Oleh: Meta Nisfia Falah, S.Ak.
CemerlangMedia.Com — Pindah dari Bogor ke Kebumen, Jawa Tengah adalah langkah besar bagi keluarga Fia. Ayah, ibu, adik, dan Fia meninggalkan kehidupan yang sudah mereka kenal di kota untuk mencari harapan baru di tanah Jawa.
Bagi Fia, perjalanan ini adalah pengalaman pertama yang tidak akan pernah ia lupakan—menaiki kereta. Berbeda dengan kendaraan umum lainnya yang sering membuatnya mual, kereta adalah sahabat baru yang membuatnya merasa nyaman, seolah dunia baru terbentang di depan matanya.
Pada 2004, Fia memulai babak baru dalam hidupnya dengan mendaftar sekolah. Namun, ada sedikit masalah saat ayah mencoba mendaftarkannya. Usianya belum genap enam tahun, sedangkan aturan sekolah kala itu cukup ketat. Fia akhirnya didaftarkan sebagai murid “titipan” yang artinya ia tidak langsung terdaftar sebagai murid resmi.
Fia dengan polosnya mengeluh kepada Ayah, “Ayah, tadi Fia tidak difoto seperti teman-teman lainnya. Rambut Fia cuma disisir saja oleh bu guru.” Fia tidak tahu bahwa ini adalah bagian dari prosedur untuk pembuatan rapor dan ia hanya bisa menunggu dengan sabar.
Dua bulan berlalu, pelajaran sudah dimulai dan Fia pun sudah siap menerima rapor pertamanya. Namun, di balik kebahagiaannya, ada kekhawatiran besar. Ayah takut kalau teman-temannya naik kelas, Fia akan tetap terjebak di kelas 1 SD hanya karena usianya yang belum mencukupi.
Ayah pun tidak tinggal diam. Ia menemui kepala sekolah dan memohon agar Fia tidak dianggap murid titipan lagi. “Nilai Fia selalu baik, Bu. tolong pertimbangkan lagi,” kata ayah dengan penuh harap. Setelah melalui pertimbangan yang matang, akhirnya keputusan itu dibuat. Fia resmi diterima sebagai murid di SDN 04 Sidoagung dan babak baru dalam perjalanan pendidikannya dimulai.
Waktu berlalu dan Fia mulai menunjukkan kemajuan. Pada akhir semester pertama, ketika hasil ujian diumumkan, Fia dengan bangga berlari menghampiri ayah, “Ayahhh, Fia ranking 9!” Suara kegembiraannya terdengar jelas di ruang tamu.
Ayah tersenyum lebar, memeluknya erat, dan menjawab dengan penuh bangga. “Alhamdulillah, hebat anak ayah.” Meski Fia hanya mendapat peringkat 9 dari 30 siswa, tetapi dia merasa sangat senang.
Bahkan, ia merasa lebih bahagia daripada teman sekelasnya, Ria, yang mendapat ranking 2. Bukan karena Fia merasa lebih hebat dari Ria, tetapi karena Fia merasa dirinya tidak dibebani oleh tekanan. Ayahnya tidak pernah menuntutnya untuk selalu juara, yang penting Fia belajar dengan hati yang bahagia.
Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Fia menghadapi kesulitan saat pelajaran matematika, terutama dalam berhitung. Fia tidak memiliki sempoa dan Fia merasa kesulitan. “Ayah, Fia tidak bisa berhitung karena jari Fia hanya ada 20,” keluh Fia suatu sore setelah pulang sekolah, matanya tampak kecewa. Ayah hanya tersenyum mendengar keluhannya, tetapi hatinya tergerak.
Esok harinya Fia terkejut ketika membuka tas sekolahnya. Di dalamnya tergeletak sebuah sempoa yang sangat berbeda dari milik teman-temannya. Bukan sempoa dengan biji-biji kecil seperti yang biasa ia lihat, tetapi sempoa dari kayu polos, tumpul, dan lebih besar diameter batangnya. Terdapat sekitar 100 batang kayu yang tersusun rapi, mirip lidi, tetapi lebih besar.
Dengan telaten, ayah mengukir dan membentuknya dengan tangan sendiri, berharap bisa membantu Fia memahami matematika dengan cara yang lebih sederhana dan menyenangkan. Fia sangat senang. Ia langsung membawa sempoa kayu itu ke sekolah dan memamerkannya kepada teman-temannya. “Lihat, ini sempoa baru Fia!” katanya dengan bangga.
Teman-temannya terkesan dengan sempoa yang unik itu dan Fia merasa lebih percaya diri. Kini berhitung tidak lagi menjadi beban, melainkan sebuah tantangan yang menyenangkan. Setiap angka yang dihitung dengan sempoa kayu itu seakan menghubungkan Fia lebih dekat dengan ayah yang selalu berusaha membuatnya merasa dihargai dan dicintai tanpa tekanan.
Dengan sempoa kayu sederhana itu Fia belajar bahwa setiap masalah bisa diselesaikan dengan cara yang berbeda. Tidak harus selalu mengikuti cara orang lain. Dengan dukungan dan cinta dari ayah, Fia merasa yakin bisa menghadapi tantangan apa pun yang datang dalam perjalanan belajarnya.
Semester berikutnya Fia kembali membawa kabar yang membanggakan. Kali ini ia berhasil meraih ranking 4 dan yang lebih menggembirakan lagi, nilai matematika menjadi nilai tertingginya. Fia sangat senang—ranking 9 saja sudah membuatnya bangga, apalagi ranking 4.
Ia tidak sabar ingin memberitahu ayah. Namun, saat itu ayah pulang terlambat karena sedang sibuk panen. Dengan penuh antusias, Fia menunggu ayah pulang sambil memegang rapor merah dengan gemetar di tangannya. Tidak lama kemudian terdengar suara sepeda ayah dari kejauhan.
“Kring, kring!”
Fia langsung melompat dari tempat duduknya dan berlari keluar, sambil berteriak, “Ayahhh, Fia ranking 4!”
Ayah yang baru saja turun dari sepeda langsung tersenyum bangga. “Alhamdulillah, hebat anak Ayah!” jawabnya memeluk Fia dengan penuh kebanggaan. Fia pun dengan ceria menjawab, “Iya dong, berkat sempoa dari Ayah, nilai matematika Fia tinggi!”
Namun, ayah hanya tersenyum bijak dan berkata, “Ini semua berkat usaha Fia sendiri, sempoa hanya membantu memudahkan Fia. Yang penting, Fia belajar dengan hati yang senang.”
Hari-hari bahagia itu terasa makin lengkap ketika libur lebaran tiba. Fia dan keluarganya bersepeda bersama ke Pantai Petanahan, sekitar 17 km dari rumah mereka. Ibu membonceng adik, sementara ayah dengan penuh semangat membonceng Fia.
Saat itulah, untuk pertama kalinya Fia melihat laut. Ia begitu terpesona dengan birunya air dan deburan ombak yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Laut yang pertama kali ia lihat bersama keluarga tercinta menjadi destinasi wisata favoritnya sejak itu.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Jumat setelah satu pekan lebaran, ayah jatuh sakit. Fia merasa khawatir. Ayah yang biasanya kuat dan penuh semangat, kini terbaring lemas di tempat tidur.
“Ayah, cepat sembuh, ya,” kata Fia dengan suara lembut, berharap ayah segera bangkit seperti biasa. Namun, ayah hanya tersenyum lemah dan menjawab, “Iya, Fia. Maafkan Ayah, sabar ya.”
Sabtu dini hari, sekitar pukul 02.00 WIB, Fia terbangun mendengar suara ibu menangis. Banyak kerabat yang datang ke rumah, tetapi saat itu Fia belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi.
Pagi menjelang, Fia akhirnya menyadari bahwa ayah telah pergi untuk selamanya. “Ayah meninggal, Bu?” tanya Fia dengan suara gemetar tanpa air mata yang jatuh. Fia merasa bingung karena tidak ada tangis, tidak ada isak. Hanya hampa yang memenuhi hatinya.
Setelah pemakaman selesai, ketika semua tamu sudah pulang, barulah Fia merasakan kekosongan yang sangat dalam. Rumah yang dahulunya terasa hangat dan penuh tawa, kini terasa sepi. Ibu yang biasanya tersenyum cerah, kini tampak berbeda dan yang paling Fia rasakan, tidak ada lagi sosok ayah di rumah itu. Hatinya mulai dipenuhi rasa kehilangan dan ia baru sadar bahwa selama ini ia belum sepenuhnya menerima kepergian ayah.
“Kenapa aku nggak sadar kalau Ayah akan pergi selama-lamanya? Kenapa waktu itu aku tidak menangis?” pikir Fia dalam hati penuh penyesalan. Ia merasa bersalah karena tidak merasakan kepergian ayah seperti yang seharusnya.
Namun, kehidupan harus terus berjalan. Setelah liburan lebaran selesai, Fia kembali ke sekolah. Ia duduk di bangku kelas 2.
Saat rapor diumumkan, Fia kembali meraih prestasi yang luar biasa—ranking 1! Fia dengan penuh kebahagiaan berlari pulang dan berteriak ke arah foto ayah di dinding, “Ayah, Fia ranking 1! Terima kasih, Ayah!”
Meski kebahagiaan itu datang, keadaan memaksa Fia dan ibu untuk pindah ke kota, mencari kehidupan baru. Fia harus berpisah dengan kenangan indah di Kebumen, menyongsong harapan baru yang menanti.
Kini, dua puluh tahun setelah kepergian ayah, Fia belajar untuk menerima kenyataan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan yang penuh liku. Ia mulai memahami bahwa meskipun ayah tidak lagi ada di dunia ini, kenangan indah bersama ayah adalah warisan tidak ternilai yang akan terus hidup di dalam dirinya.
Setiap kali Fia merasakan kebahagiaan sederhana, seperti angin laut yang menyapa wajahnya atau sepeda yang membawa kenangan masa kecil seperti sebuah film yang diputar ulang di dalam benaknya. Fia tahu, itu adalah cara Allah mengingatkannya tentang ayah bahwa cinta dan kasih sayang yang diberikan ayah akan selalu ada. Cinta yang tulus dan penuh pengorbanan yang tidak hanya tercermin dalam kata-kata, tetapi juga dalam setiap tindakan kecil yang selalu menginspirasi Fia.
Meskipun fisik ayah sudah tiada, semangat dan ajaran-ajaran ayah terus mengalir dalam dirinya. Ayah mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak hanya terletak pada prestasi atau pencapaian, tetapi pada usaha yang dilakukan dengan hati yang ikhlas. Ayah juga mengajarkan pentingnya bersyukur, meskipun waktu yang diberikan terbatas.
Dengan hati yang lebih dewasa dan penuh rasa syukur, Fia akhirnya menyadari bahwa segala yang terjadi, baik suka maupun duka adalah bagian dari perjalanan hidup yang telah ditentukan oleh Allah. Setiap kenangan, meskipun terkadang terasa pahit mengajarkan Fia untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih sabar, dan lebih bersyukur atas segala nikmat yang ada.
Di suatu senja yang tenang, ketika Fia duduk di pantai menatap cakrawala yang jauh, ia merenung, mungkin ayah tidak lagi ada dalam bentuk yang nyata, tetapi cinta ayah tetap mengalir dalam setiap langkah hidup Fia. Saat itu Fia tersenyum penuh ketenangan dan merasa tidak ada yang perlu disesali karena apa pun yang terjadi dalam hidupnya, ayah selalu ada dalam hatinya dan itu cukup untuk memberinya kekuatan menghadapi hari-hari ke depan.
“Terima kasih, Ayah,” bisik Fia dalam hati, kau selalu ada di setiap langkahku.” Fia melanjutkan hidupnya dengan penuh rasa syukur diiringi kenangan yang akan selalu menghangatkan hatinya, selamanya. [CM/]