Oleh: Irsad Syamsul Ainun
(Creative Design CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Mencintai adalah salah satu fitrah yang tak bisa dihilangkan dalam belenggu kehidupan manusia. Ilmu biologi selalu bersenandung terkait pentingnya perkembangbiakan agar makhluk hidup tetap ada di muka bumi dan tak mengalami kepunahan. Jika tumbuhan dapat berkembang biak dengan beberapa cara yang alami seperti biji, tunas, umbi, serta buatan yang tak lain adalah cara steak dan cangkok, manusia pun tak kalah lebih rumitnya.
Jika sesama hewan saja harus dikembangbiakkan dengan cara yang baik agar mendapatkan keturunan yang unggul, pun dengan manusia sebagai makhluk sempurna.
Betapa Maha Agung-Nya Allah yang telah membuat dua insan saling bertatap dan menemukan rasa kasihnya. Terikat dalam satu mahligai yang dinamakan rumah tangga. Untuk mencapai predikat rumah dan tangga tentu banyak hal yang harus dilewati. Bukan sekadar naik tangga lalu lompat ke dalam rumah.
Pernikahan sejatinya menjadi jembatan yang akan dilalui untuk menyempurnakan separuh agama kedua belah pihak. Pun mengenai pertemuan sebelum pernikahan. Ada rambu yang harus ditaati dengan tujuan menggapai rida Illahi. Jika pernikahan di antara ‘kau dan aku’ yang akan menjadi kita hanya sebatas memuaskan hawa nafsu, apa pula bedanya dengan hewan?
Namun, pernikahan ini dibangun atas tujuan untuk menua dan hidup se-surga bersama. Jika dunia tempat kita menjalin rasa, maka surga akhirat adalah muaranya. Maka izinkan hidup ini terus dilewati dengan selalu bermuamalah dalam bingkai ketaatan pada-Mu. Melewati setiap zonasi kehidupan dengan tetap berpegang teguh kepada hukum-Mu. Ini memang bukan hal yang mudah, sebab hadiahnya adalah surga. Jika semudah menekan token listrik, maka hadiah yang didapatkan adalah voucher.
Untuk memasuki gerbang pernikahan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dijalankan. Sebab, pertemuan dua sejoli yang akan mengawali amanah ini tidak hanya akan bersama di dunia yang notabene sebagai kehidupan yang fana. Maka perlu kiranya memulai dengan tetap pada kehidupan yang memuliakan manusia.
Lihatlah betapa banyak berita dan kabar tetangga yang dengan suka rela memberikan atau pun melecehkan kaum wanita dengan berbagai alasan. Ada juga iming-iming kebebasan berekspresi dengan asas HAM. Baik wanita dan laki-laki tidak lagi menjadi agama sebagai pengontrol dalam berperilaku. Agama hanya berlaku ketika melakukan ibadah ruhiyah. Jika kembali pada rutinitas dunia, kebanyakan manusia berlepas tangan daripada agama. Inilah yang disebut sekularisme.
Agama digantung di tiang-tiang masjid, jika salat telah berlalu, maka hukum alam dan hukum buatan manusia dijadikan landasan untuk berbuat. Walaupun secara agama telah menjelaskan bahwa tak ada sedikitpun perkara yang dilakukan oleh seorang hamba tanpa pertanggungjawaban di yaumul akhir kelak. Lantas, apa usaha yang telah diperbuat oleh seorang hamba untuk mencapai puncak bahagia yang hakiki, jika landasannya berbuat hanya sekadar kepuasan materi?
Pun dalam hal pernikahan. Menjalaninya tidak hanya diawali dengan ijab dan qabul. Bahkan kebanyakan dari anak muda hari ini stay cation sebelum ada ikrar yang membuat Arsy-Nya bergetar. Apakah hukum-hukum buatan manusia mampu menjadikan pertemuan dua hamba ini untuk terlepas daripada pertanggungjawaban di hadapan Rabb-Nya?
Perlu diketahui bahwa satu-satunya hal yang diharamkan dan berubah status menjadi halal dilakukan hanyalah jalur pernikahan. Coba bayangkan keberadaan khamr, meskipun dibeli dengan uang halal tetap saja haram. Kemudian harta riba meski diperoleh dengan cara menabung, jika akadnya melalui riba, tetap saja riba.
Beda halnya hubungan dua sejoli, yang tadinya haram, ketika melewati fase pernikahan, maka semua menjadi halal. Bukan sekadar label halal malah, ada nilai plus-plusnya, yakni apa-apa yang dijalani dengan harapan mendapatkan rida-Nya, maka semua aktivitas dalam lingkup pernikahan menjadi wasilah penggugur dosa seorang hamba.
Wanita jika menjadi istri yang qanaah, tidak perlu berjihad di medan perang, maka ia sudah mendapatkan surga. Ganjaran kebaikan inilah yang selalu menjadi tujuan akhir dari pernikahan. Menikah bukan soal bagaimana bersama lalu seribu angan bahagia akan tercapai bersama pasangan. Sebab, untuk menggapai akhir surga hanyalah mampu dilewati oleh mereka yang sabar dalam melewati badai.
Jika tujuan pernikahan hanya sebatas angan-angan dunia, maka siapkanlah diri untuk lebih banyak berdarah tanpa luka. Namun, jika tujuan pernikahan ini adalah untuk menggapai rida Illahi, sungguh nikmat surga telah menantikanmu wahai insan yang siap ke jenjang pernikahan.
So, sebelum melangkah lebih jauh, pastikan tujuanmu menikah bukan sekadar lepas masa lajang, popularitas, apalagi memimpikan pernikahan layaknya ‘Pernikahan Cinderella’, sebab yang akan dijalani memang bukan pernikahan Cinderella, tetapi pernikahan agung untuk menjalankan visi misi dalam bingkai ketaatan. Taat syariat, muliakan diri dengan tuntunan-Nya.
Wallahu a’lam bisshawwab