Penulis: Yulweri Vovi Safitria
Managing Editor CemerlangMedia.Com
Pemimpin ideal yang mampu bekerja untuk rakyat hanya akan ditemukan di dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kafah. Sebab, syariat Islam akan melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Prinsipnya berorientasi akhirat, bukan materi dan duniawi.
CemerlangMedia.Com — Terkuaknya tambang nikel yang dilegalkan negara di Raja Ampat memenuhi laman media. Protes keras dari berbagai lapisan masyarakat pun muncul terkait kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan tersebut.
Seolah tidak ingin ambil risiko lebih jauh, pemerintah pun mencabut Izin Usaha Pertambangan atau IUP nikel terhadap empat perusahaan, yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Sementara itu, izin tambang PT Gag Nikel tidak dicabut (tempo.co, 13-6-2021).
Tumpang Tindih Aturan
Kondisi Raja Ampat yang mengalami deforestasi bukanlah cerita baru. Dikutip dari Global Forest Watch, sejak 2002 hingga 2024, Raja Ampat kehilangan 11,7 kha hutan primer basah dan menyumbang 76% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Jumlah yang sangat fantastis tentunya.
Mirisnya, meski kondisi Raja Ampat ditetapkan sebagai wilayah konservasi dan hutan lindung, tetapi pemerintah seolah membiarkan aktivitas tambang tersebut berlangsung. Pemerintah seolah tutup mata dengan dampak yang akan timbul jika penambangan ini terus-menerus dilakukan.
Meskipun UU No. 14/1999 tentang Kehutanan melarang aktivitas tambang di kawasan hutan lindung. Akan tetapi, di masa pemerintahan Megawati, misalnya, diterbitkan Keppres No. 41/2004 yang menjelaskan bahwa PT Gag Nikel bersama 12 perusahaan lainnya memperoleh izin untuk melakukan aktivitas tambang di hutan lindung.
Keputusan yang dikeluarkan pemerintah tersebut tampak bertolak belakang dengan UU No. 14/1999 yang secara tegas menolak aktivitas tambang di kawasan hutan lindung. Beragam pertanyaan memenuhi benak publik. Ada apa dengan pembuat kebijakan sehingga aturan yang mereka buat dengan mudahnya ditabrak?
Cengkeraman Kapital
Fakta yang terjadi di Raja Ampat seolah menunjukkan kuatnya cengkeraman para pemilik modal yang berkolaborasi dengan segelintir elite pemegang kekuasaan. Negara seolah tidak berdaya terhadap kepentingan kelompok, individu, ataupun asing. Atas nama investasi, sumber daya alam dikeruk untuk memenuhi hasrat terhadap materi.
Sumber daya alam terus-menerus diekploitasi dengan dalih kesejahteraan rakyat. Alih-alih menyejahterakan, kehidupan rakyat justru makin sulit dan jauh dari kata sejahtera. Bahkan, dampat kerusakan dari aktivitas tambang justru paling dirasakan oleh rakyat.
Bagi nelayan, misalnya, hasil tangkapan mereka menurun drastis akibat laut yang tercemar limbah berbahaya. Begitu juga dengan hutan dan satwa yang keberadaannya dibutuhkan dalam menjaga ekosistem. Satwa terancam punah karena rusaknya hutan akibat aktivitas yang berlebihan serta tidak memikirkan dampak buruknya.
Pada saat masyarakat mengeluhkan kondisi alam yang rusak, pemerintah justru bangga dengan percepatan hilirisasi nikel yang dilakukan Indonesia. Lebih ironisnya lagi, sebagian masyarakat, bahkan bergelar tokoh masyarakat yang seharusnya peduli terhadap alam dan keselamatan rakyat, justru berada di kubu penguasa dan menyetujui aktivitas tambang yang ugal-ugalan.
Fakta ini seolah menegaskan bahwa apabila materi sudah menjadi orientasi kehidupan, sesuatu yang salah pun akan dicari pembenarannya. Ya, sistem kehidupan yang beorientasi materi telah melahirkan individu yang mencintai harta dibandingkan nyawa orang lain. Alih-alih memikirkan lingkungan yang rusak, mereka justru terlibat dalam kerusakan tersebut.
Berbagai aturan pun terus digulirkan demi memuluskan hasrat dan kepentingan tertentu. Alasan untuk kesejahteraan rakyat tidak ubahnya tipu-tipu karena pada faktanya, keuntungan dari hasil tambang tetaplah dinikmati oleh segelintir orang, sedangkan rakyat tetap saja kesusahan dengan harga-harga yang terus melangit, PHK massal, sulitnya mendapatkan pekerjaan, serta akses pendidikan dan kesehatan yang makin rumit.
Paradigma Kapitalisme
Tumpang tindihnya aturan merupakan keniscayaan dalam sisitem kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, materi merupakan tolok ukur sebuah pencapaian. Tidak heran jika banyak orang berlomba-lomba mengumpulkan materi dan tidak peduli dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Sistem kapitalisme yang melahirkan liberalisme meniscayakan terjadinya liberalisasi terhadap sumber daya alam, termasuk kawasan konservasi dan hutan lindung. Kebebasan yang digaungkan sistem ini memberi ruang setiap orang bisa menguasai harta milik umum. Melalui beragam aturan, semua itu dilegalkan dengan dalih kesejahteraan dan menciptakan lapangan kerja.
Terlebih lagi, dalam sistem kapitalisme liberal, pengangkatan seorang pemimpin bukanlah karena kualitas dan kemampuannya. Tidak jarang, terdapat lobi-lobi dan sponsor dari pemilik modal. Alhasil, kebijakan yang diambil sering kali untuk melegitimasi kepentingan para pemodal/kaum kapital.
Alih-alih mengurus dan memperhatikan kebutuhan rakyat, pemimpin dalam sistem kapitalisme justru menjadi regulator dan perpanjangan tangan para pemodal. Begitulah, tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalisme, semua ada timbal balik yang menguntungkan di antara keduanya.
Kembali ke Islam
Melihat fakta kerusakan lingkungan akibat sistem kapitalisme, maka sudah sepatutnya umat Islam bergerak dan terus menyerukan tegaknya sistem Islam. Sebagai agama sekaligus ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu menyejahterakan umat manusia. Ini karena Islam bersumber dari Allah, Rabb semesta alam. Sungguh, Allah Taala Maha Mengetahui apa saja yang terbaik bagi manusia beserta lingkungannya.
Dalam Islam, seorang pemimpin adalah pelayan rakyat. Pemimpin bertanggung jawab dalam memenuhi segala kebutuhan rakyat dan menjauhkan segala aktivitas yang membahayakan dari masyarakat.
Terkait tambang, Islam menetapkan bahwa tambang merupakan milik umum. Begitu pula kekayaan alam lainnya, seperti hutan, minyak bumi, gas alam, sebagaimana dalam hadis yang masyhur, Rasullullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Ketiga perkara tersebut tidak boleh dikuasai segelintir orang, melainkan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Setiap aturan yang berlaku bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah, bukan buatan manusia yang akalnya terbatas.
Dalam sistem politik Islam, pemimpin berfungsi sebagai raain dan junnah. Seorang pemimpin akan memastikan seluruh rakyatnya hidup sejahtera sehingga mereka tidak lagi disibukkan oleh urusan kebutuhan dasar, seperti makan, kesehatan, dan pendidikan. Umat hanya fokus ibadah dan membangun peradaban Islam yang gemilang dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupan.
Khatimah
Pemimpin ideal yang mampu bekerja untuk rakyat hanya akan ditemukan di dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kafah. Sebab, syariat Islam akan melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Prinsipnya berorientasi akhirat, bukan materi dan duniawi.
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS Al A’raf: 96). [CM/Na]