Wahai Ukhti, Jagalah Adab Sebelum Ilmu!

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Hanimatul Umah

CemerlangMedia.Com, STORTEL — Kesan pertama kenal Tia dan dekat dengannya, hati Umi Yani sangat gembira. Sebab, tidak semua orang mudah mendekatinya dalam urusan yang sifatnya serius, seperti mengajak mendatangi sebuah kajian.

Umi Yani seorang guru yang membina tiga muridnya. Salah satu namanya Setia, orang sering memanggilnya Tia. Tia merasa cocok dengan pembawaan kajian Umi Yani.

Tia belum memiliki rumah, ia mengontrak dengan berjualan sate usus yang dijajakan suaminya di sore hari. Paginya ia bekerja sebagai penjual air isi ulang milik majikannya dan sekaligus tinggal di rumah milik majikannya yang jauh dari lokasi itu. Sebagai istri dan ibu rumah tangga dengan anak semata wayang, juga ibu kandung yang tinggal bersama mereka, penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah anaknya yang duduk di bangku SMP kelas 3.

Tutur kata lembut sang guru membuat Tia lebih menyukainya dibanding isi materi itu sendiri. Ini bagi Umi Yani, justru sangat merisaukan hatinya karena apa yang disampaikan hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Suatu hari, Umi Yani mengisi kajian tentang syariat berpakaian bagi muslimah, yakni wajib menutupkan pakaian longgar dan khimar (kerudung) hingga mengulur sampai dada, sebagaimana dalil yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59. Banyak dialog dan argumen, bahkan tawar-menawar, seakan perintah Allah itu hanya bagi seorang ustazah.

Siang itu terik mulai menyengat badan Tia. Ia menengok keluar rumah sambil bergumam, “Amanlah aku berpakaian seadanya ini, tidak usahlah pakai kaus kaki segala, apalagi baju mihnah (pakaian yang dikenakan di dalam rumah).” Kemudian diambillah kunci motor di atas meja belajar anaknya, dengan sigap Tia melaju ke tukang sayur di gang belakang.

Tia hanya ingin membeli sawi dan cabai untuk tambahan dagangan seblaknya yang terlupa tadi pagi saat belanja di pasar. Sambil menyetir motor, Tia menengok ke kiri dan melaju mengejar tukang sayur yang baru saja teriak, “Sayuuur!”

Oleh karena menaiki motor pula, suara tukan sayur itu cukup jauh sehingga tidak terkejar. Pulanglah Tia dan balik ke arah jalan semula. Begitu lewat, ia kepergok Umi Zahra, teman satu kajian yang sudah senior.

Umi Zahra melirik anggota badan Tia yang sedang mengendarai motor scoopy putihnya. Sontak, merahlah muka Tia karena merasa berpakaian keluar rumah ala kadarnya alias hanya daster di atas mata kaki dan kerudung. Jelaslah terlihat auratnya. “Waduh, malunya diriku,” ucapnya dalam hati. Rasa gemetar tidak karuan bercampur jadi satu. Sebab, kajian Umi Zahra sama dengan guru Tia, yaitu Umi Yani.

Sudah menjadi kebiasaan umum dalam mengaji, mereka saling mengingatkan untuk taat syariat, maka kejadian itu tentu akan sampai kepada Umi Yani. Dengan segala cara, Umi Yani berusaha memahamkan Tia agar lebih baik dalam berpakaian syar’i, tetapi sering kali Tia main petak umpet. Namun, yang bikin hati Umi Yani kesal, kecewa, dan sedih karena niat taat Tia rupanya belum tulus dari hati dan belum ikhlas karena Allah.

Kajian per pekan terus berjalan sudah satu tahun lebih enam bulan. Materi akidah, qada dan qadar, juga nafsiyah Islam yang baru beberapa bab, setidaknya itu cukup sebagai fondasi dan standar dalam mengamalkan perbuatan. Umi Yani juga banyak menyisipkan tentang politik Islam dan menjelaskan bagaimana seorang muslim yang seharusnya tidak mengambil jalan lain, selain Islam.

Sudah menjadi rutinitas tiap malam Selasa, Umi Yani mengumumkan di grup WhatsApp-nya, “Assalamualaikum akhwatifillah, insyaallah, besok kita lanjutkan kembali ya, kajian kita. Semoga Allah memudahkan urusan kita, aamiin.” Respons anggota grup bersahutan. Tidak seperti biasanya, Tia hanya membaca saja.

Keesokan harinya, pukul 09.00 pagi dimulailah kajian yang hanya dihadiri dua murid karena yang satunya lagi ada keperluan mengurus paspor keberangkatan umroh. Mulailah materi, sang guru (Umi Yani) menjelaskan panjang lebar materi iman yang ke-6. Namun, sikap menyakitkan Tia dirasakan oleh Umi Yani dari raut wajah yang masam dan posisi duduk Tia yang tidak menghadap ke gurunya membuat Umi Yani harus memanjangkan usus alias bersabar.

Umi Yani meminta muridnya untuk membuka kitab masing-masing. Tia menolak ketika disuruh membaca kitabnya dan melemparkan ke Bu Sri dengan alasan sedang batuk. Umi Yani berusaha mengelola emosinya sambil berkata dalam hati, “Gimana ini attitude Tia? Bukankah sebelumnya juga sudah disampaikan tentang adab sebelum ilmu dan amal?”

Kemudian berlanjut ke materi hadis yang dibacakan oleh Bu Sri, “Barang siapa yang menjadikan Al-Qur’an di depannya, maka ia akan menuntunnya ke surga, tetapi siapa saja yang menjadikan Al-Qur’an di belakangnya, maka ia akan menggiringnya ke neraka.” (HR Muslim).

Penjelasan belum selesai, tetapi terpotong pertanyaan Tia yang sedang dilanda gundah hati. Tia menanyakan tentang pilkada. “Gimana Mbak, kalau kita tidak menggunakan hak kita, suara kita dipakai dan diisi oleh orang lain yang tidak sesuai dengan pilihan kita?”

Umi Yani menjawab, “Kita tuh, punya hak untuk memilih atau tidak memilih. Kita memilih ketika sistem dalam roda pemerintahan dijalankan sesuai hukum Allah. Ketika kita memilih pemimpin di sistem kapitalisme ini ternyata dalam menjabat terlibat korupsi, maka kita akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat, apalagi sudah menerima serangan fajar!”

Bu Sri menyahut perkataan Umi Yani, “Iya lo, kemarin beberapa warga di lingkungan kita sudah ada yang terima amplop, termasuk suami Tia. Yah, hari gini sih, kalau tidak kuat iman, money haram dan dosa, perkara yang tidak kelihatan, padahal riswah/suap jelas haram.” Tia hanya terdiam membisu.

Lebih membuat dada Umi Yani sesak adalah sesaat setelah kajian ditutup salam, Tia langsung pamit. “Kok, buru-buru, mau ke mana, nih? Ayo, makanlah dan minumlah jamuan yang ala kadarnya ini, Tia!”

Dengan nada ketus Tia menjawab sambil mengulurkan tangannya, “Langsung pulang aja. Pamit, mau ada urusan.” Umi Yani bertanya penasaran, “Urusan apa, Tia?” Tia pun menjawab dengan ketus, “Tidak perlu tahu urusan orang!”

Dada Umi Yani terasa perih mendengar ucapan muridnya. Ia hanya bisa menghela nafas yang terasa sesak seketika. Rasa sakit hilang seketika, Umi Yani ingat betapa lebih sakit Rasulullah Muhammad ketika dihina kaum kafir Quraisy. “Hmmm, ini tidak seberapa dibanding serangan fisik musuh Islam,” gumamnya saat pulang.

“Kling”
Suara WhatsApp Umi Yani berbunyi. Ia melihat pengirimnya adalah Tia.
[Mbak, aku merasa kalau kita makin jauh. Mbak merasa gak, sih?]

[Maksudnya apa, Tia? Aku dengan semua murid tidak pernah jauh. Jauh jarak, ya, tetapi di hati dekat semua. Kita pun sama, tidak ada di pikiranku jauh dari kamu]

[Jujur, Mbak, Tia iri sama Bu Sri, Bu Ari, dan tetangga Tia yang kalau mereka cerita dan curhat, itu ada solusinya, tetapi kalau ke Tia tidak ada solusi]

Deg, Umi Yani terbelalak membaca pesan Tia.

[Lo, saya kan cuma nunjukin ke Bu Sri, kalau mau beli motor ke temennya Bu Aminah yang tidak leasing! Kita kan sudah tahu, kalau transaksi riba itu haram]

[Tia kan minta solusi supaya rumah yang kamu tempati kebeli, juga bukan transaksi lewat bank. Itu sudah Umi beritahukan ke saudaranya yang kaya, ternyata tidak sanggup membeli dengan harga Rp250 juta cash. Solusi selanjutnya ya, kalau sudah laku rumah milik majikan Tia, harus cari kontrakan rumah lagi. Bukankah Allah Maha Luas dan Pemberi rezeki. Jadi, tidak perlu merasa iri dan marah ketika guru tidak bisa mencari solusi sesuai dengan yang diinginkan Tia]

Umi Yani menghela napas dalam-dalam saat berbalas pesan dengan Tia. Ia hanya bisa mendoakan sang murid agar diberikan kesabaran bagi rumah tangganya. Inikah cobaan yang sedang dialami seorang hamba yang berusaha hijrah?

Godaan transaksi riba menghantui juga di keluarga Bu Sri. Suaminya bersikeras ingin membeli motor ke leasing sebagai pengganti motor anak ke-2 yang sudah digadaikan anak pertama akibat jeratan judi online.

Umi Yani mencoba mengevaluasi diri dan banyak bertanya pada diri sendiri, kalau akidah kuat dan sudah banyak masuk materi dakwah, kemungkinan ada perubahan lebih baik pada diri Tia, bukan sebaliknya. Terkadang labil sebentar, lalu lurus, kemudian belok. Ternyata Umi Yani sudah menemukan jawaban, Tia masih terbawa lingkungan yang sekuler.

Ya, Tia masih berada dalam lingkungan yang belum hijrah total. Ia justru sering mendapat perundungan dari emak-emak satu grup ketika menyampaikan haramnya riba kepada ibu-ibu yang hanya nongkrong, rempong, dan makan-makan. Tia pun mengaku tidak bisa hidup tanpa mereka. Kayak yang ngasih kehidupan itu mereka, padahal Allah yang memberi kenikmatan dalam kehidupan ini.

[Sesungguhnya hidup ini ruwet dan buntu kalau tidak berjalan di atas rel ketakwaan. Diperlukan kesabaran yang tinggi agar mencapai predikat istikamah]. Begitu lanjutan WhatsApp antara Umi Yani dan Tia.

Hikmah dari semua peristiwa ini, Umi Yani sebagai guru harus melapangkan dadanya. Sebagai pengemban dakwah, Umi Yani harus memiliki sifat sabar tanpa batas, membina sahabat muslimah, menyayangi, dan mengingatkan mereka dalam kebenaran dan kesabaran. Hamasah, Umi Yani! [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *