Membebaskan Palestina: Peran Orang Tua dalam Menyiapkan Generasi Pejuang

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Narasumber: K.H. Hafidz Abdurrahman, M.A.

CemerlangMedia.Com — Kondisi umat Islam sebelum lahirnya Shalahuddin Al-Ayyubi sangat memprihatinkan, di antaranya adalah terjadinya konflik antar mazhab, kekacauan pemikiran, terbelahnya kekuatan politik antara Syiah dan Sunni, bathiniyah, dll.. Bukan hanya itu, dampak kerusakan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dll. membuat umat Islam tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi serangan tentara salib dan serangan tatar.

Pada masa ini ada beberapa tokoh yang berhasil mencetak generasi Shalahuddin Al-Ayyubi, seperti Imam Al-Ghazali. Hal ini tampak dari Madrasah Al-Ghazali dalam tajdid dan ishlah. Imam Al-Ghazali melihat banyak kerusakan di tengah-tengah umat, seperti rusaknya misi ulama, lahirnya sikap beragama yang bersifat artifisial, jauh dari problematika umat dan sibuk dengan penyakit sekunder, fanatisme mazhab dan menyembunyikan kekuatan ilmu, rusaknya persatuan umat dan menguatnya konflik mazhab, serta lahirnya sikap beragama yang dangkal. Bukan hanya itu saja, Imam Al-Ghazali juga melakukan ishlah terhadap kelompok-kelompok agama, di antaranya kelompok ulama, kelompok ahli ibadah, kelompok sufi, kelompok orang berduit, dll..

Medan ishlah yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali terhadap madrasahnya adalah mewujudkan generasi baru yang berbeda dengan generasi lama, merumuskan kurikulum dan pendidikan baru untuk melahirkan generasi baru, menghidupkan kembali misi amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah umat, mengkritik penguasa zalim, memerangi paham materialism, hedoisme, dan paham negatif yang menyesatkan, menyerukan keadilan di tengah-tengah umat, memerangi gerakan dan sekte pemikiran yang sesat dan menyimpang.

Di dalam Kitab Bidayatul Hidayah Imam Al-Ghazali menjelaskan bagaimanan pentingnya mengkritik penguasa zalim. “Seseorang yang dianugerahi ilmu, tetapi condong kepada dunia, bahkan menjual agamanya untuk mendapatkan dunia, maka dia adalah ulama su’.”

Prinsip dasar Imam Al-Ghazali dalam melakukan ishlah:
Pertama, adanya umat Islam dimuka bumi adalah untuk mengemban risalah. Ketika umat tidak mengemban risalah keluar, maka dunia akan dipenuhi kekacauan dan fitnah. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya: 107).

Sebagaimana dikutip dari penjelasan Qadhi Iyadh dalam Kitab Assyifa bi Ta’rif Huquq al Mustafa, “Bagi orang mukmin rahmatan lil alamin adalah rahmat, bagi orang munafik pengampunan, bagi orang kafir mendapatkan penangguhan.”

Mufasir yang lain menjelaskan makna rahmatan lil alamin terkait syariat yang dibawa oleh Baginda Rasulullah saw., yakni bagaimana kemaslahatan diwujudkan dan kemaksiatan dicegah.

Kedua, mencari dan menemukan sebab (penyakit) yang menyebabkan umat tidak mengemban risalahnya dan berdiam diri.

Ketiga, setelah menemukan penyakit, maka Imam Al-Ghazali merumuskan obat dan solusinya. Hal ini sebagaimana ditulis dalam Kitab Bidayatul Hidayah, Kitab Ihya Ulumuddin, dsb. Sebagai penawar untuk penyakit umat pada waktu itu dan masih dipakai hingga hari ini.

Langkah-langkah Imam Al-Ghazali dalam membangun ishlah, yakni membangun akidah Islam (ideologi) yang benar, melatih jiwa dan tekad sehingga membentuk kepribadian yang kuat dan tahan banting, mengkaji fikih dan ilmunya yang meliputi semua hukum dan sistem kehidupan yang dibutuhkan, hikmah dan menyiapkan diri untuk melaksanakan wadhifah (tugas/amalan).

