Oleh: Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com, Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Sungguh sebuah ironi, di tengah karut marut persoalan hukum yang terus terjadi, hukum yang tak pernah bisa menjangkau para pemangku kekuasaan, tak pernah mampu memenjarakan koruptor-koruptor kelas kakap karena cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Mirisnya, hingga hari ini, hukum yang ada masih terus menunjukkan ketidakkonsistennya dalam proses penegakan hukum terutama bagi rakyat kecil yang notabene mereka adalah kaum lemah yang seharusnya dilindungi dan menjadi prioritas negara.
Seperti baru-baru ini beredar terkait isu overcrowded lapas, yakni hampir seratus persen total lapas mengalami over load. Untuk itu Tim Percepatan Reformasi Hukum Rifqi S Assegaf dalam konferensi persnya merekomendasikan kepada Presiden Jokowi agar memberi grasi massal terhadap narapidana pengguna narkoba. Menurutnya, langkah tersebut dinilai sebagai upaya mengatasi overcrowded lapas. (mediaindonesia.com, 16-9-2023).
Pada dasarnya, grasi adalah sebuah pemberian dari seorang presiden dalam bentuk pengampunan seperti berupa peringanan, perubahan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan bagi terpidana. Adanya usulan terkait grasi massal kepada narapidana penyalahgunaan narkoba, seolah membuktikan bahwa begitu banyaknya pelaku yang menjadi pengguna atau pengedar narkoba di Indonesia. Ini terjadi karena ketiadaan hukum dan aturan yang mengatur secara tegas terkait hukuman bagi para pembuat, pengedar, dan pemasok narkoba.
Hukuman Tak Menjerakan
Seperti kita ketahui bersama bahwa hukuman bagi para pembuat, pengedar, pemakai, dan pemasok narkoba yang ada saat ini belum begitu efektif bagi para pelaku. Malah cenderung ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Misalnya saja hukuman bagi seseorang yang menjadi kurir narkoba, hanya dihukum penjara empat sampai dengan dua belas tahun sesuai pasal 115 ayat (1). Sementara itu, jika sampai lebih dari satu kilogram atau lima batang ganja dan lebih dari lima gram untuk jenis ineks, sabu, putau, ekstasi, dan kokain, baru dihukum mati menurut pasal 115 ayat (2). Namun, lain lagi jika hanya pemakai, maka hanya dikenakan hukuman penjara satu sampai dengan empat tahun saja seperti tertuang dalam pasal 127 ayat 1.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia memang memiliki komitmen untuk melakukan berbagai upaya pencegahan, pemberantasan terhadap penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika secara multidimensional dan komprehensif dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Salah satu bentuk keseriusannya adalah dengan menetapkan narkotika sebagai suatu tindak pidana luar biasa. Sekalipun hingga hari ini segala bentuk upaya yang dilakukan belum membuahkan hasil yang maksimal. Faktanya, peredaran narkoba kian marak di tengah-tengah masyarakat, parahnya lagi kini menyasar para remaja yang notabene merupakan generasi penerus peradaban.
Masalah ini tentu masih menjadi PR besar bagi negara hingga saat ini dan harus segera dicarikan solusinya secara menyeluruh. Hal ini penting mengingat makin banyak remaja Indonesia yang masa depannya hancur akibat penyalahgunaan narkotika. Jika masalah ini terus dibiarkan tanpa solusi, tentu akan menimbulkan masalah lain yang lebih pelik dan rumit. Hal tersebut juga menjadi bukti konkret bahwa negara hingga saat ini tidak menjalankan dengan baik tugasnya dalam melindungi kepentingan rakyat. Maka menjadi wajar jika hampir di semua sektor timbul masalah baru dan terus-menerus. Ini merupakan akibat dari penyelesaian permasalahan yang tidak pernah kunjung selesai dan tidak pernah dituntaskan sampai ke akar-akarnya.
Lalu secara umum, apa sebenarnya alasan seseorang menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba? Jika ditelusuri secara mendalam tentu akan kita temui bermacam-macam dan berbeda-beda alasan seseorang memakai atau mengedarkan narkoba.
Indonesia Pangsa Pasar yang Menggiurkan
Seperti dilansir liputan6.com (12-4-2022) bahwa BNN memiliki versi sendiri terkait alasan seseorang menyalahgunakan narkoba. Pada 2021, BNN melalui pusat penelitian, data, dan informasi sempat bekerja sama dengan BRIN untuk melakukan survei secara nasional terkait penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Dan hasil laporannya, BNN menyebut bahwa alasan seseorang menggunakan narkoba cukup beragam seperti aspek personal, keluarga, dan lingkungan. Berikut sembilan alasan penyalahgunaan narkoba versi BNN, adanya anggota keluarga yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba, adanya konflik keluarga atau ketidakharmonisan hubungan, pengaruh atau bujukan dari teman, pemaksaan, rasa ingin mencoba, sekadar bersenang-senang, mengalami stres akibat beban pekerjaan atau pelajaran, ketersediaan (mudah diberikan), dan banyaknya penyalahgunaan narkoba di lingkungan tempat tinggal.
Bahkan budaya masyarakat yang konsumtif juga menjadi pemicu tingginya angka penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Seperti dikutip (bnn.go.id, 9-4-2019), menurut Drs. Mohamad Jupri selaku Deputi pemberdayaan masyarakat BNN, Indonesia menjadi pangsa pasar yang paling menggiurkan bagi bandar narkoba. Bagaimana tidak, harga sabu di Indonesia dibanderol dengan harga 1,5 juta rupiah per gram. Sedangkan di luar negeri, hanya berkisar antara 50—60 ribu rupiah per gram.
Narkoba Merusak dan Menghancurkan Generasi
Padahal sejatinya, mengonsumsi narkoba dapat merusak dan menghancurkan syaraf otak dikarenakan adanya zat adiktif yang menggerogoti. Parahnya lagi, hal tersebut bisa merusak keberadaan generasi penerus bangsa dan jika terus dibiarkan, maka akan berdampak pada hilangnya suatu generasi bangsa (lost generation) di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan tombak kemajuan suatu bangsa berada pada pundak para generasi muda.
Lebih lanjut, banyaknya kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi dan menyasar kalangan remaja tentu disebabkan oleh beberapa faktor pendukung seperti rasa penasaran dan ingin mencoba yang begitu tinggi atau adanya sebuah trend dan lingkungan pertemanan yang kurang kondusif. Padahal secara nyata, kaum remaja memang menjadi target utama dalam peredaran narkoba. Hal tersebut dikarenakan kondisi mental mereka yang belum stabil dan sangat rentan terhadap pengaruh buruk dari teman sebaya. Apalagi remaja yang sudah mengenal narkoba memiliki kemungkinan yang sangat besar menjadi pemakai jangka panjang. Mirisnya, upaya pencegahan dan pemberantasan yang dilakukan pemerintah cenderung lamban karena pemerintah melalui BNN hanya melakukan upaya mencanangkan program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (P4GN).
Sejatinya, narkoba adalah sebuah kejahatan yang sangat serius dan termasuk ke dalam kategori internasional crime. Akibat dari tindak kejahatan ini pun tidak main-main. Tak hanya meresahkan masyarakat, tetapi akan merusak generasi muda dan peradaban yang penuh dengan nilai moralitas. Maka sudah seharusnya terhadap narapidana narkoba diberikan hukuman yang seberat-beratnya sehingga akan muncul efek jera sekaligus memberi peringatan dan pelajaran kepada masyarakat lainnya agar tidak melakukan pelanggaran yang sama.
Dan seorang presiden yang notabene merupakan kepala negara juga kepala pemerintahan memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan nasib bangsa kedepannya. Seluruh kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan oleh seorang kepala negara akan memiliki dampak yang begitu luas terhadap maju atau mundurnya suatu bangsa dan negara. Dipastikan berbagai sektor akan terkena dampak buruk jika keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin negara tidak membawa efek maslahat bagi kehidupan rakyat. Salah satunya terkait grasi massal.
Grasi dan Kepemimpinan Menurut Kacamata Islam
Grasi atau pengampunan (syafaat) di dalam Islam adalah sebuah perilaku baik dan terpuji. Hal ini seperti tercantum dalam Al-Qur’an surah An-nisa ayat 85, ” Barang siapa memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) dari padanya. Dan barang siapa memberikan syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS An-Nisa: 85).
Ayat tersebut mengandung makna bahwa syafaat ada di dunia dan dapat diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang membutuhkannya. Maka dari itu secara umum Islam memandang bahwa memberikan syafaat berupa bantuan baik moril ataupun materiel sesuai kebutuhan orang yang memintanya pada dasarnya merupakan tindakan terpuji. Namun, walaupun demikian, tidak semua bisa digeneralisasi bahwa memberi pengampunan seperti grasi terhadap pelaku pidana adalah hal yang terpuji (di halalkan). Paslnya, ketentuan boleh atau tidaknya memberi pengampunan dalam tindak pidana tergantung pada pidana yang dilakukan.
Sementara narkoba sendiri di dalam Islam adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan, seperti yang sudah dijelaskan bahwa narkoba memiliki dampak yang sangat buruk bagi kehidupan penggunanya. Al-Qur’an sendiri menerangkan dalam surah Al-A’rof ayat 157 berbunyi, “Dan menghalalkan segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk.” (QS Al-A’rof: 157).
Bahkan Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Narkoba sama halnya dengan zat yang memabukkan dan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan setiap zat yang dapat menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walaupun tak memabukkan.”
Mengingat banyaknya kemudaratan yang ditimbulkan dari narkoba tersebut, maka sudah sepatutnya jika para pengedar, pemakai, dan pemasok narkoba dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Tentu saja hal ini merupakan tugas dari seorang pemimpin negara, memberikan hukuman setimpal bagi para pelaku tindak pidana, baik itu penyalahgunaan narkoba maupun tindak pidana lainnya sesuai aturan dan hukum yang berlaku di dalam Islam.
Nah sementara itu, seorang pemimpin menurut konteks Islam adalah orang yang patuh dan lurus (terhadap regulasi) juga tidak melakukan pengingkaran terhadap hal yang sudah disepakati bersama. Dalam hal ini berarti taat dan patuh kepada Al-Qur’an dan Sunah sebagai referensi yang utama dan paling relevan. Tak cukup hanya itu, seorang pemimpin juga harus mencintai dan menyayangi seluruh masyarakat yang dipimpinnya dan mampu bersikap adil, seperti termaktub dalam surah Shad ayat 26, “Wahai Daud, sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah (pemimpin atau penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu.” (QS Shad: 26).
Seorang pemimpin juga mampu membawa umat pada kebaikan dan keselamatan. Maksudnya adalah tidak menjerumuskan kedalam kesesatan melainkan membawa pada jalan keselamatan, yaitu jalan yang lurus yang Allah ridai secara bersama-sama. Maka tatkala seorang manusia memegang teguh amanah dan memegang kendali kepemimpinan pada skala kecil, ia harus tetap berpikir universal, tentunya demi kemaslahatan dunia. Dengan demikian, tentu tidak akan melakukan hal-hal yang bisa merusak alam dan tidak berseberangan pada kaidah kemaslahatan umat. Dan Rasulullah saw. adalah contoh ideal seorang pemimpin yang sudah memberikan suri teladan terhadap umat manusia di muka bumi ini. Maka sudah seharusnya setiap pemimpin yang ada saat ini mencontoh kepemimpinan ala Rasulullah saw. yang senantiasa amanah, jujur, bersikap adil, penyayang, tegas dan masih banyak lagi sifat lainnya. Wallahu a’lam bisshawwab.