Oleh: Octha Dhika Rizky, S. Pd.
(Pendidik dan Aktivis Muslimah)
“Negara berperan penting untuk menyediakan tenaga kesehatan, baik dari sisi keberadaan dokter dan perawat, maupun sistem pendidikan ilmu kedokteran dan kesehatan yang kondusif dan memadai. Jaminan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan juga akan mengaktualisasikan terjaganya idealisme dan dedikasi mereka dalam mewujudkan kesehatan yang berkualitas.”
CemerlangMedia.Com — Permasalahan di bidang kesehatan kembali terjadi. Kini mencuat isu tentang rencana pemerintah yang hendak mendatangkan dokter asing. Rencana ini pun menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat.
Diberitakan dalam cnnindonesia.com (4-7-2024), gedung Fakultas Kedokteran (FK) Kampus A Universitas Airlangga (Unair) Surabaya kebanjiran karangan bunga bernada dukungan untuk dr. Budi Santoso. Dokter Budi sebelumnya dicopot dari jabatannya sebagai Dekan FK Unair. Pemecatan terjadi tidak lama setelah ia menyuarakan sikap menolak rencana pemerintah mendatangkan dokter asing ke Indonesia.
Menanggapi pemberitaan terkait pemecatan Dekan FK Unair, Juru Bicara Kemenkes Muhammad Syahril buka suara. Ia menyatakan bahwa Kemenkes tidak membawahi Unair dan tidak memiliki wewenang mengatur Unair. Informasi yang mengatakan Menkes mengontak Rektor Unair untuk meminta memberhentikan Dekan FK merupakan fitnah dan hoax (kompas.tv, 4-7-2024).
Selain itu, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, tujuan dokter asing didatangkan ke Indonesia bukan untuk menyaingi dokter lokal. Dia menjelaskan bahwa hampir 80 tahun merdeka, Indonesia masih kekurangan tenaga spesialis dan yang paling banyak kosong adalah dokter gigi. Selain itu, ujarnya, distribusi juga kurang, seperti 65 persen puskesmas di Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan (DTPK) yang mengalami kekosongan 9 jenis tenaga kesehatan (antaranews.com, 3-7-2024).
Fenomena dokter asing ini memang menjadi bahan perbincangan berbagai pihak, padahal Indonesia memiliki banyak dokter lokal yang seharusnya bisa diberdayakan. Ditambah mahalnya biaya kesehatan di tanah air, apa mungkin keberadaan dokter asing tidak memunculkan masalah baru?
Kapitalisasi Kesehatan
Tidak bisa dimungkiri bahwa sektor kesehatan dalam sistem kapitalisme menjadi lahan untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu, keberadaan dokter asing sejatinya perpanjangan tangan dari kapitalisasi kesehatan. Melalui kapitalisasi ini, penyaluran tenaga dokter asing menjadi terbuka lebar demi keuntungan pihak tertentu.
Mirisnya, di balik fenomena arus dokter asing, terdapat nasib serombongan dokter lokal yang ditumbalkan. Bukankah negeri ini telah melahirkan banyak sarjana kedokteran dari berbagai kampus? Lantas, bagaimana nasib mereka apabila harus bersaing dengan para dokter asing tersebut?
Pemerintah pun beralibi, keberadaan dokter asing nantinya tidak akan menyaingi dokter lokal, hanya untuk memenuhi kekurangan tenaga spesialis kesehatan, seperti dokter gigi. Namun, pernyataan ini bertentangan dengan kondisi di lapangan.
Faktanya, telah banyak kampus yang meluluskan mahasiswa yang mengambil jurusan kedokteran gigi. Sudah ada ratusan, bahkan ribuan dokter gigi di negeri ini. Mengapa bukan mereka saja yang direkrut untuk menjadi tenaga kesehatan?
Nyatanya, di saat yang sama, para dokter lokal mengalami berbagai tekanan, baik dari sisi biaya maupun kurikulum pendidikan. Mereka juga menghadapi beragam tantangan setelah selesai menempuh pendidikan. Terlebih ketika mereka memperoleh penempatan di daerah terpencil, sebagai konsekuensi jika tidak mampu menempuh pendidikan spesialis akibat kendala biaya.
Sementara pemerintah tidak memberikan jaminan kehidupan yang aman dan layak bagi tenaga dokter yang ditugaskan di daerah terpencil. Wajarlah apabila negeri ini mengalami kekosongan tenaga kesehatan di daerah terpencil akibat minimnya fasilitas yang memadai.
Alhasil, kebijakan pemerintah untuk mendatangkan dokter asing merupakan pilihan yang gegabah. Sebab, pemerintah sendiri belum mampu mengondisikan keberadaan dokter lokal. Keputusan pemerintah ini juga akan makin menambah sengkarut pengelolaan kesehatan kapitalisme.
Pengelolaan Kesehatan dalam Islam
Islam adalah agama dan ideologi yang sempurna. Sebagai sistem hidup, Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Negara Islam (Khil4f4h) berkewajiban mengurusi urusan rakyatnya berdasarkan aturan Islam. Oleh sebab itu, penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah bersabda,
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam negara Islam, pengelolaan kesehatan tidak boleh dibangun atas paradigma bisnis, sebagaimana sistem kapitalisme. Kesehatan merupakan sektor publik yang haram untuk dikapitalisasi. Konsep ini menjadikan sistem kesehatan negara Islam tidak akan tercemar oleh aspek bisnis dan industrialisasi.
Selain itu, negara berperan penting untuk menyediakan tenaga kesehatan, baik dari sisi keberadaan dokter dan perawat, maupun sistem pendidikan ilmu kedokteran dan kesehatan yang kondusif dan memadai. Jaminan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan juga akan mengaktualisasikan terjaganya idealisme dan dedikasi mereka dalam mewujudkan kesehatan yang berkualitas.
Masa keemasan negara Islam telah mampu menghasilkan para dokter hebat yang ilmunya masih bisa dinikmati manfaatnya hingga kini. Begitu banyak ilmuwan Islam yang membawa kemajuan dalam bidang kedokteran dunia layaknya Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Az-Zahwari.
Negara Islam telah membuktikan kemampuannya dalam menyediakan fasilitas kesehatan terbaik di dunia pada masanya. Fasilitas kesehatan akan dikelola di atas prinsip pelayanan penuh dengan anggaran bersifat mutlak berbasis baitulmal.
Imam Ath-Thabari mencatat peran Khalifah Al-Walid I dalam pembangunan institusi kesehatan di kalangan muslim. Pertama, ia membuat lebih banyak sanatorium untuk penderita lepra. Kedua, memulai pembangunan bimaristan di Damaskus. Bimaristan ini disebut sebagai cikal bakal sistem rumah sakit pada era modern. Selain merawat orang sakit, bimaristan juga menyediakan dokter dan obat-obatan.
Beginilah potret kesehatan dalam Islam. Umat tidak akan dibebani dengan mahalnya biaya kesehatan. Mereka juga tidak akan dipaksakan mengikuti asuransi kesehatan yang hanya ingin meraup keuntungan, sementara negara berlepas tangan dari urusan kesehatan rakyatnya. Pelayanan kesehatan Islam yang gratis dan berkualitas sangat berbanding terbalik dengan rumitnya tata kelola kesehatan ala kapitalisme. [CM/NA]