Oleh: Suyatminingsih S.Sos.I.
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Anak-anak adalah generasi penerus peradaban kehidupan, mereka adalah bibit yang diharapkan agar bisa dan mampu menciptakan sebuah kehidupan yang berjalan selaras dan seimbang sesuai ketentuan yang haq. Dengan kata lain, mereka adalah generasi harapan bangsa untuk menerapkan dan menjalankan aturan kehidupan sesuai standart kualitas yang hakiki, yaitu sesuai hukum syarak sebagai wujud kehambaan kepada Allah Swt.. Mereka juga diharapkan menjadi tongkat estafet yang mumpuni dalam berbagai bidang kehidupan, baik sebagai makhluk sosial maupun individu.
Akan tetapi, apa jadinya jika mereka sebagai bibit harapan bangsa atau peradaban kehidupan ini tengah dikontaminasi oleh tindakan-tindakan negatif yang mampu merusak kualitas diri mereka, baik secara fisik maupun psikis? Apakah bisa mereka menjadi tongkat estafet kehidupan untuk menciptakan sebuah peradaban yang lebih baik, apabila mereka tumbuh dan berkembang dalam ketidakamanan serta ketidaknyamanan hidup? Akankah terwujud suatu peradaban sesuai harapan, jika mereka tidak cukup mendapat perlindungan serta perhatian yang lebih baik? Dan yang lebih penting dari itu, bisakah akan tercipta kualitas yang unggul dalam diri generasi tersebut?
Kehidupan saat ini, seolah menyuruh bahkan memaksa manusia untuk berusaha dengan keras tanpa mengindahkan cara bagaimana mereka bisa dan mampu mencukupi kebutuhan materi secara baik dan benar, halal, dan berkah. Tidak sedikit manusia justru memilih cara yang salah dan bathil, haram, dan tidak berkah, serta kerap merugikan manusia yang lainnya, hingga mereka mampu menzalimi sesamanya hanya demi menciptakan kehidupan yang nyaman dan tercukupi secara pribadi tanpa perlu memikirkan dampak buruk yang akan terjadi akibat tindakan mereka terhadap sesamanya.
Dewasa ini, kehidupan telah membelenggu generasi dalam kerap menjadi korban tindakan kejahatan, salah satunya adalah eksploitasi anak. Kasus eksploitasi bukan kasus baru dalam daftar tindak kejahatan, seiring waktu, bentuk eksploitasi terhadap anak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup masif. Tindakan oknum yang tidak bertanggung jawab tengah menoreh luka pada jiwa anak-anak bangsa ini. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa beberapa waktu lalu terjadi eksploitasi secara online di Medan dan Jakarta. Dua bentuk eksploitasi yang berbeda, tetapi dengan target yang sama, yaitu generasi bangsa yang notabenenya adalah bibit peradaban kehidupan. Dilansir dari harian republika, Polda Metro Jaya telah menangkap seorang mucikari pada kasus prostitusi online, korban dijanjikan akan mendapat upah dengan nominal yang cukup menggiurkan (republika.co.id, 24-9-2023).
Di sisi lain, ada pula yang dilakukan oleh pasangan suami istri di Medan. Mereka menggunakan panti asuhan sebagai tempat untuk melakukan aksi mereka, yakni mereka mengeksploitasi anak-anak di bawah umur bahkan ada yang masih berusia bayi dengan cara live di sosial media (TikTok) dengan tujuan menggali rupiah demi melayakkan kehidupan pribadinya (detik.com, 23-9-2023).
Eksploitasi, Potret Kelam Anak Indonesia
Menurut KBBI, eksploitasi adalah suatu tindakan pemanfaatan yang dilakukan untuk keuntungan pribadi, penghisapan, pemerasan terhadap orang lain, yang pada dasarnya merupakan suatu bentuk tindakan yang tidak terpuji dan tidak dibenarkan (www.gramedia.com/literasi/eksploitasi). Tindakan eksploitasi kerap dilakukan oleh orang lain karena masalah himpitan ekonomi rakyat, hal ini merupakan efek penerapan sistem ekonomi negara yang karut marut sehingga menimbulkan banyaknya tindakan kejahatan dalam kehidupan.
Tindakan eksploitasi seolah menjadi jalan pintas yang cukup menjanjikan bagi seseorang atau beberapa orang (kelompok) agar mudah mendapat uang dan mengangkat perekonomian pribadi. Lebih parahnya lagi, dominan korban yang menjadi target eksploitasi adalah anak-anak. Mengapa demikian? Sebab, anak-anak adalah objek yang mudah untuk dijadikan sebagai alat panen pundi-pundi rupiah, mereka adalah objek yang masih lemah, minim atau kurang pemahaman, mudah ditindas, apalagi jika orang tuanya atau keluarga mereka tidak cukup memberi perhatian yang layak pada anak-anak tersebut sehingga mereka mudah dibujuk atau dipengaruhi dengan berbagai cara, misal diberi iming-iming hadiah atau upah yang bisa mereka terima dengan nominal yang cukup membuat anak-anak tergiur.
Eksploitasi di Indonesia bukanlah kasus yang baru muncul dalam daftar tindak kejahatan terutama terhadap anak-anak. Menurut Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa terdapat kenaikan angka kasus eksploitasi anak sejak 2019 hingga 2022 dan jika dikategorikan lebih khusus bahwa eksploitasi yang kerap terjadi adalah eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual, yaitu anak-anak dipekerjakan dengan tujuan-tujuan tertentu hingga yang lebih ekstrem, yaitu mereka dijadikan pelacur (prostitusi). Tercatat dari 106 kasus menjadi 216 kasus di 2022 (rri.co.id, 28-7-2023). Dengan kata lain, anak-anak dieksploitasi tenaga mereka menjadi pekerja di pasar, misal tukang angkat barang, pengamen, bahkan menjadi pengemis, dan pemuas nafsu seksual.
Sebagaimana kasus yang mencuat beberapa waktu lalu, Polda Metro menangkap FEA (24 tahun) yang telah menjadi mucikari kasus prostitusi anak secara online dan dengan 2 korban yang masih remaja. FEA menemukan atau mengenal korban lewat jejaring sosial dan pada akhirnya korban menjadi alat penghasil cuan. Mereka dijadikan budak nafsu dengan tarif bayaran 1,5 juta hingga 8 juta per-jam, uang yang dihasilkan akan dibagi dengan mucikari, yakni mucikari mendapat bagian 50% dari transaksi yang telah dilakukan oleh “pelanggan”. Selain itu, pelaku mengaku bahwa dia telah melakukan tindakan eksploitasi pada 21 anak lainnya yang mayoritas masih duduk di bangku sekolah (republikanews.co.id, 24-9-2023). Fakta lain pun terungkap dari pengakuan para korban bahwa mereka berkenan bekerja sebagai pemuas nafsu karena terdorong untuk memenuhi kebutuhan hidup (memperbaiki ekonomi keluarga).
Dalam kasus lain yang tidak kalah miris, di Medan terdapat 2 panti asuhan yang secara hukum tidak terdaftar dalam dinas sosial atau illegal. Mereka tengah melakukan tindakan eksploitasi terhadap anak-anak usia SD dan SMP serta ada beberapa yang masih usia bayi. Kabarnya, ada 41 anak yang tengah dieksploitasi oleh pengurus atau pengelola panti asuhan tersebut. Pelaku menggunakan media online, yaitu Tiktok secara live sebagai sarana dalam melakukan aksinya. Pelaku menjadikan anak-anak sebagai objek untuk memancing rasa iba orang lain sehingga pada akhirnya orang lain bersedia memberikan gift (hadiah) sebagai bentuk dana bantuan (donasi). Dari donasi tersebut, pelaku bisa meraup rupiah hingga 50 juta per bulan, baik dari luar maupun dalam negeri. Akan tetapi, faktanya, semua donasi yang telah diterima tersebut justru digunakan untuk kepentingan pribadi si pelaku (detik.com, 23-9-2023).
Dan parahnya, dana yang diterima digunakan oleh pelaku untuk membeli sebidang tanah senilai Rp130 juta terletak di Deli Serdang (kompas.com, 24-9-2023). Selain itu, kedua panti asuhan tersebut diduga sebagai jejaring sebab misi atau modus mereka dalam melakukan tindakan mengeksploitasi anak-anak adalah sama. Di sisi lain, anak-anak tersebut masih mempunyai keluarga dan mereka berada di panti asuhan hanya dititipkan (bersifat sementara).
Dari dua fakta kasus di atas, bisa kita tarik benang merah bahwa permasalahan ekonomi menjadi dasar utama terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak dan sebab kurang perhatian dari orang tua atau keluarga serta tidak ada kepedulian masyarakat sekitar menjadi penambah aroma sedapnya tindakan eksploitasi terjadi. Ibarat lingkaran hitam tak berujung, seolah aturan yang berlaku di negara ini hanya terasa sebagai “sebuah” aturan tanpa ada nyawa atau kekuatan di dalamnya. Bagaimana tidak demikian, kasus demi kasus eksploitasi terhadap anak-anak kerap terjadi. Seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman menjadikan kasus eksploitasi menjadi banyak jenis dengan modus yang berbeda-beda. Hal demikian telah berhasil melukis sisi gelap yang tersimpan dalam jiwa generasi bangsa, yakni mereka yang seharusnya mendapat perlindungan dan ruang aman untuk tumbuh dan berkembang, justru mendapat pelajaran dan pengalaman hidup yang kelam. Apakah bisa terwujud kesejahteraan hidup apabila generasi bangsa mengalami hal demikian?
Akibat Naungan Kapitalisme Sekularisme
Indonesia adalah negara yang masih bertahan dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi, dengan kata lain bahwa Indonesia merupakan negara yang mengalami tingkat kemiskinan yang cukup masif. Kemiskinan di Indonesia menjadi persoalan yang krusial dan sangat membutuhkan solusi yang solutif dan tersistem. Akan tetapi, pada kenyataannya, segala solusi yang diterapkan oleh pemerintah hingga kini belum bahkan tidak benar-benar menjadi solusi yang solutif. Mengapa bisa demikian? Maka perlu kita ketahui bahwa permasalahan demi permasalahan yang terjadi di Indonesia notabenenya disebabkan karena hal yang sama, yaitu karena sistem yang diyakini, yakni sistem kapitalisme sekularisme.
Pemerintah tengah mencanangkan program penghapusan kemiskinan ekstrem, sebagaimana yang dilansir dari harian Republika bahwa Presiden Joko Widodo menargetkan untuk menghapus kemiskinan ekstrem 2024, yakni harus mencapai 0%. Hal ini telah dituangkan di dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 04 tahun 2022 tentang percepatan penghapusan kemiskinan esktrem. Dalam Inpres tersebut terdapat tiga strategi utama, yaitu pengurangan beban pengeluaran masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan (republikanews.co.id, 17-1-2023).
Apakah dengan program demikian, kemiskinan di Indonesia bisa teratasi atau bahkan bisa dihapus? Faktanya, rakyat Indonesia masih hidup dalam kondisi memprihatinkan dari berbagai aspek kehidupan dan kemiskiman di Indonesia merupakan keadaan kemiskinan yang tersistem. Target berasa hanya seperti target tanpa rencana atau tindakan yang all out terhadap upaya penanganan atau pengentasannya. Segala bentuk bantuan telah dilakukan oleh pemerintah seperti adanya beberapa program sosial guna mengurangi atau menanggulangi kemiskiman, katakanlah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), PKH, PIP, KIS, kartu Pra kerja. Namun, semua itu tidak tersebar secara merata sehingga pelaksanaan program masih jauh dari solutif. Apakah hal demikian yang baik dan benar untuk disebut sebagai solusi menanggulangi kemiskiman di Indonesia?
Selain program di atas, pemerintah juga mempunyai program ramah anak atau kota layak anak sebagai program untuk menciptakan dunia yang aman dan ramah untuk anak. Bahkan beberapa waktu lalu ada beberapa kota dan daerah mendapat penghargaam sebagai “Kota Layak Anak” (antaranews.com, 23-7-2023). Meski pada kenyataanya, tindakan kriminalitas atau kekerasan terhadap anak masih ikut mewarnai kehidupan anak-anak saat ini. Dengan demikian, berbagai program atau wacana pemerintah yang berusaha mewujudkan dunia nyaman dan aman untuk anak-anak seperti sesuatu yang bersifat utopis. Oleh karena faktanya, semua itu tidak benar-benar solutif sebagai upaya memberikan dunia yang nyaman, aman, dan bahagia untuk anak-anak Indonesia. Pasalnya, berbagai kasus yang menjadikan anak-anak sebagai korban tindak kejahatan masih terus terjadi dan bertambah setiap tahunnya.
Di lain sisi, hukum atau pasal-pasal berlapis yang kerap divoniskan kepada pelaku kejahatan atau tindak kriminal (eksploitasi) tidak memberi efek jera, bahkan ada istilah bahwa hukum di Indonesia bisa dibeli, semua tergantung pada kekuatan ekonomi masing-masing. Berbagai macam undang-undang yang diyakini di Indonesia seolah hanya sebuah tulisan tegas tanpa ada kekuatan dan aplikasi yang real.
Pola pandang kehidupan memengaruhi pola pikir dan pola sikap manusia dalam menjalani kehidupan, begitupun dalam suatu keluarga, masyarakat, bahkan bernegara. Kapitalisme telah berhasil melahirkan individu atau sekelompok manusia yang menyandarkan kepuasan dan tujuan hidup terletak pada hal yang bersifat materi atas dasar kebermanfaatan. Paradigma yang demikian menjadi makin parah di kala bersanding dengan sekularisme, yaitu melakukan segala tindakan atau menentukan pola sikap dan pola pikir tanpa standart halal dan haram, haq dan bathil. Dengan kata lain, sekularisme merupakan pola pandang kehidupan yang memisahkan aturan agama dengan kehidupan sehingga manusia berbuat sesuka hati yang penting kehidupan diri menjadi bahagia, nyaman dan aman, tanpa memedulikan akibat yang ditimbulkannya kelak.
Inilah realita kehidupan saat ini, realita hidup yang menjadi sebab terjadinya tindakan eksploitasi anak, yakni terdapat individu atau kelompok mempunyai pola pandang kehidupan yang bersandar pada materi semata sehingga kasus eksploitasi anak seolah menjadi salah satu cara memperoleh cuan untuk memenuhi keinginan dan kelayakan secara pribadi tanpa memedulikan standar aturan dalam agama dan tidak peduli pada dampak yang bisa timbul karena tindakan tersebut. Selain itu, ketika pihak-pihak yang seharusnya memberi perlindungan dan kenyamanan terhadap anak tidak menjalankan tugas atau fungsinya dengan baik, maka anak-anak pun pada akhirnya rentan menjadi korban eksploitasi. Oleh karena itu, perlunya membangun atau menumbuhkan serta menegakkan perlindungan terhadap anak tidak hanya sekadar membentuk berbagai macam program pemerintah karena pada dasarnya solusi dalam menjalankan kehidupan dunia ini cukup mengganti sistem yang diemban oleh negara tersebut.
Mekanisme Islam terhadap Anak
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya anak adalah generasi penerus, generasi yang memegang tongkat estafet sebuah peradaban kehidupan. Maka dengan demikian anak-anak harus menjadi generasi yang unggul, tidak rapuh dan selalu menyandarkan diri dengan keimanan kepada Allah Swt..
Ada beberapa mekanisme dalam Islam sebagai bentuk upaya melindungi serta meriayah generasi Islam, antara lain:
Pertama, sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam sehingga output pendidikan melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir (‘aqliyah) dan pila sikap (nafsiyah) Islam sehingga mampu mencegah lahirnya generasi atau individu yang melakukan pekerjaan haram.
Kedua, sistem ekonomi Islam, yaitu pemenuhan kebutuhan primer menjadi tanggung jawab negara dan bersifat wajib dipenuhi oleh negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misal menjamin hak-hak anak sejak mereka masih dalam kandungan hingga dewasa (memperoleh ASI, pengasuhan, memperoleh nafkah berupa makanan bergizi, pakaian dan tempat tinggal layak, hak pendidikan, kesehatan, dan keamanan), termasuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki karena mereka mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan nafkah keluarga, sedangkan untuk perempuan mempunyai kewajiban sebagai pengatur rumah dan melaksanakan fungsi sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya.
Ketiga, sistem sanksi, yaitu sebagai upaya kuratif untuk memberi efek jera pada pelaku tindak kejahatan pada anak. Sanksi tersebut bisa berupa penjara, ancaman, diasingkan, cambuk, atau hingga hukuman mati. Semua dilakukan sesuai kadar kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.
Keempat, Islam memerintahkan agar setiap individu atau masyarakat melakukan amar makruf nahi mungkar, yaitu mengerjakan kebaikan dan melawan kejahatan.
Kelima, Islam mengurusi anak-anak terlantar sehingga mereka mendapat kehidupan yang layak.
Keenam, Islam akan mengatur operasional media massa dan media sosial sehingga tidak ada tindak kejahatan yang terjadi seperti saat ini. Pemerintah akan membentuk komisi dalam penanggulangan cyber dengan intens sehingga bisa dan mampu mengungkap kejahatan sedini mungkin.
Ketujuh, menerapkan syariat melindungi nyawa anak. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-An’Am: 151
قُلْ تَعَا لَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَ لَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْئًـــا وَّبِا لْوَا لِدَيْنِ اِحْسَا نًا ۚ وَلَا تَقْتُلُوْۤا اَوْلَا دَكُمْ مِّنْ اِمْلَا قٍ ۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِ يَّاهُمْ ۚ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَا حِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِا لْحَـقِّ ۗ ذٰ لِكُمْ وَصّٰٮكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.” (QS Al-An’am: 151).
Begitulah Islam menjelaskan terkait mekanisme dalam mengupayakan perlindungan terhadap anak-anak dari tindak kejahatan, termasuk eksploitasi karena pada dasarnya, Islam bukanlah agama yang hanya mengatur urusan ibadah mahdah saja. Akan tetapi, juga terkait pengaturan terhadap ibadah ghairu mahdah. Mekanisme Islam telah dilaksanakan dan terbukti keefektifan serta terbukti mampu menciptakan suatu kehidupan yang seimbang selama 13 abad lamanya dan terbentang sampai 2/3 dunia. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]