Perdagangan Manusia, Luka di Balik Gemerlap Globalisasi

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Kasus demi kasus perdagangan orang sejatinya adalah alarm keras bagi umat ini. Selama sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolok ukur keberhasilan tetap berkuasa, praktik keji ini akan sulit diberantas. Hanya dengan menerapkan sistem Islam yang sempurna dan menyeluruh, perlindungan hakiki bagi rakyat dapat diwujudkan, serta martabat manusia bisa benar-benar dijaga.

CemerlangMedia.Com — Di balik hingar-bingar globalisasi dan kemajuan teknologi, ada sisi gelap yang kerap luput dari sorotan, yaitu perdagangan manusia. Seorang wanita asal Pontianak, Kalimantan Barat hampir saja menjadi korban sindikat perdagangan orang yang hendak menjualnya ke Tiongkok. Beruntung, aparat kepolisian berhasil menggagalkan upaya tersebut pada 16 April 2025. Namun, kasus ini sejatinya hanya puncak gunung es dari persoalan besar yang terus menggerogoti harkat dan martabat manusia di berbagai belahan dunia.

Kisah AL, wanita Pontianak yang hampir dijual dengan modus pernikahan ilegal membuka mata masyarakat tentang betapa licik dan terorganisirnya sindikat perdagangan orang. Dengan janji pekerjaan sebagai pemetik teh dan penjahit, korban diiming-imingi uang Rp20 juta saat keberangkatan dan tambahan Rp30 juta ketika tiba di luar negeri. Bahkan, orang tua korban sudah menerima Rp7,5 juta sebagai uang muka (22-4-2025). Pola semacam ini bukan hanya terjadi secara lokal, melainkan telah menjadi bagian dari kejahatan transnasional yang melibatkan jaringan internasional dengan modus yang makin canggih.

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kini memanfaatkan beragam cara untuk menjerat korban, mulai dari perekrutan secara daring, penipuan berkedok tawaran kerja, hingga penyamaran sebagai agen resmi. Tujuannya satu, yaitu mengeksploitasi manusia demi meraup keuntungan. Entah melalui kerja paksa, prostitusi, maupun eksploitasi seksual. Fenomena ini menjadi tantangan serius, tidak hanya bagi pemerintah Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat internasional yang prihatin dengan terus merebaknya kejahatan ini.

Pemerintah Indonesia sejatinya telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas TPPO, seperti melakukan sosialisasi, membentuk Gugus Tugas TPPO, serta menerbitkan regulasi seperti UU No. 21/2007 dan Perpres No. 19/2023. Bahkan, ratusan WNI yang menjadi korban penipuan daring di Myanmar telah berhasil dipulangkan dan kini menjalani pemulihan fisik maupun psikologis. Meski demikian, pertanyaan penting muncul, apakah langkah-langkah ini sudah cukup untuk memutus mata rantai perdagangan orang?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa upaya pemerintah sering kali masih bersifat reaktif dan belum menyentuh akar masalah. Minimnya lapangan kerja, kemiskinan yang merajalela, serta lemahnya penegakan hukum membuka peluang besar bagi sindikat untuk bergerak bebas. Negara yang gagal menyediakan pendidikan berkualitas, peluang pekerjaan, serta jaminan sosial hakiki, sejatinya ikut mendorong rakyatnya untuk masuk dalam lingkaran jebakan sindikat. Dalam situasi seperti ini, mereka yang putus asa akan lebih mudah tergoda oleh janji-janji palsu yang menjebak.

Lebih jauh, akar permasalahan ini terkait erat dengan sistem yang mendominasi kehidupan masyarakat, yaitu sekuler kapitalisme. Dalam sistem ini, keuntungan materi sering kali ditempatkan di atas nilai-nilai kemanusiaan. Manusia pun tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang memiliki martabat, melainkan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Selama paradigma ini masih bercokol, segala upaya pemberantasan TPPO hanya akan menjadi tambal sulam yang tidak menyentuh persoalan fundamental.

Islam menawarkan pendekatan yang komprehensif dalam mencegah dan memberantas perdagangan manusia. Pertama, Islam menanamkan keimanan yang kuat kepada setiap individu bahwa mengeksploitasi manusia adalah dosa besar. Dengan pemahaman Islam secara menyeluruh (kāfah), individu akan terdorong untuk menjauhi perbuatan haram dan tercela.

Kedua, negara dalam sistem Islam memiliki peran sebagai pelindung rakyat (junnah) yang wajib memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Jika seorang kepala keluarga tidak mampu, negara melalui baitulmal akan turun tangan sehingga rakyat tidak perlu mencari jalan pintas yang melanggar syariat.

Ketiga, kebijakan luar negeri dalam Islam menempatkan perlindungan warga sebagai prioritas utama, termasuk pengawasan ketat terhadap perbatasan untuk mencegah sindikat perdagangan manusia. Di samping itu, Islam menetapkan sanksi tegas bagi para pelaku TPPO sesuai tingkat keterlibatan dan bentuk kejahatannya, sementara korban justru diberikan rehabilitasi tanpa dikenakan hukuman.

Kasus demi kasus perdagangan orang sejatinya adalah alarm keras bagi umat ini. Selama sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolok ukur keberhasilan tetap berkuasa, praktik keji ini akan sulit diberantas. Hanya dengan menerapkan sistem Islam yang sempurna dan menyeluruh, perlindungan hakiki bagi rakyat dapat diwujudkan, serta martabat manusia bisa benar-benar dijaga. Wallahu a‘lam.

Agustin Pratiwi [CM/Na]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *