CemerlangMedia.Com — Pada 2024 ini, sebanyak 3 juta beras impor akan membanjiri Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo bahwa pemerintah akan mengimpor 1 juta ton beras dari India dan 2 juta ton dari Thailand. Hal ini dilakukan untuk mengamankan cadangan strategis ketahanan pangan di Indonesia yang belum memenuhi rata-rata konsumsi 2,5 juta ton per bulan. Sebab, dari hasil laporan Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata produksi beras Indonesia hanya mencapai 0,9 juta ton pada Januari dan 1,4 juta ton pada Februari ini (8-1-2024).
Miris, Indonesia sebagai negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, bahkan turut dipandang sebagai penjaga ketahanan pangan negeri, tetapi tak mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Apalah arti sematan negara agraris, jika beras masih harus impor. Swasembada pangan terasa amat jauh dari angan.
Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, pembangunan besar-besaran atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk infrastruktur dan investasi menyebabkan banyak lahan pertanian beralih fungsi. Banyak petani kehilangan lahannya dan mengubah profesi mereka demi mempertahankan kesejahteraan. Sementara itu, realitas pembangunan PSN tersebut sarat akan konflik kepentingan bisnis dan politik bagi oligarki dan bukan untuk rakyat.
Lahan pertanian pun berubah menjadi jalan tol, industri-industri, jalur kereta cepat, dan proyek-proyek lain yang akhirnya mempersempit basis sektor pertanian. Panen beras pun akhirnya menurun dan tidak mencukupi jumlah swasembada beras bagi rakyat. Tak ayal lagi, negara pun akhirnya mengimpor beras sebagai pilihan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat karena jumlah penduduk Indonesia yang makin meningkat.
Padahal solusi ini sebenarnya hanyalah solusi pragmatis dan tidaklah mendasar. Bahkan di sisi lain membawa kekhawatiran tersendiri bagi petani beras karena harga hasil panen akan turun dan mendapat kerugian. Memang, harga hasil panen yang tinggi bukanlah satu-satunya jaminan petani untung. Sebab, pada faktanya, kenaikan harga beras juga diiringi dengan kenaikan biaya produksi. Maka, secara otomatis keuntungan yang didapat petani pun relatif kecil.
Lengkap sudah apa yang dialami petani Indonesia saat ini, lahan pertanian menjadi kritis, impor beras pun akan dirasakan miris. Bagaimana bisa swasembada pangan bisa diwujudkan bila negara sendiri enggan untuk melakukannya. Sangat kentara sekali bagaimana sistem ekonomi kapitalisme yang diemban negara saat ini lebih mengedepankan keuntungan dan investasi dari pada mengangkat perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, tidak dengan Islam. Islam menjadikan negara sebagai penanggung jawab penyedia kebutuhan pangan bagi rakyat. Jaminan ketahanan pangan adalah kewajiban yang mesti dijalankan negara demi menjaga jiwa (hifz an-nafs) dan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Negara dan pemerintahan dalam Islam bertujuan untuk menerapkan aturan-aturan Islam dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
Oleh karenanya, negara akan mencari berbagai cara untuk mewujudkan kedaulatan pangan bagi rakyat. Terlebih lagi di Indonesia yang kaya akan tanah subur dan siap ditanami oleh berbagai tanaman tropis, termasuk padi. Dengan pengaturan yang tepat dan sistem yang tepat, maka akan menghasilkan panen yang berlimpah ruah.
Apalagi kesuksesan sektor pertanian suatu negara dapat diukur salah satunya dari keberhasilan swasembada pangan bagi rakyatnya. Bahkan hingga bisa mengekspor dengan surplus yang lebih tinggi dari nilai swasembada pangan dalam negeri adalah indikasi kesuksekan besar bagi suatu negara. Inilah cita-cita sebuah negara dalam Islam, yakni mewujudkan sebuah negara adidaya yang maju dalam berbagai sektor dan memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.
Nilma Fitri, S. Si.
Bekasi [CM/NA]