Langkah Imam Al-Ghazali dalam menghidupkan amar makruf nahi mungkar, yakni dimulai dari diri sendiri sehingga menjadi teladan, mengajari keluarga, mengajak tetangga dan teman, mengajak peduduk setempat, mengajak penduduk di wilayah negara, mengajak seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, jika orang tua menginginkan anak pejuang, maka orang tua harus pula menjadi seorang pejuang. Sebagaimana pepatah Arab, “Anak singa itu akan lahir dari ibu singa.” Ketika anak tidak memiliki teladan di rumah, maka apa yang ia dapatkan di luar tidak akan bisa difilter sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang rusak. Untuk itu orang tua harus menjadi contoh dalam adab, berperilaku yang sopan, dan menjadi pemimpin yang mengendalikan. Hal ini akan menjadi cerminan sebuah keluarga dan akan membentuk kepribadian anak.

Madrasah Imam Al-Ghazali dilanjutkan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang mengikuti mazhab Imam Hambali dan berhasil mencetak generasi-generasi Shalahuddin Al-Ayyubi. Di antara pemikiran mendasar Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, yakni tauhid, meluruskan pemahaman qada dan qadar, meluruskan pemahaman tentang iman, meluruskan pemahaman tentang ulil amri, amar makruf dan nahi mungkar, kedudukan dunia dan akhirat, kenabian dan para nabi, posisi zuhud di dalam Islam.

Syaikh Qadir Al-Jailani menjelaskan, “Semua peristiwa baik dan buruk yang terjadi di muka bumi berjalan sesuai qadar Allah, tetapi orang mukmin diperintah untuk bisa menangkal qadar yang buruk yang sudah Allah tetapkan dengan qadar yang baik.”

Dengar arti kata, umat haruslah mengkonversi qadar yang buruk ke qadar yang baik. Misalnya, menghapus kebodohan dengan menggali kemampuan dan ikhtiar, mengubah maksiat menjadi ketaatan, jihad untuk menghapus penjajahan, kesulitan rezeki dengan bekerja sehingga mampu membangkitkan keterpurukan umat. “Seorang kesatria adalah mereka yang mampu melawan qadar yang buruk dengan ikhtiar bukan menyerah dengan keadaan.”

Generasi hebat pembebas Al-Aqsa, yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh hebat, di antaranya:
Pertama, Shalahuddin al-Ayyubi seorang pejuang Islam yang lahir dari seorang ayah Najmuddin Ayyub. Shalahuddin al-Ayyubi belajar fikih mazhab Syafii, mengambil hadis dari Abu Thahir as-Salafi, kitab at-Tanbih, al-Hamasah.

Kedua, Al-Qadhi Abdurrahim bin Ali adalah wazir, sekretaris sekaligus penasihat Shalahuddin al-Ayyubi.

Ketiga, Ibnu Qudamah sebagai penasihat, salah satu kitabnya adalah al-Mughni, murid Syaikh Qadir Al-Jailani.

Lantas apa peran orang tua menyiapkan generasi?
Pertama, menyiapkan diri menjadi orang tua pejuang sehingga anak-anak yang lahir adalah generasi pejuang sebagaimana Shalahuddin al-Ayyubi yang lahir dari ayah pejuang.

Kedua, menyiapkan anak menjadi generasi pejuang, yakni dengan memberikan nama terbaik, menanamkan akidah Islam yang kuat, membentuk syahsiah, akhlak, dan adab sejak dini, membiasakan anak dalam suasana ilmu, melatih dan membiasakan peduli terhadap umat dan agama.

Ketiga, memilihkan teman, sekolah, dan guru terbaik. Shalahuddin adalah generasi terbaik, produk dari madrasah Imam al-Ghazali dan Syaikh Qadir al-Jailana. “Tidak mungkin akan lahir generasi hebat kalau tidak lahir dari lingkungan, teman, dan guru-guru hebat.”

Resume oleh: Ummu Hasan Mahmud Al-Fatih Kelas IV Ma’had Syaraful Haramain. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *