Data Mata Terjual, dari Imbalan ke Ancaman

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com

Urgensi menegakkan aturan Islam secara kafah menjadi mutlak agar kehidupan manusia, termasuk kehormatan, tubuh, dan identitasnya terlindungi oleh aturan yang bersumber dari wahyu Allah Swt..

CemerlangMedia.Com — Fenomena mencemaskan di tengah derasnya arus digitalisasi dan kemajuan teknologi terjadi di Bekasi dan beberapa daerah lainnya. Warga datang berbondong-bondong untuk melakukan rekam iris mata. Bukan tanpa sebab, warga mengaku melakukan hal itu karena ada imbalannya.

Tekanan ekonomi memaksa sebagian warga untuk menjual bagian privat dari identitas dirinya berupa rekam iris mata. Salah seorang warga Perumnas 3, Bekasi, Jawa Barat mengaku mendapatkan total 40 USD atau setara dengan Rp659 ribu setelah ia bersama istri, orang tua, dan mertuanya melakukan rekam iris mata di Kantor cabang WorldId Kota Bekasi yang bertempat di Jalan Ir. H. Juanda (KumparanNews, 5-05-2025).

Di sinilah letak ironisnya. Warga terbujuk melakukan sesuatu tanpa mengetahui pasti dampak ke depan. Adanya potensi penyalahgunaan identitas dan kriminalisasi terhadap korban sendiri tertutupi akibat ketidaktahuan dan desakan kebutuhan ekonomi. Parahnya lagi, negara belum cukup tanggap memberikan perlindungan kepada warga.

Masalah Struktural

Prosesnya tampak sederhana, scan mata kemudian diberikan imbalan terus pulang. Ternyata hal tersebut menyimpan ancaman serius. Banyak hal yang bisa terjadi, misalnya penyalahgunaan identitas, pelanggaran privasi, dan bisa saja jerat hukum kepada si pemilik iris.

Hal ini bukanlah suatu fenomena biasa dan sebuah kebetulan, melainkan cermin buruk sistem hidup kapitalisme yang memberi ruang untuk mengeksploitasi segala sesuatu untuk menghasilkan keuntungan/uang. Manusia bukan subjek yang dimuliakan, melainkan objek yang dianggap komoditas untuk diperjualbelikan.

Praktik jual beli iris mata subur terjadi di tengah masyarakat ekonomi lemah. Mereka rata-rata terdesak untuk memenuhi kebutuhan harian, seperti mencukupi makan, membayar utang, atau mencari pemasukan tambahan. Selain itu, edukasi yang minim terkait dampak negatif jika memberikan data pribadi juga memuluskan praktik jual beli rekam iris mata. Dalam kondisi seperti ini, imbalan uang sulit untuk ditolak.

Lebih jauh, kapitalisme sebagai sistem yang menempatkan keuntungan materi sebagai poros utama nyatanya tidak hanya menjadikan kemiskinan sebagai suatu masalah yang perlu diselesaikan, tetapi juga sebagai sumber bisnis. Paradigma kapitalisme, segala sesuatu bisa dijadikan objek eksploitasi, termasuk kemiskinan itu sendiri. Oleh karenanya, tatkala jutaan orang hidup dalam impitan ekonomi, mereka menjadi sasaran empuk para korporasi teknologi yang membutuhkan data biometrik dalam jumlah besar dan murah.

Memberikan uang dengan cepat bukanlah bantuan dalam praktik ini, melainkan sebuah transaksi yang timpang. Korporasi teknologi mendapatkan banyak hal, misalnya data biometrik yang tidak dapat direplikasi dan kemudian menjadi investasi jangka panjang, sedangkan warga yang melakukan perekaman hanya mendapatkan uang receh tanpa ada jaminan bahwa data mereka tidak disalahgunakan.

Lebih jauh, sekularisme yang merupakan cabang pemikiran dari sistem kapitalisme, yakni mengeluarkan nilai-nilai agama dari ruang publik dan hukum menyebabkan pandangan terhadap tubuh bukan lagi sebagai kehormatan, amanah, dan kesucian, melainkan sebagai komoditas yang bisa digunakan untuk kepentingan dan bisa menghasilkan keuntungan materi. Ironisnya, korporasi (pihak yang mengeksploitasi) tidak merasa bersalah karena sudah mendapatkan persetujuan dari yang bersangkutan.

Hal ini diperparah oleh peran negara yang lemah. Negara dalam sistem kapitalisme bukanlah pelindung rakyatnya, melainkan sebagai fasilitator pasar bebas. Banyak kebijakan data dan teknologi tidak untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk mendukung investasi atau sekadar mempercepat adopsi teknologi.

Negara-negara berkembang seperti Indonesia justru membuka keran selebar-lebarnya bagi korporasi teknologi luar negeri untuk masuk dan mengambil data dari rakyat tanpa mekanisme kontrol yang ketat. Lembaga perlindungan data sering kali lemah secara struktur dan tidak mempunyai daya untuk menindak korporasi multinasional. Alhasil, rakyat dijadikan objek pasar dan eksperimen digital, bukan subjek yang harus dilindungi.

Perlindungan Islam

Islam memandang manusia adalah makhluk mulia ciptaan Allah Swt. untuk tujuan ibadah, bukan objek ekonomi yang bisa diperjualbelikan. Lebih jauh, manusia bukanlah pemilik absolut dirinya, melainkan hamba Allah yang diberikan amanah atas tubuhnya.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya…” (HR Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjelaskan kepemimpinan manusia terhadap tubuh sendiri yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt..

Dalam Islam, menjual bagian tubuh atau data yang melekat erat dalam tubuh, seperti iris mata atau sidik jari adalah haram. Sebab, hal ini termasuk pelanggaran terhadap perlindungan kehormatan (Hifzh Al ‘irdh, perlindungan jiwa (Hifzh al-Nafs).

“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” (QS Al-Isra: 70).

Ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk mulia yang tidak boleh direndahkan hanya sekadar dijadikan objek pasar, termasuk melarang untuk mengomersialkan sesuatu yang tidak boleh, misalnya darah, organ, dan kehormatan. Apalagi objeknya bisa menimbulkan bahaya atau merusak masyarakat (dharar).

“La darar wa la dirar”. “Tidak boleh menimbulkan bahaya atau membalas bahaya dengan bahaya.” (HR Ibn Majah, Ahmad).

Di sisi lain, negara dalam sistem Islam memastikan semua orang terpenuhi kebutuhan pokoknya sehingga tidak perlu menjual diri atau menjual data diri hanya untuk bertahan hidup. Negara adalah pelindung, bukan fasilitator pasar bebas.

“Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya, kaum muslim berperang dan dengannya mereka berlindung.” (HR Muslim).

Khatimah

Demikianlah hukum Islam melindungi dan menjaga kehormatan umat sehingga menjadikannya manusia yang bermartabat. Hanya Islamlah satu-satunya sistem yang mampu menjaga manusia, bahkan alam dan seisinya.

Oleh karenanya, urgensi untuk menegakkan aturan Islam secara kafah menjadi mutlak. Dengan demikian, kehidupan manusia, termasuk kehormatan, tubuh, dan identitasnya dijaga dengan aturan yang bersumber dari wahyu Allah Swt., bukan dari akal manusia yang terbatas dan cenderung mengabdi pada kepentingan kapital. [CM/Na]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *