Oleh: Nashila Mumtazah
CemerlangMedia.Com — Pilpres 2024 makin memanas. Jutaan pasang mata menyaksikan perhelatan kompetisi kekuasaan dan telah menjadi buah bibir publik, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Desas-desus capres-cawapres makin merah menyala, hal ini ditandai dengan menggeliatnya parpol-parpol dan massa pendukungnya yang saling menggaungkan keunggulan kandidat pilihannya di berbagai platform.
Di tengah panas-panasnya nuansa pesta politik, Menteri Agama Yaqut Cholil memperingatkan masyarakat agar jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. “Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat. Artinya, umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok,” ujarnya. (Republika.com, 04-09-2023).
Paradigma Demokrasi
Pernyataan yang sekaligus berupa seruan dari Menteri Agama RI ini merupakan pernyataan yang keliru bahkan berpotensi menyesatkan umat. Bagaimana tidak, agama dikatakan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Seolah-olah agama Islam merupakan bagian dari taktik ampuh dalam memuluskan tujuan politik.
Sudah menjadi rahasia umum dalam demokrasi bahwa politik identitas itu ada, yang menjadikan agama sebagai topeng-topeng untuk meraih jabatan. Misal tiba-tiba bersorban, berkerudung, alim, sowan kepada para ulama-ulama. Jelas bahwa hal demikian itu sebuah kesalahan dan tidak bisa dimaklumi.
Hal itu tidak bisa dibenarkan karena menunjukkan sikap sentimental terhadap Islam dan politik. Memframing negatif Islam dengan pandangan yang jahat, seolah-olah jika Islam berkecimpung dalam perpolitikan akan membawa bencana dan problem yang dapat memecah belah persatuan umat. Padahal justru yang berbahaya ketika Islam dijauhkan dari perpolitikan.
Sejatinya, pangkal persoalannya bukanlah Islam, melainkan penerapan ideologi kapitalisme berakidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Mulai dari perekrutan pemimpin yang keliru yang seringkali berujung pada sesuatu yang fatal, seperti biaya pencalonan yang mahal sehingga calon pemimpin harus berkoalisi dengan korporat asing dan aseng yang berujung pada hubungan bisnis kekuasaan serta peluang korupsi lebih besar.
Dari mekanisme perekrutan pemimpin seperti itu, apa yang bisa diharapkan oleh rakyat? Terbukti eksekutif dan legislatif sering kali melahirkan kebijakan yang diskriminatif dan tidak pro rakyat. Seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, rencana pembangunan IKN, kereta cepat Jakarta-Bandung, atau misalnya rencana pencabutan Pertalite untuk diganti Pertamax Green yang justru lebih mahal.
Menurut ekonom senior, Raden Pardede, ia memperkirakan dana belanja politisi sampai Pemilu nanti akan mencapai Rp200 triliun. Ia juga memastikan hal ini selalu terjadi saat tahun politik. Tentu dalam pesta politik demokrasi tidak akan ada istilah makan siang gratis. Semua tentang cuan untuk mengisi kantong-kantong kapitalis.
Paradigma Islam
Sesungguhnya penyebab satu dari sekian kerusakan yang muncul hari ini merupakan dampak dari penerapan ideologi yang salah. Dan ini sangat berbeda dengan Islam. Islam merupakan agama yang diridai oleh Allah, di dalamnya terdapat cakupan aturan hidup. Ketika menjalankan kehidupan dipasangkan dengan aturan agama termasuk dalam perpolitikan, maka output-nya dapat memberikan rasa aman dan nyaman, baik dalam sekup individu maupun bernegara. Hal ini terbukti pada masa kejayaannya, yakni kala Islam menjadi sistem kehidupan, semua kasta dan kalangan merasakan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Islam memandang bahwa agama dan negara adalah dua entitas yang sama-sama berfungsi bagi kehidupan manusia. Politik merupakan bagian dari ajaran Islam dan politik merupakan bagian dari mengurusi urusan umat, seperti yang diungkapkan oleh Imam al Ghazali, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah fondasi dan kekuasaan atau negara adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berfondasi niscaya akan runtuh dan segalah sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap.”
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]