Penulis: Elvana Oktavia
Dalam Islam, tindakan penistaan atau penghinaan terhadap agama dapat dikenai hukuman mati. Jika pelakunya seorang muslim, perbuatannya dianggap sebagai bentuk kemurtadan yang sanksinya adalah hukuman mati.
CemerlangMedia.Com — Kasus penistaan terhadap Nabi Muhammad saw. kembali mencuat dan memancing kemarahan. Di Istanbul, Turki, massa melakukan demonstrasi memprotes kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan majalah satir LeMan pada Senin (30-6-2025). Meski pihak media memberikan klarifikasi, tetapi tetap tidak mampu meredam kemarahan khalayak (cnnindonesia.com, 1-7-2025).
Penistaan agama, dalam hal ini penghinaan kepada Nabi telah menjadi kasus yang berulang. Mengapa hal ini terus terjadi?
Konsekuensi Sekularisme
Setelah Kekhalifahan Utsmaniyah dihapus pada 1924, Mustafa Kemal Atatürk memperkenalkan nasionalisme modern di Turki dengan menekankan kesatuan budaya dan bahasa. Ia ingin membangun negara bangsa sekuler yang berbasis pada identitas nasional, bukan agama.
Sekularisme pada dasarnya lahir dari rahim demokrasi kapitalisme yang juga menumbuhkan paham liberalisme, yakni kebebasan tanpa batas. Kebebasan ini mencakup empat ranah, yaitu agama, pendapat, kepemilikan, dan tingkah laku. Keempat kebebasan tersebut dapat mencengkeram kehidupan manusia dan menjadi penyebab utama maraknya penyimpangan.
Apabila kebebasan ini dilegalkan tanpa pagar syariat, maka manusia akan terjerumus dalam kerusakan akhlak dan kebingungan pikiran. Mereka bebas melontarkan pendapat mengikuti hawa nafsu tanpa peduli apakah itu benar atau salah, menyesatkan atau tidak, bermanfaat atau justru merusak tatanan masyarakat. Asal tidak mengganggu kebebasan orang lain, semuanya dibenarkan, padahal inilah racun yang sejatinya membahayakan umat Islam, memutus tali ketaatan pada hukum Allah, dan membuka jalan bagi kerusakan yang lebih luas.
Lebih dari itu, kegagalan memberantas penghinaan terhadap Rasulullah saw. membuktikan kelemahan sistem sanksi sekuler yang tidak mampu membuat jera para pelaku. Selama umat masih tunduk pada sistem demokrasi kapitalisme yang memisahkan agama dari aturan hidup, maka penghinaan serupa akan muncul kembali. Tidak peduli seberapa keras protes kaum muslim, selama hukum Allah tidak ditegakkan, penistaan terhadap Nabi saw. sangat mungkin terulang, baik di negeri kufur maupun di negeri kaum muslim sendiri.
Bukti Cinta Kepada Nabi
Bagi setiap mukmin, kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. selalu diiringi dengan sikap penghormatan dan pemuliaan terhadap beliau. Oleh karena itu, seorang muslim yang benar-benar beriman tidak akan pernah membiarkan Rasulullah saw. dihina atau direndahkan.
Hal ini karena kecintaan kepada Baginda Nabi saw. tidaklah sama dengan cinta kepada sesama manusia. Seorang muslim wajib menempatkan cinta kepada beliau di atas segala bentuk cinta lain, melebihi cinta kepada harta, jabatan, kedudukan, keluarga, bahkan dirinya sendiri, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dahulu Khilafah Utsmaniyah pernah membuktikan ketegasan yang tidak terbantahkan saat kehormatan Nabi saw. terancam dilecehkan. Ketika Voltaire berniat mementaskan drama penghinaan terhadap Rasulullah saw., Sultan Abdul Hamid II langsung mengultimatum Kerajaan Inggris yang ngotot mendukung pementasan itu. Sultan dengan berani menyatakan, “Kalau tetap diteruskan, aku akan sampaikan kepada seluruh umat Islam bahwa Inggris sedang mencela Rasul kita! Aku akan panggil umat ini berjihad!”
Setelah mendengar pernyataan itu, Inggris pun ketakutan dan memutuskan untuk membatalkan pertunjukan. Kisah ini mengingatkan umat Islam, betapa pentingnya kehadiran pemimpin tangguh yang melindungi kehormatan Nabi saw. hingga ke titik pengorbanan tertinggi.
Menjaga Kemuliaan Nabi dengan Islam
Tindakan menghina Rasulullah saw. termasuk perbuatan kufur yang berpotensi menggugurkan keimanan seseorang, baik dilakukan untuk bercanda maupun dengan maksud menghina secara terang-terangan.
“Jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS At-Taubah: 65).
Dalam Islam, tindakan penistaan atau penghinaan terhadap agama dapat dikenai hukuman mati. Jika pelakunya seorang muslim, perbuatannya dianggap sebagai bentuk kemurtadan yang sanksinya adalah hukuman mati.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, pelaku diberi waktu tiga hari untuk bertobat. Apabila ia menolak, maka hukuman dijalankan, sedangkan apabila ia menyesal dan kembali pada Islam, keputusan selanjutnya menjadi wewenang khalifah.
Sementara itu, apabila pelaku merupakan nonmuslim dan ia berstatus kafir dzimmi, jaminan perlindungannya akan dicabut sehingga ia dapat diusir atau dihukum mati. Adapun jika pelakunya berasal dari kalangan nonmuslim di luar perlindungan, tindakan penistaan tersebut dapat dijadikan dasar bagi negara Islam untuk menyatakan perang terhadap negara yang bersangkutan.
Sesungguhnya ketegasan Islam dalam menindak para penista Rasulullah saw. membuktikan bahwa Islam memiliki sistem perlindungan yang nyata untuk menjaga kemuliaan agama dan kehormatan kaum muslim. Dalam syariat Islam, tidak ada ruang bagi siapa pun untuk menistakan Nabi saw. tanpa balasan setimpal.
Hukum sanksi akan ditegakkan setiap kali terjadi pelanggaran atau kemaksiatan di wilayah kekuasaan negara Islam. Namun, penerapan hukum tersebut hanya dapat berjalan apabila ada institusi negara yang benar-benar menerapkan syariat Islam secara kafah, yakni Khil4f4h Islam. [CM/Na]