Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Indonesia mempunyai sumber daya alam melimpah yang berasal dari hutan, laut, tambang, minyak bumi, gas alam dan sebagainya. Keadaan ini seharusnya menjadikan negara kaya-raya dan bisa dinikmati oleh seluruh warga negaranya. Bahkan, kekayaan tersebut bisa membuat Indonesia menjadi negara raksasa yang diperhitungkan di dunia.
Namun, sayang, kondisi negara ini menunjukkan kebalikannya. Dalam masalah ekonomi masih dijumpai kemiskinan ekstrem. Bahkan, pembangunan infrastruktur yang sedang gencar dikerjakan akhir-akhir ini, sumber pendanaannya berasal dari utang. Ironis, kekayaan yang melimpah, tetapi utang menjerat.
Suatu keanehan ketika tumpukan utang negara yang mencapai Rp8.041,01 triliun secara keseluruhan per November 2023 dinilai aman terkendali. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu kandidat calon Presiden Prabowo Subianto yang menyebutkan bahwa utang luar negeri Indonesia aman dan digunakan untuk hal produktif. Hal ini terlihat dari tingkat utang terhadap produk domestik bruto (loan to GDP ratio) yang mencapai 40% dan dianggap paling rendah dibandingkan negara-negara lain. Ia juga tidak mengkhawatirkan adanya intervensi lembaga ataupun negara pemberi utang (kreditur) karena Indonesia mempunyai nilai tawar yang kuat lewat program hilirisasi mineral yang digulirkan sejak 2019 (Kompas.id, 07-01-2024).
Lebih parahnya lagi, dalam sesi debat ketiga tersebut, Capres Prabowo Subianto menyebutkan tidak masalah jika utang Indonesia mencapai 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP). Menurutnya, dengan utang tersebut Indonesia masih dihormati dunia karena tidak pernah default (gagal bayar) (Cnnindonesia, 07-01-2024).
Ironis Kapitalisme
Berpikir bahwa utang mempunyai dampak positif dan bermanfaat ini merupakan pernyataan berbahaya dan cara pikir negatif. Sebab, dengan berutang dapat menyebabkan ketergantungan kepada negara lain dan kedaulatan negara dipertaruhkan karena harus mengikuti aturan negara asing yang memberikan pinjaman sebagai syarat diberikannya utang. Negara debitur (penerima pinjaman) menjadikan negara kreditur (pemberi pinjaman) sebagai tuan yang harus diikuti semua titahnya. Alhasil, rakyat menjadi tumbal, keringatnya diperas guna melayani hasrat negara kreditur untuk mendapatkan pinjaman modal atau utang.
Dalam sistem kapitalisme, utang dijadikan alat penjajahan untuk menjerat secara ekonomi. Apabila gagal membayar, bisa berdampak pada peralihan aset negara ke swasta dan asing. Selain itu, stabilitas ekonomi nasional terancam, jika negara tidak mampu membayar utang (default/gagal bayar). Hal ini mengindikasikan bahwa negara itu dalam keadaan bangkrut.
Untuk menyelamatkan dari kebangkrutan tersebut, maka negara memilih cara meminjam ke dana moneter internasional atau IMF yang dikenal dengan organisasi lintah darat. Alih-alih memberikan penyelamatan kepada negara, IMF justru menjadi obat pahit sehingga membuat ekonomi domestik terpuruk, seperti pada kasus krisis moneter pada 1997/1998 yang terjadi di negara ini.
Lebih dari itu, utang akan diwariskan ke generasi berikutnya, artinya rakyat akan menderita secara berkepanjangan. Dalam sistem kapitalisme, negara akan menggenjot pajak lebih parah lagi dan mencabut subsidi di segala bidang guna membayar utang. Lagi-lagi, rakyat yang menjadi korban. Jadi penilaian dampak positif terhadap utang sungguh cara berpikir negatif.
Inilah konsekuensi logis diterapkannya sistem kapitalisme di negara ini. Sumber daya alam yang seharusnya menjadikan Indonesia sebagai negara super power, justru hancur lebur dengan utang. Sistem bobrok ini menggiring negara yang seharusnya makmur menjadi negara yang merengek-rengek ke negara lain untuk diberikan pinjaman dalam membangun negaranya.
Utang dalam Islam
Dalam Islam, utang tidak dijadikan sumber utama pendapatan dan tidak digunakan untuk menopang perekonomian negara. Islam mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam untuk menghidupi rakyatnya. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme, yakni rakyatlah yang menghidupi negara dengan pajak.
Akibat penerapan sistem kapitalisme ini, negara tidak mampu mengatur kepemilikan umum dengan benar sehingga harus kelimpungan mencari utang. Padahal, dalam Islam telah digambarkan pengelolaan sistem keuangan yang berasal dari baitulmal.
Baitulmal itu sendiri mengelola pemasukan dan pengeluaran belanja negara. Pemasukan negara berasal dari ghanimah, kharaj, status tanah (tanah milik negara, tanah milik umum), jizyah, fai, dan dharibah, serta zakat yang terdiri dari zakat pertanian, zakat peternakan (kambing, unta, sapi), zakat uang, dan zakat perdagangan
Sedangkan kepemilikan umum terdiri dari minyak, gas, sungai, listrik, laut, pertambangan, mata air, hutan, padang rumput, aset-aset yang dilindungi negara untuk keperluan tertentu. Kepemilikan umum ini haram untuk dimiliki swasta dan individu, pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyatnya.
Dengan demikian, sudah selayaknya bagi kita semua untuk lepas dari sistem kapitalisme yang sarat mudarat ini menuju sistem Islam kafah yang terbukti menyejahterakan rakyat secara sempurna. Selain untuk kehidupan yang lebih baik karena sesuai dengan fitrah manusia, juga sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Al-khaliq. Maksimal dalam mematuhi peraturan-Nya, termasuk secara total melepaskan diri dari jeratan utang ribawi.
Khatimah
Negara sejahtera dengan pembangunan infrastruktur yang megah hanya ilusi, jika utang dijadikan sumber pendapatan dalam pembangunan. Hal ini seolah menampakkan bahwa pemerintah membawa roda negara kepada kemurkaan Allah Swt. karena selalu menghimpun utang dengan ribawi.
Padahal, Allah Swt. telah dengan jelas melarang transaksi riba, sebagaimana dalam surah Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS Ali Imran [3]: 130).