Ketika Batas Kemanusiaan Tersandera Batas Negara

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com

Solusinya bukan sekadar tekanan internasional atau aksi solidaritas semata, melainkan perubahan sistem global secara menyeluruh. Sistem yang dibutuhkan oleh Gaza dan seluruh alam adalah sistem yang memadukan kekuasaan, iman, dan kemanusiaan dalam satu napas keadilan. Sistem yang bukan hanya mendengar tangisan, tetapi bergerak karena nilai akidah, itulah Islam

CemerlangMedia.Com — Semua mata tertuju pada Rafah. Batas negara dijaga ketat, seolah lebih berharga daripada nyawa manusia. Jeritan relawan kemanusiaan tidak juga mengubah kebijaksanaan penguasa Mesir agar segera membuka pintu perbatasan untuk membantu rakyat Gaza atas genosida yang dilakukan entitas penjajah Israel di balik tembok batas tersebut.

Para relawan tersebut dari berbagai komunitas di seluruh penjuru dunia. Mereka bersatu melakukan aksi yang dinamakan “Global March to Gaza”. Aksi ini bergerak menuju perbatasan Rafah, pintu masuk utama ke jalur Gaza dari arah Mesir. Sayangnya, ribuan peserta tersebut mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, mulai dari dideportasi ke negaranya, menjadi tahanan hotel tempat menginap, disita ponsel dan barang-barangnya, hingga ditahan kepolisian setempat (Liputan6.com, 16-06-2026).

Aksi ini merupakan protes keras dari berbagai penjuru dunia yang menuntut dibukanya jalur bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun, Mesir tetap bersikeras menutup jalur tersebut dengan dalih harus melalui palang prosedur dan izin keamanan, padahal aksi ini tidak terafiliasi dengan partai politik apa pun. Ini adalah murni dorongan kemanusiaan yang dilakukan oleh orang-orang berhati nurani tulus. Orang muslim maupun nonmuslim, semua berkumpul demi kemanusiaan.

Ironi Politik

Viral di sosial media, seorang warga Eropa nonmuslim menangis di hadapan tentara Mesir untuk mengetuk pintu hati mereka agar membiarkan relawan memasuki Gaza melalu pintu Rafah. Para relawan tersebut tidak membawa senjata, hanya hati nurani yang bersedia “repot” dengan segala konsekuensinya. Mereka bergerak ke dalam medan konflik untuk mengobati dan merawat rakyat Gaza.

Namun, hingga detik ini, tentara Mesir masih gagah bergeming. Mereka tidak peduli tangisan para relawan kemanusiaan.

Peristiwa tersebut adalah kenyataan, bagaimana nilai kemanusiaan tidak lagi menjadi hal utama dalam menentukan kebijakan. Jeritan para relawan hingga sampai mengemis kepada tentara Mesir bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan simbol global ketidakberdayaan dunia terhadap kekuatan politik yang memenjarakan nilai-nilai moral.

Sejak dahulu, Mesir memainkan peran ambigu terhadap genosida yang dilakukan oleh Isra3l. Di satu sisi, Mesir kerap menarasikan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina. Namun di sisi lain, perbatasan Rafah yang menjadi pintu masuk ke Gaza ditutup, padahal jalur ini adalah jalur mobilisasi bantuan kemanusiaan. Sikap Mesir tersebut telah menambah panjang penderitaan warga Gaza dan secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu Isra3l untuk turut melumpuhkan Gaza.

Pemerintah Mesir berdalih bahwa penutupan perbatasan Rafah demi stabilitas keamanan negaranya. Namun nyatanya, penutupan tersebut lebih kepada muatan politik murahan daripada menjaga keamanan negaranya. Ini merupakan strategi geopolitik internasional yang menempatkan keuntungan di atas nilai kemanusiaan dan panggilan nurani.

Lebih mengiris hati, perlawanan dan yang paling keras bersuara terhadap kemanusiaan adalah nonmuslim yang mempunyai latar belakang agama berbeda. Relawan nonmuslim datang dengan segala konsekuensi, dideportasi, ditahan, bahkan hingga ancaman nyawa. Namun, penguasa muslim yang mempunyai tentara bersenjata, hidup di bawah ketiak penjajah dan justru menormalisasi hubungan dengan Zi*nis Isra3l.

Ini adalah tamparan keras bagi dunia Islam. Bagaimana mungkin solidaritas kemanusiaan datang dari luar, sedangkan umat Islam sendiri terpecah belah dalam batas kenegaraan, kepentingan ekonomi, dan ketakutan terhadap Barat.

Terkait hal ini, perbatasan Rafah adalah hak negara Mesir. Terbukanya Rafah ada di tangan Mesir dan dunia tidak berdaya untuk membuka paksa. Namun, ketika di baliknya ada kemanusiaan tercabik, maka batas negara bukan lagi dinding pembatas untuk membantu rakyat Gaza, melainkan jembatan solidaritas.

Lebih dari itu, krisis kemanusiaan dan kerasnya hati penguasa-penguasa negeri di sekitar Gaza untuk membuka pintu bantuan tidak dapat dipisahkan dari sistem hidup global yang saat ini mendominasi dunia. Sistem kapitalisme sekuler menempatkan ekonomi, kepentingan negara, dan geopolitik di atas nilai kemanusiaan dan solidaritas.

Dalam sistem ini, arah kebijakan negara bukan berdasarkan hati nurani, melainkan pada perhitungan laba dan rugi. Kebijakan luar negeri, termasuk bantuan kemanusiaan ditentukan oleh pertimbangan siapa yang memberikan manfaat keuntungan lebih besar. Oleh karena itu, tidak heran jika Mesir lebih mementingkan stabilitas hubungannya dengan negara-negara Barat—pendukung Zi*nis Isra3l, AS dan sekutunya—daripada memenuhi panggilan kemanusiaan dari relawan global.

Ketika negara-negara arab masih terjerat sistem kapitalisme, termasuk Mesir, jeritan relawan global tidak akan mampu menggoyahkan kebijakannya untuk membuka gerbang demi memasukkan bantuan ke Gaza, Palestina. Negara-negara ini akan terus membiarkan Gaza di bawah tekanan Zi*nis Isra3l atas dalih menjaga stabilitas negaranya.

Sementara sistem sekularisme yang merupakan akidah sistem kapitalisme meniscayakan kebijakan negara berada jauh dari jalur agama. Dari sini, walaupun mayoritas penduduk Mesir beragama Islam, termasuk kepala negaranya, tidak menjadikan solidaritas sesama umat Islam sebagai prioritas utama kebijakannya. Dalam kerangka sekuler, keislaman hanya dijadikan identitas kultural, bukan fondasi politik dan negara.

Begitu pula nasionalisme sebagai pilar sistem global saat ini. Nasionalisme menjadikan batas negara lebih sakral daripada nilai kemanusiaan dan solidaritas. Gaza dan Mesir adalah dua wilayah yang mempunyai historis, geografis, dan kultural yang sangat dekat. Akan tetapi, dalam sistem nasionalisme, kedekatan ini tidak berarti apa-apa, terasa jauh, bahkan tidak saling terikat.

Kewajiban Menolong

Langkah Mesir mengunci jalur bantuan ke Gaza adalah tikaman terhadap ukhuah islamiah dan saudara seakidah. Hal ini menjadikannya dosa besar karena membiarkan kaum muslim terbunuh tanpa pertolongan. Firman Allah Swt., “Dan jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan…” (QS Al-Anfal: 72).

Dalil ini tidak boleh ditawar dengan alasan apa pun, termasuk ketakutan terhadap tekanan Barat. Menolong rakyat Gaza adalah perintah Allah Swt..

Di sisi lain, negara dalam sistem Islam mewajibkan kepala negara mengirim militer, logistik, dan membuka perbatasan jika ada bagian dari umat yang diserang. Menolak untuk membuka tembok pembatas untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan berarti mengkhianati amanah kepemimpinan secara syariat Islam.

Khatimah

Jika sistem kapitalisme sekuler masih mendominasi global, maka pemboikotan terhadap rakyat di Gaza akan terus terjadi. Solusinya bukan sekadar tekanan internasional atau aksi solidaritas semata, melainkan perubahan sistem global secara menyeluruh. Sistem yang dibutuhkan oleh Gaza dan seluruh alam adalah sistem yang memadukan kekuasaan, iman, dan kemanusiaan dalam satu napas keadilan. Sistem yang bukan hanya mendengar tangisan, tetapi bergerak karena nilai akidah, itulah Islam. Wallahu a’lam. [CM/Na]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *