Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Pembangunan dalam Islam tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar keuntungan duniawi. Konsep Islam sangat relevan untuk diterapkan dalam menghadapi tantangan modern, seperti polusi, perubahan iklim, dan deforestasi. Penerapan Islam secara menyeluruh memastikan adanya mekanisme yang jelas dalam pembangunan yang menjaga keseimbangan antara ekploitasi alam dan keberlanjutannya.
CemerlangMedia.Com — Bencana demi bencana kerap melanda negeri ini. Hal ini seolah menjadi alarm keras dari alam agar kita terjaga untuk merenung dan muhasabah bersama. Bencana bukan sekadar fenomena alam, tetapi cerminan ulah manusia yang acap kali abai terhadap terhadap keseimbangan ekosistem alam.
Adanya banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan kerap terjadi tanpa jeda yang berarti. Ini adalah momentum untuk evaluasi diri agar hidup selaras dengan alam. Mengubah pola pikir dan mengambil langkah nyata, sebab semua ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi juga bagaimana mewariskan dunia yang lebih baik bagi generasi yang akan datang.
Bencana yang akhir-akhir menyita perhatian publik salah satunya adalah banjir dan tanah longsor di Sukabumi. Banjir bandang yang terjadi di Sukabumi dipastikan karena pendangkalan sungai. Lebih jauh, Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Diana Kusumastuti menemukan adanya hutan gundul tepat di atas tanah longsor di jalan Pelabuhan Ratu. Oleh sebab itu, tanah longsor diduga karena adanya akumulasi hutan gundul dan intensitas hujan yang tinggi (Jawapos.com, 7-12-2024).
Demikianlah, bencana alam seolah enggan pergi dari negeri ini. Mitigasi bencana seolah tidak berpengaruh apa-apa, sebab korban bencana selalu berjatuhan. Tidak hanya kerugian materi, mental korban bencana pun tidak kalah hancur.
Sistem Hidup Rusak dan Merusak
Bencana alam yang berujung pada bencana bukan hanya masalah fenomena alam, melainkan juga ideologi. Kapitalisme menciptakan paradigma pembangunan yang serakah. Sumber daya alam dipandang sebagai suatu komoditas. Air, minyak bumi, barang tambang dianggap sebagai sebuah aset yang bisa diperjualbelikan tanpa batas.
Lebih jauh, keberhasilan suatu negara ataupun perusahaan dipandang atau diukur dari pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, kapitalisme mendorong perusahaan untuk mengejar keuntungan yang sering kali dilakukan dengan ekploitasi alam besar-besaran, misalnya penambangan yang dapat merusak lingkungan, ekosistem lokal, serta mencemari sungai dan tanah.
Selain itu, negara pengemban kapitalisme, dalam upaya menarik investor sering kali melonggarkan aturan lingkungan. Hal ini membuka peluang eksploitasi tidak terkendali. Kapitalisme global juga mendorong ekploitasi tanpa batas. Negara berkembang seperti Indonesia sering kali menjadi bancakan perusahaan internasional untuk dikeruk sumber daya alamnya tanpa mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang.
Di sisi lain, sekularisme sebagai konsep kehidupan saat ini memandang alam sebagai objek semata. Tidak ada kesadaran akan tanggung jawab manusia bahwa alam adalah amanah dari Allah Swt..
Etika lingkungan menjadi minus, sebab dalam masyarakat sekuler, keputusan terkait eksploitasi alam hanya disandarkan pada kalkulasi ekonomi, bukan pada nilai-nilai moral dan agama. Hal ini karena sekularisme memisahkan agama dengan urusan publik, termasuk pengelolaan sumber daya alam.
Sekularisme mempunyai pandangan bahwa manusia ditempatkan sebagai pusat segala sesuatu. Pandangan ini menganggap keberadaan alam sebagai pelayan manusia yang mengarah pada over eksploitasi alam. Penebangan hutan, pembukaan lahan, industrialisasi senantiasa terus-menerus dilakukan tanpa mempertimbangkan hak alam untuk beristirahat atau pulih.
Manusia kehilangan penghargaan terhadap alam, sebab sekularisme. Hal ini menyebabkan pandangan bahwa kerusakan alam adalah hal yang biasa.
Selain itu, liberalisme menjunjung tinggi hal milik pribadi, termasuk kepemilikan tanah dan sumber daya alam. Konsep ini membuka lebar privatisasi sumber daya alam, seperti air dan hutan menjadi milik segelintir orang. Terlihat saat ini, privatisasi sumber mata air oleh perusahaan minuman mengakibatkan kerugian bagi warga sekitar.
Dengan demikian, sistem kapitalisme-sekularisme-liberalisme menciptakan kondisi bencana alam menjadi lebih sering terjadi dan dampaknya lebih parah, misalnya banjir dan longsor, krisis air bersih, bahkan terjadi perubahan iklim. Untuk keluar dari krisis ini diperlukan sistem alternatif yang berdasarkan pada nilai agama, keadaan sosial dan sistem yang mendorong manusia untuk bertanggung jawab.
Sistem Islam Menyelamatkan
Dalam Islam, manusia adalah khalifah di muka bumi yang bertugas menjaga keseimbangan alam. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS Al Baqarah [2]: 30).
Berkaitan dengan hal ini, pembangunan yang tidak merusak alam adalah konsep yang terintegrasi dengan pandangan akidah Islam, syariat, dan tujuan utama manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebab, Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablum minallah), hubungan manusia dengan manusia lainnya (hablum minannas), dan hubungan manusia dengan alam.
Adapun aturan Islam yang mengatur manusia dengan alam, di antaranya manusia diberi amanah untuk mengelola bumi dengan bijak tanpa merusak tatanan yang telah Allah ciptakan. Dalam Islam, pembangunan tidak hanya bertujuan dalam aspek materi. Namun, yang tidak kalah penting adalah pembangunan dalam aspek moral, sosial, dan lingkungan.
Selain itu, Al-Qur’an berulang kali mengingatkan agar manusia tidak membuat kerusakan. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al ‘Araf: 56).
Kerusakan alam, seperti deforestasi, pencemaran lingkungan, dan over eksploitasi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah ini. Lebih jauh, Islam memerintahkan pemanfaatan sumber daya secara optimal dan tidak berlebihan.
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al Araf: 31).
Islam sangat menekankan antara keseimbangan kebutuhan manusia dengan kelestarian alam, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menanam tumbuhan, lalu ada yang memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa tindakan manusia yang menjaga keberlangsungan akan menuai pahala.
Khatimah
Dalam sistem kapitalisme, pembangunan acap kali mengutamakan profit tanpa memedulikan dampak ekologi yang dapat menimbulkan bencana dan kerusakan lingkungan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam yang mengatur manusia akan tanggung jawab terhadap Allah, manusia, dan lingkungan. Pembangunan dalam Islam tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar keuntungan duniawi.
Konsep Islam sangat relevan untuk diterapkan dalam menghadapi tantangan modern, seperti polusi, perubahan iklim, dan deforestasi. Penerapan Islam secara menyeluruh memastikan adanya mekanisme yang jelas dalam pembangunan yang menjaga keseimbangan antara ekploitasi alam dan keberlanjutannya.
Dengan prinsip syariat, manusia diarahkan untuk menjaga amanah kekhalifahan mereka untuk membangun peradaban, tidak hanya untuk menyejahterakan, tetapi juga selaras dengan alam. Oleh karenanya, manusia harus menyadari betul bahwa mereka adalah bagian dari alam, bukan penguasa mutlak sehingga keseimbangan ekologis harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan. Wallahu a’lam.