Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Islam memandang pemuda, di antaranya Gen Z sebagai sosok yang mempunyai potensi serta kemampuan yang dibutuhkan umat untuk membawa kembali Islam ke arah kebangkitan. Oleh sebab itu, negara Islam betul-betul mempersiapkan generasi muda dalam membentuk kepribadian generasi yang islami, yakni mempunyai pola pikir dan pola sikap Islam.
CemerlangMedia.Com — Hidup dalam kemajuan teknologi canggih seperti saat ini sering kali memudahkan setiap orang beraktivitas lebih cepat, misalnya berbelanja tidak perlu lagi pergi ke pusat perbelanjaan untuk mendapatkan barang yang diingini. Cukup buka ponsel, lalu klik aplikasi layanan belanja, kemudian transfer, maka barang akan datang sesuai pesanan. Kemudahan ini ternyata tidak hanya mendatangkan manfaat, tetapi juga menimbulkan beberapa keburukan.
Di antara keburukan tersebut adalah seseorang terkadang lupa diri dengan keadaannya, yakni membeli sesuatu hanya karena keinginan untuk memiliki, bukan karena suatu kebutuhan. Parahnya lagi, beberapa orang hanya ikut-ikutan membeli untuk dipamerkan lantaran takut dianggap ketinggalan zaman. Inilah fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yang sedang menjangkiti masyarakat saat ini.
Mirisnya lagi, fenomena FOMO ini memperparah kondisi generasi Z. Generasi Z bukan hanya gampang terlibat transaksi online, tetapi juga gemar berbelanja walaupun harus melewati antrean panjang. Baru-baru ini, antrean panjang untuk membeli boneka labubu menjadi pusat perhatian netizen. Pasalnya, pengunjung rela antre hingga 17 jam di stan Pop Mart yang digelar di Gandaria City Mall, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk mendapatkan boneka tersebut. Harganya pun tak murah, yakni 1.5 juta. Untuk diketahui, boneka Labubu menjadi viral setalah diunggah oleh Lisa Black Pink dalam Instagram pribadinya (Surya.co.id, 18-09-2024).
Antrean panjang untuk boneka Labubu ini menunjukkan bahwa orang-orang tersebut tidak mau ketinggalan mengikuti tren global saat ini. Lisa Black sebagai icon idola remaja telah mencuri perhatian penggemarnya untuk selalu diikuti tindak-tanduknya. Para penggemarnya pun merasa perlu untuk meniru sang idola.
Fenomena ini mendapatkan perhatian dari pengamat sosial Devie Rahmawati. Menurut Devie Rahmawati, seseorang yang FOMO bisa berbahaya karena ia bisa melakukan apa saja, termasuk menggadaikan kehormatannya, melanggar hukum, dan merugikan orang lain demi mendapatkan sesuatu yang sedang tren. Sosiolog Sunyoto Usman juga membeberkan dampak buruk FOMO, antara lain dapat menyebabkan perilaku narsistik dan kerap merasa lebih tinggi dari orang lain (Kompas.com, 21-09-2024).
Jeratan Kapitalisme Sekularisme
Dalam sistem kapitalisme, manusia dituntun ke arah peradaban kelam. Sistem ini berhasil mengalihkan perhatian Gen Z dengan hanya berkutat pada kesenangan duniawi semata. Sistem rusak ini pun mengakibatkan Gen Z bergaya hidup bebas, hedonistik, dan konsumerisme. Mereka cenderung lebih memilih hidup glamor. Terlebih, kehadiran media sosial sangat mendukung sebagai sarana yang dapat menjadikan Gen Z konsumtif.
Hal ini menyebabkan terjadi pengabaian terhadap potensi Gen Z untuk berprestasi dan berkarya lebih baik lagi. Pun menghalangi potensinya sebagai agen perubahan menuju peradaban gemilang. Terlebih, regulasi maupun pendidikan dalam sistem hari ini tidak lagi mampu memberikan perlindungan bagi Gen Z, yang ada justru menjerumuskan mereka pada lingkaran materiaslistik melalui sosial media yang menciptakan gaya hidup FOMO.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan, sebab Gen Z harapan pemimpin masa depan. Generasi yang seharusnya dipersiapkan untuk mencapai generasi emas, justru menjadi mangsa empuk para kapitalis untuk menghisap semua potensi yang Gen Z miliki. Kaum kapitalis memanfaatkan potensi Gen Z yang terlahir dan tumbuh, bahkan menjadi bagian integral digital untuk menjadi target dalam meraup keuntungan, misalnya kehadiran platform untuk mendukung gaya hidup hedon penuh narsistik sebagai seorang yang FOMO.
Kondisi ini tidak sedikit pun membuat negara bertindak tegas, padahal ini adalah masalah penting demi keberlangsungan kehidupan berbangsa. Kurikulum pendidikan yang diterapkan tetap saja menjauhkan diri generasi dari agama (sekularisme). Hal ini membuat generasi makin tidak mengenali dirinya sebagai hamba Allah Swt.. Generasi tidak tahu arah tujuan hidup mereka. Teori pelajaran agama sebatas dihafalkan untuk mendapatkan nilai rapor yang bagus, tidak sampai tertanam pada pikiran dan hati mereka sehingga jeratan kapitalisme sekularisme makin kuat mencengkeram generasi.
Islam Solusinya
Islam memandang pemuda, di antaranya Gen Z sebagai sosok yang mempunyai potensi serta kemampuan yang dibutuhkan umat untuk membawa kembali Islam ke arah kebangkitan. Oleh sebab itu, negara Islam betul-betul mempersiapkan generasi muda dalam membentuk kepribadian generasi yang islami, yakni mempunyai pola pikir dan pola sikap Islam.
Hal ini dilakukan dengan memasukkan kurikulum berbasis iman dan takwa. Generasi dipahamkan untuk mengenali dirinya dan untuk apa dia hidup. Pemahaman seperti itu akan mampu membangkitkan pemikiran yang nantinya akan berdampak pada mindset perubahan yang hakiki. Generasi akan berjuang keras untuk mengembalikan kehidupan Islam. Dengan demikian, potensi besar yang dimilikinya akan bermanfaat, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
Di samping itu, negara akan memfilter media yang sekiranya dapat merusak generasi. Tayangan media akan penuh dengan dakwah yang nantinya akan bermanfaat bagi pembentukan karakter Islam pada generasi.
Keberhasilan negara Islam dalam membentuk karakter terbaik dapat dilihat, salah satunya dari panglima Muhammad Al Fatih yang dapat menaklukkan Konstantinopel pada usia 21 tahun. Usia yang sangat muda dalam menciptakan gebrakan strategi untuk menyiasati penaklukan Konstantinopel.
Membentuk kepribadian kesatria semacam Muhammad Al Fatih tentu saja bukan dalam waktu yang sebentar, bukan pula hanya didukung oleh orang tua ataupun seorang guru. Namun, karakter seperti ini dibangun oleh elemen-elemen yang saling berkolaborasi yang berasaskan akidah Islam. Elemen-elemen tersebut adalah keluarga, masyarakat, dan negara. Ketiga elemen inilah yang mampu melahirkan Muhammad Al Fatih, kesatria yang mampu membawa peradaban dunia ke arah yang mulia.
Dengan demikian, menuju Indonesia emas yang digadang-gadang akan tercapai pada 2045 mendatang akan berhasil jika sistem Islam diterapkan secara total di bumi ini. Generasi Indonesia akan terus mencemaskan jika negara ini masih bertahan dalam sistem hidup kapitalisme yang bobrok ini. Wallahu a’lam. [CM/NA]