Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Pendidikan tidak hanya proses mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi harus berorientasi pada nilai-nilai Islam dalam setiap mata pelajaran, baik sains maupun ilmu umum lainnya. Misalnya mata pelajaran sejarah, harus disampaikan dengan perspektif sejarah umat Islam dan perjuangannya dalam menegakkan syariat Allah.
CemerlangMedia.Com — Pasca dilantiknya pejabat pemerintahan baru, para pejabat tersebut bersiap untuk bekerja memenuhi tugas mereka. Tidak terkecuali menteri pendidikan yang kabarnya sedang menggodok kurikulum pendidikan baru.
Bukan rahasia lagi. Tatkala pergantian menteri pendidikan baru, sering kali diikuti dengan perubahan kurikulum. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi generasi muda, guru, bahkan orang tua. Kurikulum pendidikan yang seharusnya menjadi pedoman yang solid dan berkelanjutan, nyatanya tanpa arah jangka panjang yang jelas sehingga tujuan pendidikan terasa kabur.
Menanggapi pergantian kurikulum, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti sempat menyebutkan bahwa Kurikulum Deep Learning sebagai pengganti Kurikulum Merdeka Belajar. Namun, ia kemudian menjelaskan bahwa Deep Learning bukanlah kurikulum, melainkan pendekatan belajar untuk meningkatkan kapasitas siswa (Kompas.com, 11-11-2024).
Namun, apa pun istilahnya, pergantian kebijakan dalam sistem pendidikan nasional nyatanya tidak sedikitpun mengubah generasi muda ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, seiring perkembangan zaman dan teknologi, generasi muda terlihat makin rapuh. Apa cukup hanya mengganti kurikulum pendidikan untuk menciptakan generasi emas?
Ketidakjelasan Visi Misi Pendidikan
Pergantian kurikulum maupun kebijakan yang sering terjadi di dunia pendidikan seiring pergantian pimpinan tertingginya menggambarkan isu mendasar, yakni ketidakjelasan visi dan misi pendidikan nasional. Ketidakjelasan tersebut menunjukkan bahwa selama ini, pendidikan nasional tidak memiliki tujuan yang jelas.
Seharusnya, kurikulum membantu para siswa belajar dan berkembang dengan arah yang pasti. Namun nyatanya, seringnya pergantian kebijakan menyebabkan arah pendidikan menjadi tidak jelas dan sulit bagi sekolah untuk membuat budaya akademik yang kuat dan terarah.
Di samping itu, ketidakjelasan visi dan misi pendidikan berdampak pada sumber daya dan sarana prasarana. Bagaimana tidak, ketika kurikulum atau kebijakan sering berganti, pemerintah dan sekolah harus terus menyesuaikan fasilitas, buku pelajaran, dan pelatihan untuk guru yang tentunya membutuhkan waktu serta biaya yang besar. Alhasil, dana pendidikan cenderung hanya dihabiskan untuk menyesuaikan hal-hal teknis daripada fokus pada penguatan sarana pembelajaran yang benar-benar dibutuhkan.
Selain itu, ketidakjelasan visi dan misi pendidikan ini menyebabkan kebingungan pada guru dan siswa sehingga dapat mengganggu proses pembelajaran dan dapat mengurangi efektifitas pendidikan. Guru dan siswa yang sudah beradaptasi pada suatu metode pembelajaran tertentu harus belajar kembali dengan metode baru setiap ada pergantian kurikulum.
Sering kali, bergantinya kebijakan pada sistem pendidikan saat ini kurang melibatkan para ahli pendidikan, guru, dan orang tua. Banyak kebijakan pendidikan yang hanya mementingkan visi pemerintah saat ini. Sementara kurikulum yang efektif adalah yang mempertimbangkan kondisi nyata di sekolah dan para siswa, bukan hanya visi dari pemerintah, sebab pemerintah sering kali gagal merumuskan permasalahan pendidikan.
Dari sini terlihat jelas bahwa pendidikan nasional tidak memiliki tujuan dan arah yang pasti, padahal jika pendidikan ingin berhasil, dibutuhkan visi yang jelas dan konsisten. Mungkin saja perubahan diperlukan, tetapi perlu perencanaan matang agar tidak membingungkan peserta didik, guru, dan orang tua siswa.
Kegagalan Kapitalisme Sekularisme
Pergantian kurikulum pendidikan yang sering terjadi tidak lepas dari sistem hidup yang diemban oleh negara ini, yakni kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu, termasuk pendidikan dipandang sebagai produk atau barang dagangan. Pendidikan tidak lagi tentang pembentukan karakter dan kemampuan siswa, melainkan lebih fokus pada bagaimana produk pendidikan ini menghasilkan keuntungan atau memberikan nilai ekonomi.
Hal ini terlihat dari orientasi kurikulum yang sering berubah-ubah untuk mengikuti tren pasar atau kebutuhan industri tanpa memedulikan kebutuhan nyata siswa. Dengan demikian, kurikulum menjadi alat yang selalu disesuaikan dengan apa yang dianggap laku atau sesuai dengan kebutuhan pasar, bukan berdasarkan pada kebutuhan jangka panjang siswa.
Di samping itu, sekularisme cenderung menganggap pendidikan sebagai sarana untuk mengejar pengetahuan dan keterampilan saja, sedangkan akhlak dan pembentukan moral dianggap tidak relevan dalam kurikulum formal. Akibatnya, kurikulum hanya berfokus pada pengetahuan dan keterampilan semata tanpa memedulikan pembentukan karakter.
Tanpa nilai moral yang kuat mengakibatkan seringnya pergantian kurikulum, sebab dianggap sebagai sesuatu yang terus bisa disesuaikan dengan kebutuhan praktis saja. Sementara pendidikan yang ideal tidak hanya berfokus pada pembekalan keterampilan siswa semata, tetapi juga harus membekali siswa dengan nilai moral untuk menjadi manusia yang baik.
Begitu pula pengaruh sekularisme ini, sering kali mengikuti kurikulum Barat yang dianggap lebih maju. Hal ini menjadikan pemerintah mencari-cari model pendidikan yang diambil dari luar yang sebenarnya belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Ketika dianggap model pembelajaran yang satu tidak sesuai, maka akan segera berganti dengan model yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa sekularisme membuat pendidikan nasional tidak mempunyai akar yang kuat, hanya sibuk mengejar modernisasi, dan mengikuti pola pendidikan negara lain.
Demikian pula, kapitalisme sekularisme cenderung fokus kepada pencapaian individu. Sistem ini membentuk seseorang bisa sukses dan unggul secara individu. Hal ini menjadikan kurikulum lebih difokuskan untuk mengejar keterampilan dan pengetahuan yang dianggap menguntungkan bagi seseorang di masa depan, bukan membentuk individu yang bisa memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat secara luas.
Kurikulum yang hanya fokus pada keterampilan individu ini sering kali berubah seiring perubahan tren. Demikian pula pada pendidikan yang terlalu berorientasi pada pencapaian pribadi, cenderung membuat kurikulum kerap berubah, sebab hanya bertujuan untuk menyiapkan siswa sukses secara ekonomi tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Demikianlah, kapitalisme sekularisme membuat pendidikan lebih fokus pada pencapaian individu dan aspek materi daripada membentuk karakter dan nilai hidup yang mulia (kuat). Dalam kapitalisme, kurikulum selalu disesuaikan dengan tren atau kebutuhan pasar, sedangkan dalam sekularisme, pendidikan dipisahkan dari moral dan agama yang seharusnya menjadi dasar untuk membentuk generasi yang lebih baik.
Kurikulum dalam Islam
Dalam Islam, pendidikan memiliki peranan penting untuk membangun generasi agar memahami dan mengimplementasikan Islam dalam kehidupan. Oleh karenanya, konsep pendidikan berlandaskan pada tujuan untuk membentuk kepribadian Islam, yakni mempunyai pola pikir Islam dan pola sikap Islam yang didasarkan pada akidah Islam.
Dengan tujuan yang jelas tersebut, maka kurikulum pendidikan pun tidak mudah berubah-ubah mengikuti tren atau kebutuhan pasar, sebab dapat mengganggu pembentukan karakter syahsiah islamiah siswa. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan haruslah konsisten dengan visi Islam yang kuat.
Dalam hal ini, pendidikan tidak hanya proses mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi harus berorientasi pada nilai-nilai Islam dalam setiap mata pelajaran, baik sains maupun ilmu umum lainnya. Misalnya mata pelajaran sejarah, harus disampaikan dengan perspektif sejarah umat Islam dan perjuangannya dalam menegakkan syariat Allah.
Demikian pula, kurikulum pendidikan dalam Islam harus konsisten dalam mengajarkan dan menanamkan akhlak dan adab yang baik dalam kehidupan. Ini berlandaskan hadis Rasulullah saw.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Imam Ahmad).
Dari hadis ini seharusnya dipahami bahwa makin tinggi seseorang mengenyam pendidikan, maka seharusnya makin tinggi pula akhlak dan adab yang dimilikinya.
Khatimah
Demikianlah konsep ideal kurikulum dalam Islam. Konsep yang menumbuhkan akidah Islam yang kukuh, menanamkan konsep-konsep Islam secara menyeluruh, serta mengarahkan siswa untuk menerapkan Islam sebagai jalan hidup. Kurikulum yang seperti ini tidak mudah untuk diubah-ubah, sebab sudah memiliki konsep yang sempurna untuk mengarahkan tujuan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah Swt..
Dengan demikian, hanya konsep kurikulum Islam yang dapat menyelesaikan polemik kurikulum pendidikan yang selalu berujung pada pergantian kurikulum baru yang menyebabkan kebingungan peserta didik, guru, dan sekolah. Namun, konsep pendidikan ini hanya ada ketika Islam diterapkan secara menyeluruh di setiap sendi kehidupan. Wallahu a’lam. [CM/NA]