahun. Namun, nyatanya realisasi pasca pengambilalihan justru jauh panggang dari api. Contoh nyatanya pada 2022 lalu, penerimaan dividen hanya sekitar US$837 juta, sangat jauh sekali dari target US$1 miliar.
Untuk itu, hal tersebut harus terus dievaluasi oleh pemerintah. Sebab, rencana untuk menambah kembali kepemilikan saham PTFI harus mengeluarkan biaya investasi yang tidak sedikit. Pemerintah juga seharusnya memperhatikan tren kenaikan suku bunga. Sebab, tren semacam ini berpotensi makin meningkatkan biaya investasi.
Pada sisi yang lain, terkait investasi pembangunan smelter tembaga PTFI, Indonesia sebagai pemegang saham terbesar tentu akan mengeluarkan lebih banyak investasi guna pembangunan fasilitas pemurnian konsentrat tembaga tersebut. Seperti kita ketahui saat ini, PTFI sedang membangun smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur sebagai komitmen kesepakatan perpanjangan IUPK 2018.
Progres smelter dengan nilai investasi US$3 miliar ini dilaporkan sudah mencapai sekitar 84 persen per Oktober 2023. Kemungkinan besar nantinya pembangunan smelter juga memiliki risiko, yaitu adanya penambahan porsi biaya yang harus dikeluarkan oleh pemegang saham yang dalam hal ini adalah PT Inalum.
Oleh karena itu, dengan adanya berbagai risiko tersebut, pemerintah perlu menyiapkan beberapa hal, seperti biaya untuk akuisisi saham serta menyiapkan biaya untuk program pembangunan smelter. Maka, pemerintah dalam hal ini, harus tegas terkait kebijakan tersebut, jangan bertindak gegabah dan terburu-buru dalam penambahan saham. Apalagi jika ada insentif saat perpanjangan IUPK-nya, hal itu bisa menjadi blunder untuk pemerintah ke depannya.
Sektor Utama yang Harus Dibenahi
Sejatinya, jika Indonesia ingin mandiri, sektor inilah yang harus dibenahi terlebih dahulu. Sebab, siapa pun yang akan menjadi orang nomor satu di Indonesia, tidak akan pernah bisa untuk mengubah perjanjian dan keadaan tersebut. Jika ada penguasa atau siapa pun dia yang berani mengutak-atik tambang para elite dunia, tentu mereka akan menggunakan seluruh kekuatan politik bahkan bisa jadi menggoyang kekuasaan. Hal tersebut dapat memicu terjadinya adu domba dan kerusuhan karena rakyat merasa tidak aman dan merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah.
Ini merupakan contoh kepemimpinan diktator yang pernah ada di berbagai wilayah di dunia selama beberapa dekade. Fakta dari gaya kepemimpinan yang seperti ini adalah tidak segan-segannya menjual kekayaan alam yang ada, baik dari dasar laut hingga ke puncak gunung, dari Sabang sampai Merauke. Hal tersebut bukan lagi teori konspirasi, tetapi fakta sebuah konspirasi.
PT Freeport dapat dengan leluasa mengeruk kekayaan di Papua karena dilegalkan secara sistem, yakni adanya payung undang-undang dan berbagai peraturan pemerintah. Hal tersebut sebagai konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme demokrasi. Berdasarkan sistem ekonomi kapitalisme, pengelolaan serta penguasaan tambang bisa diserahkan kepada swasta bahkan asing. Semua itu dilegalkan melalui UU yang dibuat oleh DPR serta pemerintah dalam sistem demokrasi.
Pada proses pembuatan UU semacam itu, sering terjadi praktik politik dagang sapi dengan para pemilik modal. Oleh karenanya, selama ideologi kapitalisme beserta demokrasinya masih diterapkan, penjajahan seperti saat ini akan terus terjadi, negeri ini akan terus-menerus dieksploitasi. Kekayaannya dijadikan jarahan, sedangkan penduduknya dijadikan sebagai sapi perah. Kasus Freeport merupakan salah satu contoh dampak buruk penerapan sistem kapitalisme demokrasi. Persoalan itu hanya bisa dihentikan pada saat sistem demokrasi kapitalisme yang menaunginya juga dihentikan.
Mengakhiri kontrak karya dengan Freeport bukanlah hal yang mudah karena bukan sembarang kontrak. Ini terkait mengakhiri kontrak karya dengan perusahaan negara penjajah. Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam dan akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan eksistensinya. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari segenap rakyat. Dukungan ini penting, tanpa itu semua, siapa pun penguasanya (yang berkuasa) akan mengalami kendala.
Islam Memandang
Negara dengan sistem Islam memiliki kemudahan dalam mengambil langkah dan membersihkan agen (kacung) serta komprador negara penjajah karena solusi dalam pandangan Islam sudah sangat jelas. Betapa tidak, Rasulullah saw. sudah menyebutkan bahwa, ” Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api.” (HR Ahmad).
Di dalam Islam, SDA yang sifatnya melimpah termasuk kepemilikan umum seperti hadis yang sudah disebutkan di atas. Kepemilikan umum dalam Islam terbagi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, serta kepemilikan negara.
Dalam Islam, status tambang ini jelas merupakan milik umum dan wajib dikembalikan ke tangan umat. Nabi menyatakan, “Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat yang tidak ada dalam Kitabullah. Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka batal meski berisi seratus syarat. Keputusan Allah lebih haq dan syarat Allah lebih kuat.” (lihat, al- Hindi, kanz, al-‘ummal, hadis no 29615).
Barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas merupakan milik umum. Negaralah yang berhak mengelolanya, kemudian hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk pelayanan, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dll..
Islam melarang keras individu mengelola dan menguasai tambang, seperti tambang migas, nikel, garam, serta barang-barang tambang lain yang depositnya melimpah. Dalam pengelolaan SDA, Islam memberikan aturan serta rumus baku secara jelas dan gamblang.
Pertama, pengelolaan SDA berprinsip terhadap kemaslahatan umat. Kedua, kekayaan alam seperti minyak bumi, barang tambang, laut, hutan, air, sungai, jalan umum yang jumlahnya banyak dan dibutuhkan masyarakat, adalah mutlak milik umum. Ketiga, pengelolaan harta milik umum dapat dilakukan dengan memanfaatkan secara langsung dan dikelola negara secara langsung. Semisal air, jalan umum, laut, sungai, serta benda-benda lain yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu.
Maka dalam hal ini negara melakukan pengawasan agar harta milik umum tersebut tidak menimbulkan mudharat bagi masyarakat. Sedangkan yang dikelola negara secara langsung dilakukan terhadap SDA yang membutuhkan keahlian, teknologi, dan biaya besar, seperti barang tambang dan lainnya. Negara dapat mengelola dan mengeksplorasinya agar hasil tambang dapat didistribusikan ke masyarakat. Negara tidak diperbolehkan menjual hasil tambang kepada rakyat dengan tujuan untuk mendapat keuntungan melainkan dijual sebatas harga produksi.
Keempat, negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kekayaan alam yang menjadi milik umum kepada individu, swasta, apalagi asing. Kelima, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan baitulmal. Pos milik umum tersebut dikhususkan dari penerimaan negara, seperti kharaj, fai, jizyah, dan zakat. Distribusi hasil tambang hanya dikhususkan untuk rakyat, termasuk untuk membiayai sarana serta fasilitas publik, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Demikianlah pengelolaan SDA menurut kacamata Islam. Hasil pengelolaan tambang yang dikelola berdasarkan syariat Islam akan dinikmati oleh rakyat dengan murah dan mudah. Wallahua’llam. [CM/NA]