Konser Musik di Tengah Bobroknya Generasi

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh. Sunarti

CemerlangMedia.Com — “Sudah jatuh tertimpa tangga.”
Peribahasa ini sangat cocok dengan apa yang terjadi di negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Sudahlah generasi mudanya sarat dengan berbagai macam persoalan, ditambah lagi dengan suguhan tontonan yang tidak bisa menjadi tuntutan. Problem yang ada belum ada solusi yang solutif, malah disuguhi dengan konser yang unfaedah. Alih-alih upaya memperbaiki generasi muda dari keterpurukan,  konser ini justru difasilitasi oleh para pemangku kebijakan.

Padahal, para tokoh masyarakat, tokoh agama juga pejabat masih pro-kontra terakit diadakannya konser besar ini. Hal ini seolah menjadi bukti, bahwa negeri belum memiliki rujukan yang tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi. Masih berkutat pada akal manusia yaitu hukum manusia yang mengutamakan hawa nafsu dan juga logika akal. Sehingga yang terjadi adalah keputusan yang sesuai dengan kepentingan. Entah kepentingan siapa di balik konser tersebut. Jika bukan para pebisnis dan koloninya, lantas siapa lagi?

Wakil Ketua MUI Anwar Abbas menjelaskan bahwa grup band Coldplay adalah grup band yang ikut mendukung lesbian, gay, biseksual dan transgender (L687). Itulah mengapa MUI menolak konser grup band asal Inggris tersebut. Menurutnya, jika pemerintah mendukung konser Coldplay tersebut maka sama saja negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini menerima kehadiran orang yang memperjuangkan L687.

Beliau juga mengatakan di laman yang sama, “Dalam konstitusi negara kita Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 jelas dikatakan, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya kegiatan yang kita lakukan tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama.”

Dari sanalah MUI meminta pemerintah—apabila tetap ingin menggelar konser—, maka harus bermanfaat untuk masyarakat, tidak hanya berpikir dari sisi ekonomi. Wakil Ketua MUI juga menilai kalau konser Coldplay lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Menurut Wakil Ketua MUI, L687 bukanlah hak asasi manusia, tetapi berhubungan dengan kejiwaan seseorang.

Sebelumnya Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang juga menolak kehadiran band asal Inggris itu dengan alasan pro L687. Bahkan mereka mengancam mengepung bandara jika Coldplay nekat datang (Suara.com).

Sebenarnya tidak hanya sekali ini ini saja keberadaan konser unfaedah. Sebelumnya juga telah ada beberapa grup K-Pop yang datang ke Indonesia. Kesemuanya bukan tontonan yang bisa dijadikan tuntutan, melainkan sebatas hura-hura semata. Gaya hidup yang seperti ini justru banyak diminati oleh masyarakat banyak, tidak hanya kaum muda, tetapi juga orang tua.

Ini seolah menjadi bukti bahwa generasi penerus digiring untuk menjadi generasi penikmat euforia dunia. Meski tiket mahal, tetapi nyatanya laris manis. Penyelenggara sejatinya mengutamakan unsur bisnis dengan menjadikan materi prioritas utama. Kehidupan hura-hura yang melenakan anak-anak, remaja hingga orang tua adalah tujuan utamanya. Untuk penonton sendiri entah sekadar melepaskan penat karena banyaknya persoalan atau mereka sampai pada titik menjadi fans yang buta.

Di tengah persoalan bobroknya generasi dalam segala aspek kehidupan (seks bebas, narkoba, nikah dini, miras, perkelahian, dehumanisne, dll.), negara justru memfasilitasi konser unfaedah. Bukan memilih tontonan yang mendidik generasi muda, malah mendatangkan group musik pendukung maksiat. Nauzubillah.

Khalayak tentu telah mengetahui bahwa grup band ini berasal dari negara yang mengadopsi budaya kebebasan, budaya asing yang berpotensi menambah rusaknya generasi. Sayangnya mereka bukan memikirkan efek buruknya, justru berpikir “aji mumpung” terhadap grup yang satu ini. Padahal jika dipikir-pikir, kebutuhan keseharian masih jauh dari cukup. Namun, masyarakat lebih memilih untuk membeli tiket yang terkategori mahal.

Padahal kemiskinan ekstrem sedang melanda. Seharusnya generasi diajak berpikir untuk bahu-membahu mengentas kemiskinan, bukan sebaliknya, kehidupan generasi penerus dicekoki dengan kehidupan foya-foya dan dengan sukarela mengeluarkan uang jutaan rupiah hanya sekadar untuk hiburan. Bukannya dididik untuk hidup hemat dan bersedekah, malah diajak menonton hiburan yang unfaedah.

Semua ini bukti nyata wajah negara tanpa visi yang jelas terhadap generasi. Nyata juga dampak sekularisme-kapitalisme yang diterapkan. Salah meletakkan prioritas utama bagi warganya. Gaya hidup hedonisme mengajak pada kehidupan suka-suka, sarat maksiat, dan minim edukasi yang bermanfaat.

Semua ini menunjukkan perbedaan yang jauh dengan sistem Islam yang memiliki visi yang jelas atas generasi, yaitu sebagai pembangun peradaban Islam yang mulia. Islam menjadikan negara sebagai pihak yang mewujudkannya, mengintegrasikan misi mencetak generasi bersyakhshiyah Islam dalam seluruh bidang kehidupan, serta negara pula yang bertanggungjawab atas rendahnya kesehatan mental rakyat.

Skala prioritas dalam kehidupan generasi penerus juga menjadi urusan negara. Karena fasilitator utama warga adalah negara. Mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak, akan diseleksi secara ketat oleh negara. Tontonan yang tidak mendidik akan dibentengi negara dengan penyikapan yang tegas. Meskipun hiburan dalam kategori mubah, segala bentuk hiburan yang menyesatkan dan mendatangkan maksiat menjadi sebuah keharaman. Maka akan dicegah secara maksimal oleh negara.

Negara semestinya memiliki prioritas dalam perlindungan terhadap warganya, yaitu perlindungan rakyat secara keseluruhan, baik muslim maupun nonmuslim (yang menjadi warga negara) dari segala bentuk aktivitas yang merusak. Baik merusak akal, menjamah kehormatan, membahayakan keselamatan jiwa dan juga perlindungan terhadap harta.

Demikian pula prioritas terhadap penduduk miskin juga akan diperhatikan, bukan malah diabaikan dan mementingkan hura-hura saja. Oleh karena pemenuhan kebutuhan pokok bagi rakyat adalah prioritas utama bagi negara untuk menyediakan, memfasilitasi dan menjaminnya.

Dalam kepemimpinan Islam, generasi penerus akan dididik sejak dini mengenai skala prioritas kehidupannya. Sehingga mereka terdidik menjadi generasi yang melek keadaan, mengutamakan kewajiban dan memperbanyak amalan sunah. Bukan membebek budaya hedonisme dan sekularisme.

Waallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *