Oleh: Homsah Artatiah
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Mutiara termenung di pojok kamarnya. Kamar saat dia masih gadis. Meskipun sudah ditinggalkan lebih dari 17 tahun, ternyata kamar itu tak banyak berubah. Interiornya tetap sama, hanya posisinya yang berbeda. Kebetulan hari ini dia sedang berkunjung ke rumah orang tuanya.
Ada senyum indah terukir di wajahnya. Lamat-lamat dia perhatikan tetesan air dari plafon sisa hujan sore tadi. Setiap ada hujan, rasanya seperti memutar kaset lama, mengingatkan saat masih kuliah di Bogor dan saat taaruf pertama kali dengan lelaki yang menjadi imamnya kini.
“Mutiara…” Sayup-sayup terdengar namanya dipanggil berbarengan dengan suara ketukan pintu.
“Iya, Ayah, sebentar, ya…” Mutiara bergegas sambil mengucek mata. Saat itu tepat pukul 3.00 WIB. Mutiara memang sudah terbiasa melakukan Qiamulail. Menjelang tidur, Mutiara biasanya meminta tolong kepada ayahnya supaya dibangunkan, khawatir dia terlalu pulas.
Udara di Bandung saat dahulu memang sangat sejuk. Sangat mendukung untuk terus rebahan digulung selimut. Untunglah ayah dan anak ini selalu kompak saling mengingatkan. Mereka sudah terbiasa menerjang pekatnya malam, dinginnya air wudu dan berbagai godaan lainnya. Mereka tetap melaksanakan Qiamulail.
“Bagaimana hasil tes CPNS minggu lalu?” tanya sang Ayah.
“Sebentar.” Jawab Mutiara sambil bergegas menghidupkan komputer. Mutiara membuka situs resmi CPNS LIPI. Ada perasaan cemas melanda. Takut mengecewakan kedua orang tua.
Mutiara mengetik id peserta tes di kotak nomor lamaran. Setelah memasukkan password, ternyata belum ada informasi terbaru tentang pengumuman tes CPNS yang lolos seleksi. “Ternyata belum ada pengumumannya,” gumam Mutiara.
Tiba-tiba terdengar suara telepon dari ruang keluarga. Mutiara bergegas menerima panggilan tersebut. Ternyata telepon dari sahabatnya yang bernama Melisa. Melisa menanyakan keputusan Mutiara tentang suatu hal.
“Assalamualaikum, Mutiara, apa kabarnya? Aku mau nanyain keputusanmu tentang tawaranku tempo hari. Serius, lo, lelaki asal Malang itu pengen taaruf sama kamu. Dia bekerja sambil kuliah pascasarjana. Dia anak tunggal. Kriteria calon istri yang dia inginkan menurutku ada padamu. Jadi, buruan, ya, kutunggu jawaban darimu secepatnya,” ucap Melisa dari sambungan telepon.
Mutiara tampak galau, saat ini dia dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan fokus mencari kerja atau berumah tangga?
Di usianya yang ke-23 memang sudah pas untuk merencanakan berkeluarga. Taaruf kemudian khitbah merupakan salah satu proses yang biasa dilalui saat seseorang yang akan membina biduk rumah tangga.
“Kasih aku waktu seminggu lagi ya, Mel. Aku harus salat Istikharah dulu. Terus terang, aku masih bingung karena ada proposal lain yang masuk. Tak hanya darimu, teman kakakku menawarkan kenalannya padaku.”
“Cie…cie… yang banyak tawarannya.” Ejek Melisa sambil tertawa renyah sekali.
Keesokan hari, Mutiara kembali mengecek pengumuman CPNS. Ternyata tidak ada namanya di sana. Sedikit kecewa karena dia sudah melalui serangkaian proses yang lumayan panjang. Dia sudah berhasil menyingkirkan ribuan orang kandidat.
Alih-alih berlarut dalam kekecewaan, Mutiara sadar, mungkin justru itu yang terbaik untuk dirinya, apalagi posisi dia sebagai seorang wanita. Aturan syarak tidak mewajibkan wanita bekerja mencari nafkah. Alhamdulillah kedua orang tua Mutiara mengerti.
“Assalamualaikum. Saya Abdullah Iman, biasa dipanggil Iman. Domisili di kota hujan, bermaksud melakukan taaruf dengan Anda. Jika Anda bersedia, saya akan menghubungi Anda pada waktu yang Anda berikan. Mohon tanggapannya.” Tiba-tiba ada nomor tak dikenal menghubungi Mutiara.
“Siapa ya? Formal banget deh, bahasanya. Perasaan, aku nggak kenal sama nomor ini,” ujar Mutiara.
Mutiara belum menyadari bahwa pria yang menghubunginya itu adalah pria yang tempo hari diceritakan kakaknya.
Mutiara tak langsung membalas pesan dari Iman. Sebagai seorang muslimah yang menjaga marwah, dia tahu, tidak boleh asal-asalan chating dengan lawan jenis, apalagi itu orang asing yang tidak dikenal.
Ketika Mutiara sedang bingung memikirkan pesan yang masuk, tiba-tiba kakaknya menghubungi. “Muti, udah ada SMS yang masuk nanyain kesediaan taaruf? Sorry, Kakak lupa ngasih tahu sebelumnya.”
“Eh, iya, Kak, baru saja dia menghubungiku. Namanya Iman, ya?”
“Betul, Muti. Namanya Abdullah Iman. Dia orangnya saleh. Kakak tahu dari teman. Dia seorang pengemban dakwah yang istikamah, sayang keluarga, dan murah hati. Iman minta izin ke Kakak buat menghubungimu. Seandainya tidak diizinkan, dia nggak akan menghubungimu. Kamu pikirkan matang-matang. Jangan lupa selalu komunikasi dengan Allah ya, Muti.”
Mutiara mengikuti saran dari kakaknya. Hampir setiap malam dalam seminggu ini dia terus melakukan salat istikharah meminta petunjuk yang terbaik untuk urusan dunia akhiratnya.
Dengan segala kerendahan hati, sepanjang malam dia bermunajat meminta petunjuk agar pilihannya tepat. Apakah memilih seseorang dari Malang atau memilih seseorang dari kota hujan?
Akhirnya Allah Swt. menjawab permohonan Mutiara. Dengan mengucap basmalah, hatinya mantap untuk menentukan pilihan. Pria asal kota hujan menjadi pilihannya dengan harapan itu merupakan pilihan yang tepat karena pernikahan bukan suatu permainan.
Pernikahan adalah ibadah seumur hidup. Ibadah proyek dunia akhirat untuk menyempurnakan separuh agama. Memilih imam yang tepat adalah proses penting saat akan membangun rumah tangga. Memilih berdasarkan kriteria agama adalah yang utama. Soal rupa, harta, dan tahta hanya pemanis dan sifatnya sementara.
Setelah mantap menentukan pilihan, Mutiara menyampaikan keputusannya kepada Melisa dan Iman. Mutiara memilih Iman sebagai pria yang akan bertaaruf dengannya.
“Assalamualaikum, Mel, alhamdulillah, aku sudah punya jawaban untuk pilihan tempo hari. Maaf ya, Mel, sepertinya aku nggak bisa melanjutkan taaruf dengan kenalanmu,” ungkap Mutiara.
“Waalaikumussalam. Baiklah, Muti, jika itu adalah keputusanmu. Aku nggak bisa memaksa. Lagian, kamu yang akan menjalani rumah tangga. Suka duka, asam manis kehidupan, ya, hanya kamu dan pasangan pilihanmu yang akan menjalaninya. Selamat atas pilihanmu ya, Muti, semoga itu yang terbaik,” pungkas Melisa.
Suatu hari, Iman datang memenuhi undangan Bapaknya Mutiara. Tepatnya untuk menjalankan tahap awal seleksi calon mantu.
Bapak mengutarakan banyak pertanyaan kepada Iman, mulai dari tujuan kedatangan, asal usul, hingga kesediaan menghadirkan orang tua Iman untuk berkunjung ke rumah Mutiara.
Alhamdulillah, langkah awal termasuk sukses. Walau Iman harus siap menghadapi kejutekan kakaknya Mutiara yang belum menikah.
Dari awal, Mutiara sudah menyampaikan kepada Iman bahwa tidak mudah menjalani proses khitbah dengannya. Ada hati yang harus dijaga. Mereka harus menjaga perasaan kakaknya Mutiara yang akan dilangkah.
Alhamdulillah, Mutiara dan Iman menjalani proses khitbah dengan restu kedua orang tua. Enam bulan berikutnya mereka resmi menikah. Tak terasa, sekarang sudah 17 tahun mereka berumah tangga. Mereka berdua selalu bersyukur atas nikmatnya Islam dan dakwah. Karena dari wasilah dakwah juga yang mempertemukan dan menyatukan mereka. Hidup bersama di dunia dan masuk surga sekeluarga menjadi visi keluarga kecil mereka. Semoga Allah meridai, aamiin. [CM/NA]