CemerlangMedia.Com — Setiap lima tahun sekali, Indonesia menggelar pesta demokrasi untuk memilih para wakil rakyat dan pemimpin negeri ini. Pascapilpres, persiapan hajatan politik kembali terdengar, yakni kontestasi pilkada. Pemerintah mulai berbenah untuk mempersiapkan pesta demokrasi di wilayahnya masing-masing yang akan berlangsung serentak pada akhir 2024.
Bahkan, banyak dari kalangan selebritis tanah air menyalonkan diri menjadi wakil rakyat. Dari Depok, Jawa Barat, koalisi PKS dan Golkar sepakat mengusung Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi A. Rafiq sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok di Pilkada Depok 2024 (12-5-2024).
Fenomena artis yang masuk menjadi anggota dewan bukan baru-baru ini saja terjadi. Sudah lama para artis ini digadang-gadang menjadi anggota dan dicalonkan oleh parpol yang ada. Meski kemampuan mengemban kepemimpinan politik atas rakyat sejatinya dipertanyakan.
Tidak dimungkiri, setiap pemilu, suara rakyat lagi-lagi diburu. Berbagai cara dilakukan para calon wakil bupati dan walikota untuk meraih suara agar bisa menduduki jabatan di pemerintahan dan meraih kekuasan tentunya.
Pada akhirnya, rakyat menjadi korban janji-janji manis kontestasi di panggung pemilu yang jelas bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan pribadi dan para oligarki. Tidak sedikit dari mereka yang menjabat sebagai anggota dewan haus akan kekuasaan sehingga menggadaikan rasa kemanusiaan.
Ya, menjadi anggota dewan berpotensi mendapatkan materi lebih banyak dan mudah, tanpa harus bekerja keras. Keserakahan dan nafsu duniawi yang tidak ada habisnya sehingga tidak lagi memandang halal dan haram.
Realitasnya, suara rakyat tidak lebih dari formalitas pelaksanaan pemilu. Hasil akhir terpilihnya calon sering kali diwarnai isu manipulasi. Lantas, apalagi yang kita harapkan dari sistem ini?
Berharap kepada calon wakil rakyat yang ingin mengubah keadaan menjadi lebih baik sepertinya tidak akan mungkin terjadi apabila sistem yang diterapkan masih sekuler kapitalisme. Sebab, pada kenyataannya, orang saleh pun apabila masuk ke dalam sistem ini akan menjadi salah.
Islam memandang bahwasanya sebuah jabatan adalah amanah yang harus diemban oleh para wakil rakyat, bukan untuk kebanggaan atau asas manfaat. Sebagai contoh pada masa Khalifah Abu Bakar as-Shidiq menjadi pemimpin kaum muslimin pada masa negara Islam berdiri.
Ketika beliau wafat, kemudian diganti oleh Umar bin Khatab, Umar menangis karena takut tidak bisa menjalankan amanah seorang pemimpin. Umar menyadari bahwa di pundaknya ada tanggung jawab besar terhadap rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Kalian semuanya pemimpin (pemelihara) dan pada dasarnya setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggung jawaban di sisi Allah tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari).
Sungguh jauh berbeda dengan sistem yang ada saat ini. Orang-orang berebut untuk menduduki kursi jabatan menjadi wakil rakyat, tanpa mempertimbangkan nasib rakyat dan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Kebanyakan, yang ada dalam pikiran mereka hanya ada kekuasaan untuk meraih materi. Sungguh ironi, para pemimpin yang jauh dari sistem Islam tidak memahami akan hakikatnya sebagai seorang wakil rakyat.
Pada masa kepemimpinan Islam, pemimpin wilayah atau yang dikenal dengan sebutan wali (bupati, gubernur) akan diangkat dan diberhentikan oleh khalifah. Para wali adalah orang yang memiliki kelayakan, ilmu, ketakwaan, kemampuan, serta kecakapan untuk memegang urusan pemerintahan. Dengan demikian, wakil rakyat yang amanah, cakap, dan bertanggung jawab hanya bisa direalisasikan dalam sistem Islam, bukan sistem kapitalisme. Wallahu a’lam bisshawwab.
Reni Sumarni [CM/NA]